Pengajaran dari Jemaat di Laodikia

Takut
Beberapa tahun lalu saya pernah berbincang-bincang dengan kawan-kawan yang dengan sengaja menghindar untuk membaca kitab Wahyu. Saat saya mempertanyakan alasannya, saya mendapatkan jawaban yang bervariasi. Mulai dari ketidakmengertian makna karena banyaknya tanda-tanda dan kentalnya unsur simbolis, sampai pada ketakutan akan masa penyiksaan karena teman saya ini memegang pandangan pra-milenialisme[1] yang kuat. Padahal, kitab Wahyu juga adalah bagian dari Alkitab, wahyu Tuhan yang cukup dan lengkap bagi umat percaya. Jadi tidak seharusnya kita melewatkan pembacaan kitab ini. Seperti yang tertulis dalam Wahyu 1:3, Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat. Mengenai makna simbolis, memang benar hal ini agak rumit dan membuka banyaknya variasi interpretasi. Namun tidak semua bagian kitab Wahyu berisi hal seperti itu. Ada juga bagian-bagian yang bersifat lebih jelas dan relatif lebih mudah dipahami. Salah satu bagian itu adalah mengenai teguran kepada tujuh jemaat yang tertulis di kitab Wahyu pasal dua dan tiga. Dalam artikel ini, saya hanya akan menyoroti teguran kepada satu jemaat saja, yakni teguran kepada jemaat di Laodikia. Kemudian kita akan bersama-sama membandingkannya dengan beberapa bagian di Perjanjian Lama.

Suam-Suam Kuku
Teguran keras yang pertama adalah mengenai kesuaman jemaat Laodikia. Tuhan berkata akan memuntahkan mereka dari mulut-Nya karena mereka tidak dingin atau tidak panas. Dalam konteks Laodikia, mereka memiliki persediaan air di dua tempat, yakni Hierapolis dan Kolose. Di Hierapolis, persediaan air tersebut bersuhu hangat mirip seperti sumber air panas. Air tersebut bisa digunakan untuk pengobatan. Sedangkan air di Kolose adalah air dingin yang bisa diminum dan berguna untuk menyegarkan badan. Air yang suam-suam kuku dapat kita mengerti sebagai air yang tidak dapat digunakan. Terlalu dingin untuk digunakan dalam pengobatan, juga terlalu panas untuk bisa diminum agar menyegarkan badan. Mirip seperti contoh di Injil Matius mengenai garam yang menjadi tawar sehingga akhirnya tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang[2].

Bagaimana dengan kita masing-masing? Apakah kita sudah menjalankan fungsi dan tugas seperti yang Tuhan sudah tetapkan? Saya percaya teguran kepada gereja Laodikia adalah teguran yang relevan dan penting untuk direnungkan oleh Gereja sepanjang zaman. Belajar dari sejarah, Gereja telah berulang kali tertidur dan tidak menjalankan tugas yang semestinya diemban. Mulai dari tendensi kurangnya kepedulian akan theologi, pelayanan mahasiswa dan kaum intelektual yang terabaikan, sampai pada dikotomi antara mandat Injil dan mandat budaya. Tidak heran, parachurch seperti Perkantas dan Campus Crussade akhirnya bermunculan untuk menangani tugas yang terabaikan tersebut. Dalam level individu, sudahkah kita, sebagai umat yang sudah ditebus, menyadari dan menghidupi fungsi kita sebagai raja, imam, dan nabi sambil terus mengikuti Kristus, Teladan kita yang sempurna? Bagi pembaca PILLAR yang ingin mengetahui lebih lengkap mengenai fungsi raja, imam, dan nabi, silakan membaca artikel-artikel PILLAR bulan Februari-April 2007 mengenai tema besar tersebut.

Cukup
Kembali pada konteks Laodikia pada saat itu, Laodikia merupakan salah satu kota terkaya dan menjadi pusat transaksi dan perdagangan. Dalam konteks jemaat, mereka telah memperkaya diri dan merasa tidak kekurangan apa-apa. Padahal mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka melarat, malang, miskin, buta, dan telanjang.[3]

Perasaan ‘cukup’ di sini adalah sesuatu yang begitu berbahaya. Inilah suatu bentuk penipuan diri dengan menggantungkan hidup pada hal apa pun selain Tuhan. Suatu ilusi ketenangan dan kecukupan padahal sudah jauh dari Allah. Bagi mereka yang pernah menginjili, bukan hal yang asing untuk menemui orang yang merasa dirinya cukup suci, saleh, baik, dan benar sehingga dengan tegas dan yakin berkata bahwa dirinya tidak membutuhkan Tuhan. Padahal Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa tidak ada yang benar, seorang pun tidak.[4] Yesus sendiri mengajarkan bahwa berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.[5]

Dalam Perjanjian Lama hal seperti ini kerap kali terjadi. Dalam kitab Yeremia, nubuat palsu yang menyerukan ilusi mengenai kondisi Israel yang damai sejahtera, tanpa perang, dan tanpa kelaparan terus-menerus didengungkan.[6] Padahal murka Allah yang begitu dahsyat dan menyala-nyala sudah hampir tiba. Dalam kitab Yesaya dicatat bahwa para pemimpin masih terus melakukan ibadah, mempersembahkan korban, dan mengadakan berbagai perayaan. Padahal Tuhan sendiri sudah merasa jemu, jijik, dan benci akan semuanya itu.[7] Dalam kitab Maleakhi, para imam Israel kerap kali bertanya balik kepada Tuhan: “Dengan cara bagaimanakah kami menghina nama-Mu? Dengan cara bagaimanakah kami menyusahi Tuhan? Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau?”[8] Padahal saat itu kesalahan para imam sudah begitu menumpuk. Ada yang membawa roti cemar ke atas mezbah Tuhan, membawa binatang cacat untuk dipersembahkan, dan memberikan pengajaran yang menyimpang sehingga membuat orang tergelincir.

Kebesaran Allah
Ilusi perasaan ‘cukup’ ini hanya bisa disembuhkan ketika kita mengarahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Ketika kita semakin mengenal Allah yang mahasuci, mahakuasa, mahamulia, mahaadil, kita akan sadar bahwa diri ini begitu bodoh, miskin, melarat, dan telanjang. Inilah yang terjadi pada Ayub ketika ia begitu bersikeras berargumen mengenai keadilan dan keputusan Tuhan. Setelah Tuhan menyatakan kemahakuasaan-Nya dan menyadarkan Ayub akan dirinya yang begitu hina dan terbatas, akhirnya Ayub menutup mulutnya dan mencabut perkataanya.[9] Seberapa dalamkah kita mengenal Allah yang kita sembah? Allah yang ketika berfirman, Gunung Sinai gemetar, asap tebal membubung, dan guruh mengguntur.[10] Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang menumpas bangsa-bangsa yang gagah dan congkak dengan pedang-Nya yang berlumuran darah dan penuh lemak.[11] Allah adalah Allah yang tidak membutuhkan apa pun dari manusia. Punya Dialah segala binatang di hutan, beribu-ribu hewan di gunung, segala burung di udara, dan semua yang bergerak di padang. Dunia dan segala isinya adalah milik kepunyaan-Nya.[12] Allah yang kepada-Nya rasul Yohanes tersungkur menyembah dan kemudian Allah menyatakan diri-Nya sebagai Yang Awal, Yang Akhir, Yang Hidup, dan Yang memegang kunci kerajaan maut.[13] Siapakah yang tahan berdiri menghadapi geram-Nya? Dan siapakah yang tahan tegak terhadap murka-Nya yang bernyala-nyala?[14]

Relakan Hati dan Bertobat
Tuhan melanjutkan firman kepada jemaat Laodikia dengan suatu ajakan untuk kembali kepada-Nya, Sang Sumber sejati. Allah berfirman agar jemaat Laodikia membeli dari pada-Nya emas yang telah dimurnikan dalam api agar mereka menjadi kaya, dan juga pakaian putih supaya mereka memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjangan mereka yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas mata mereka supaya mereka dapat melihat.[15] Inilah suatu ajakan agar mereka tidak lagi mengandalkan diri dengan segala kekayaannya, melainkan hanya datang dan memandang kepada Allah. Dalam Perjanjian Lama, berkali-kali Allah mengingatkan Israel bahwa bukan sekadar ibadah, tata cara, dan korban persembahan yang Ia rindukan. Yang Allah inginkan adalah persembahan syukur, hati yang berseru kepada-Nya, telinga yang memperhatikan firman-Nya, kelakuan adil, cinta akan kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah. Bersyukur kepada Tuhan ketika Ia masih menghajar dan tidak membiarkan jemaat-Nya. Sebab Allah menghajar orang yang dikasihi-Nya dan menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.[16] Dalam Wahyu 3:19, Allah sendiri berfirman: “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” Semoga melalui pembahasan singkat ini, kita sebagai Gereja dan pengantin perempuan Tuhan, boleh terus semakin mempersiapkan diri dalam menyambut kedatangan Sang Mempelai Laki-Laki, Yesus Kristus, Kekasih jiwa kita.

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Endnotes:
[1] Pandangan pra-milenialisme melihat kedatangan Kristus yang kedua akan terjadi sebelum masa seribu tahun (literal). Sebelum hal ini terjadi, akan muncul sang antikristus yang akan melakukan penyiksaan dahsyat kepada orang-orang yang masih di dunia karena terlewat dari masa pengangkatan.
[2] Matius 5:13
[3] Wahyu 3:17
[4] Roma 3:10
[5] Matius 5:3
[6] Yeremia 14:13
[7] Yesaya 1
[8] Maleakhi 1:6 dan 3:8
[9] Ayub 42:6
[10] Keluaran 19:18
[11] Yesaya 34:6
[12] Mazmur 50:9-13
[13] Wahyu 1:18
[14] Nahum 1:6
[15] Wahyu 3:16
[16] Ibrani 12:6