Salah satu perbedaan iman kekristenan dengan iman kepercayaan lainnya adalah iman kekristenan berani mengklaim bahwa iman kekristenan merupakan satu-satunya tempat untuk bertemu kebenaran sejati. Akan tetapi, klaim ini telah lama dilupakan bahkan oleh penganutnya sendiri. Melalui artikel ini, saya hanya akan memberikan pemicu untuk teman-teman bergumul dalam pekerjaan atau kuliah maupun ladang lainnya di mana Tuhan tempatkan.
Untuk mempermudah pembahasan, kita akan membagi ke dalam tiga bagian pembahasan. Pertama, kita akan membahas tentang kondisi saat ini yang dikaitkan dengan pencarian kebenaran. Kedua, kita akan membahas tentang bagaimana kita sebagai orang Kristen mencari kebenaran. Terakhir, kita akan membahas tentang kaitan kebenaran yang kita – sebagai orang Kristen – pegang dengan dunia praktis di mana kita ditempatkan.
Q1: Bagaimana orang zaman ini mencari kebenaran?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita akan mencoba membedakan pengetahuan dari kebenaran. Kalimat seperti “Saya tahu bagaimana sebuah Supernova terjadi dan akibatnya terhadap pergerakan planet di sekitarnya” atau “Saya kenal Pdt. Liem Kok Han” merupakan beberapa contoh yang mengungkapkan pengetahuan. Kalimat pertama merupakan pengetahuan procedural dan kalimat kedua merupakan pengetahuan pengalaman. Yang akan kita bahas di sini bukanlah kedua tipe pengetahuan ini. Kebenaran merupakan pengetahuan proposisional, maksudnya adalah pengetahuan di mana seseorang tahu bahwa proposisi yang dinyatakan adalah benar.
Setelah kita mendiskusikan apa yang dimaksud dengan kebenaran, kita mulai bisa melihat apakah selama di sekolah atau di bangku kuliah, kita mempelajari kebenaran ataukah pengetahuan. Apabila yang kita pelajari adalah pengetahuan, apakah pengetahuan itu bisa membawa kita ke dalam kebenaran?
Kemudian, kebenaran itu objektif atau subjektif? Ketika pertanyaan mengenai kebenaran diarahkan pada hal-hal seperti masyarakat, manusia, dan Tuhan, Søren A. Kierkegaard menjawab bahwa kebenaran akan didapat ketika subjektivitas digunakan. Sejak saat ini, sejarah bergeser dari pencarian kebenaran yang objektif menjadi subjektif.
Beberapa tokoh berkomentar mengenai apa itu kebenaran:
1. Foucault berkata kebenaran adalah produk yang dihasilkan oleh politik dan sejarah; Benar atau salah merupakan ekspresi normal atau abnormal dari kebudayaan mayoritas; dan cara untuk membentuk kebenaran adalah bukan dengan argumentasi intelektual, melainkan dengan mengubah kondisi politik yang menghasilkan kebenaran tersebut.
2. Rorty berkata kebenaran adalah hal-hal yang berguna dalam menjalani realitas kehidupan. Nilai etis/keputusan etis tidak didasarkan pada hal yang metafisika, akan tetapi berdasarkan pada konsensus komunitas tersebut.
3. Fish berkata kebenaran (konteks pembicaraannya berhubungan dengan kebenaran teks) adalah apa yang diinterpretasikan oleh komunitas. Perdebatan mengenai kebenaran tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan fakta, melainkan melalui kesepakatan mengenai fakta yang disetujui.
Masih banyak lagi tokoh yang bisa diangkat seperti Derrida, Nietzsche, Heidegger, Gadamer, dan lain-lain, akan tetapi fokus dari pembicaraan kita adalah bagaimana orang-orang ini melihat kebenaran. Mungkin banyak dari kita tidak pernah mempelajari tokoh-tokoh tersebut, tetapi secara tidak sadar kita menjadi murid para filsuf besar ini. Contohnya adalah ketika kita mempelajari matematika dasar seperti “1+1=2”. Kita percaya itu benar apakah bukan karena orang yang berotoritas yang mengatakan? Atau dalam mengambil keputusan moral seperti “Apakah homoseksual salah?” bahkan sampai yang krusial seperti “Apakah hanya iman kekristenan yang benar?”
Dari pembahasan di atas, kita dapat melihat bagaimana orang-orang (mungkin kita termasuk di antaranya) berusaha untuk mencari kebenaran dengan segala macam cara. Mulai dari meneliti alam semesta hingga melalui proses berpikir. Akan tetapi apakah hal ini bisa mencapai kebenaran yang benar-benar “benar”?
Q2: Bagaimana orang Kristen menemukan kebenaran?
Pada topik kedua ini kita akan mendiskusikan bagaimana orang Kristen menemukan kebenaran. Apakah kebenaran yang didapat oleh orang Kristen merupakan kebenaran yang lebih benar dari yang didapat oleh orang non-Kristen (maksud dari non-Kristen di sini bukanlah orang yang tidak beragama Kristen melainkan bukan umat pilihan Tuhan)?
Pada pembahasan kali ini, kita akan melihat pemikiran John Calvin, mengenai kebenaran dan kaitannya dalam hidup saleh. Dalam bukunya yang terkenal, Institutes of Christian Religion, Calvin menjabarkan bagaimana orang-orang Kristen menemukan kebenaran. Baginya, semua hikmat yang kita miliki yaitu hikmat yang benar dan sehat, terdiri dari dua bagian: Pengetahuan tentang Allah dan Pengetahuan tentang diri sendiri. Pengetahuan ini berfungsi untuk mengajar kita untuk takut dan hormat kepada Dia, serta sebagai penuntun untuk mencari segala yang baik dari Dia. Akan tetapi karena kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka manusia menyerahkan kemampuan moral untuk menyampaikan rasa syukur, penyembahan yang benar, dan ketaatan kepada Allah kepada perbudakan dosa. Hal ini menyebabkan penyataan alam tidak akan pernah membawa makhluk yang telah jatuh ke dalam dosa kepada pengetahuan tentang satu Allah yang hidup dan benar, sehingga Alkitab diperlukan sebagai pembimbing dan guru bagi setiap orang yang ingin datang kepada Tuhan sang Pencipta. Alkitab ini pada akhirnya akan cukup untuk pengetahuan tentang Allah yang menyelamatkan hanya ketika kepastiannya didasarkan atas persuasi Roh Kudus dalam hati-hati yang saleh.
Calvin memulai dengan pernyataan bahwa pengetahuan yang kita miliki terdiri dari dua bagian, pengetahuan tentang Allah dan pengetahuan tentang diri sendiri. Pengetahuan tentang Allah ini bisa dimiliki manusia karena manusia adalah Gambar Allah. Oleh karena manusia adalah Gambar Allah maka manusia memiliki benih agama dalam dirinya. Selain di dalam dirinya, Allah juga menyatakan diri-Nya yang tak terlihat melalui karya-Nya yang terlihat. Pengetahuan tentang diri tidak akan jelas dimiliki kecuali manusia lebih dahulu melihat kepada wajah Allah, dan kemudian turun dari perenungan akan Dia ke pemeriksaan atas dirinya sendiri dengan teliti.
Tujuan dari segala pengetahuan yang Tuhan berikan (yang bisa diteliti dan dipikirkan dalam dunia ini) adalah untuk mengajar kita agar takut dan hormat kepada Dia, dan melalui pengetahuan ini, kita dibimbing untuk mencari segala yang baik dari Dia. Hasil dari pencarian ini akan membuahkan pengetahuan yang lebih akan Tuhan dan diri. Pertumbuhan pengetahuan ini nantinya akan membuat kita makin takut dan hormat kepada Tuhan. Begitu seterusnya dengan fokus pada Tuhan yang makin dimuliakan dan dihormati.
Akan tetapi, karena keberdosaan maka segala bentuk pencarian kebenaran oleh manusia hanya akan berdampak makin bertambahnya murka Tuhan. Bertambahnya murka Tuhan disebabkan karena semakin kita mendapatkan pengetahuan dari penyelidikan atas karya-Nya maupun memikirkan karya-Nya dalam dosa-dosa kita, kita membentuk seorang allah dari gambar kita sendiri. Dalam melakukan hal itu, kita mulai membangun sebuah agama di sekitar allah-allah palsu yang telah kita ciptakan.
Hal inilah yang menyebabkan Kitab Suci (Alkitab) diperlukan untuk memampukan manusia dengan semestinya menafsirkan penyataan Allah dalam ciptaan dan terang dari alam serta dari dalam manusia. Alkitab dikatakan sebagai kacamata bagi manusia berdosa agar dapat mengenal Allah dengan benar sejalan dengan pekerjaan Roh Kudus di dalam hati manusia. Bagi Calvin, Alkitab dan pekerjaan Roh Kudus tidak dapat dipisahkan. Dengan mengenal Allah dengan benar, manusia mengenal dirinya dengan benar di hadapan Allah, dengan demikian baru dapat mengenal alam dengan benar. Pengenalan akan Allah dan diri melalui Alkitab dan pekerjaan Roh Kudus merupakan dasar bagi manusia mengenal alam dengan benar. Dengan kata lain, pengetahuan sejati (kebenaran) hanya dapat dicapai di dalam pengenalan akan Allah yang benar melalui Alkitab dan pekerjaan Roh Kudus. Epistemologi ini selangkah lebih jauh dari yang sudah dikembangkan oleh Agustinus dan disebut sebagai Christian Theistic Epistemology.
Q3: Apa kaitan kedua penjelasan di atas dengan kehidupan praktis saya?
Pada penjelasan awal, saya mengajak teman-teman untuk melihat bagaimana orang-orang mencari kebenaran. Secara garis besar kita dapat mempelajari bahwa arah pencarian tersebut adalah dari bawah ke atas (dari yang fisika mencari yang metafisika) hingga akhirnya mereka sampai pada kesimpulan kebenaran itu subjektif (tidak ada kebenaran mutlak) dan pada akhirnya pertanyaan epistemologis itu tidak lagi relevan.
Pada penjelasan kedua, saya memberanikan diri untuk mengupas sedikit dari pemikiran John Calvin mengenai dasar pencarian kebenarannya. Di sini kita bisa melihat bahwa bukan manusia yang mencari Allah tetapi Allah yang mencari manusia. Allah telah menempatkan benih agama dalam hati manusia, Allah telah menyatakan diri-Nya melalui karya-Nya, bahkan Allah dengan senang hati menempatkan perkataan-Nya di dalam Kitab Suci-Nya. Tidak berhenti hanya di situ, Allah Roh Kudus bekerja dengan cara mengiluminasikan Firman-Nya kepada hati orang-orang saleh-Nya.
Setelah kita melihat bagaimana Calvin berpikir, kita seharusnya bisa melihat bahwa ternyata fokus pemikiran Calvin bukanlah untuk mengajarkan bahwa orang Kristen harus berfokus kepada melakukan terobosan besar dalam ilmu pengetahuan maupun tatanan sosial, ataupun menjadi seorang superman dalam dunia ini. Fokus Calvin adalah mengejar kesalehan hidup dan melalui segala kemampuan yang Tuhan tanamkan, orang Kristen menggali dengan tujuan untuk mengenal Tuhan dan hidup takut akan Tuhan. Penaklukan alam dan pencarian ilmu hanyalah bagian dari pengejaran kesalehan hidup di hadapan Tuhan saja. Sebagaimana yang telah saya uraikan di atas, pengetahuan (baik itu prosedural maupun relasional) yang kita miliki akan membawa kita semakin hormat dan takut akan Tuhan serta membawa kita semakin menggali segala yang baik dari Dia. Dengan menggali, kita akan menemukan pengetahuan baru (Tuhan yang menyingkapkannya) sehingga kita semakin bertambah takut dan hormat akan Dia. Hal inilah yang, apabila Tuhan berkenan memberikannya, membawa manusia kepada penemuan-penemuan yang jauh lebih baik daripada orang yang tidak beriman karena lahir dari hati yang takut akan Tuhan dan yang dipimpin Tuhan melalui firman-Nya.
Ada dua hal yang saya ajak teman-teman untuk renungkan sehubungan dengan artikel ini.
1. Oleh karena semua pengetahuan di dunia ini pada dasarnya adalah pengetahuan tentang Allah dan tentang diri, bagaimana pengetahuan yang kita miliki (baik itu pengetahuan prosedural maupun pengetahuan relasional) itu dapat membawa kita semakin kenal Allah dan kenal diri?
2. Bagaimana Alkitab sebagai otoritas tertinggi (dan Roh Kudus sebagai Pengiluminasinya) membentuk kacamata kita dalam mempelajari seluruh pengetahuan yang Tuhan paparkan di atas dunia ini? Apakah membawa kita untuk semakin mengenal Tuhan dan mengenal siapa diri kita sebenarnya?
Kiranya Tuhan menolong kita semua.
William G. Halim
REDS – Worldview
Referensi :
1. Hall, David W., 2009, Penuntun ke Dalam Theologi Institutes Calvin, Surabaya: Momentum
2. Erickson, Millard J., 2001, Truth or Consequences: The Promise & Perils of Postmodernism, USA: InterVarsity Press
3. Cowan, Steven B. and James S. Spiegel, 2009, The Love of Wisdom, USA: B&H Publishing Group