Kita tentu pernah berandai-andai, atau mungkin menanyakan suatu pertanyaan semasa kita kecil kepada diri kita sendiri, “Kalau boleh memilih, kamu mau hidup sebagai siapa?” Dengan berpijak pada segenggam kreativitas, kita buihkan puluhan mimpi sebagai kemungkinan-kemungkinan jawaban untuk pertanyaan tersebut. Benak kita membisikkan, “Kalau boleh, saya ingin hidup sebagai seorang pengusaha yang sukses, yang dapat menikmati, bersama dengan keluargaku yang kujaga tetap harmonis, suatu bentuk kemapanan hasil peluh dan keringatku. Atau kalau itu tidak bisa, bolehlah saya hidup sebagai seorang pejuang nasional yang membawa kebebasan bagi saudara-saudara sebangsaku, meskipun kalau itu artinya aku harus meninggalkan orang-orang terdekatku.” Impian-impian tersebut, secara tidak langsung, menyatakan ketidakpuasan atas status quo identitas kita. Mengapa bisa demikian? Apakah yang sebenarnya menentukan identitas dari seorang manusia?
Identitas adalah sebuah isu yang secara menarik dibukakan di seluruh paparan Alkitab. Di dalam membahas mengenai identitas Allah dan identitas manusia, mahkota ciptaan, Allah menyatakan keduanya melalui penceritaan mengenai suatu bangsa. Bangsa ini, baik dari segi geografis, ekonomis, maupun politis, tidak memiliki potensi yang signifikan di masanya. Akan tetapi, apa yang Allah kerjakan untuk mengukuhkan identitas dari sekelompok manusia ini dicatat di dalam kitab Allah; dan oleh karenanya, posisinya menjadi tidak tergantikan di dalam signifikansinya, baik secara positif maupun negatif, bagi penceritaan mengenai identitas manusia di hadapan Allah. Bangsa itu adalah bangsa Israel, sebuah bangsa yang namanya memiliki arti “Umat yang bergulat/bergaul dengan Allah”.[1]
Signifikansi bangsa Israel di tengah-tengah peradaban manusia terletak pada karya pernyataan diri Allah dalam wujud daging yang materi kepada seluruh ciptaan. Pernyataan ini kita kenal dengan nama Yesus Kristus – Sang Mesias. Mesias menyatakan diri-Nya kepada seluruh umat manusia melalui bangsa yang kecil ini. Ia harus lahir di dalam konteks Yahudi (Jewish Culture) karena Ia adalah penggenapan dari janji utama Allah, perihal keselamatan manusia dari hukuman dosa. yang pertama-tama Ia nyatakan hanya kepada umat-Nya, Israel. Ironinya, justru signifikansi inilah yang menyebabkan mereka dengan lantang menyalibkan Sang Mesias yang hadir di tengah-tengah mereka, yang kepada-Nya sebenarnya seluruh harapan mereka berlabuh. Namun, mengapa hal ini bisa terjadi?
Seluruh tindakan keji yang umat Israel lakukan kepada Yesus Kristus bukanlah serentetan tindakan yang serta-merta muncul di dalam benak bangsa Israel. Tindakan ini adalah buah dari manipulasi dosa manusia terhadap janji Allah kepada mereka. Sebuah janji yang dapat dikatakan sebagai identitas dasar mereka. Sebuah janji yang sangat bernilai bagi mereka, yang potensinya begitu besar, sehingga ketika dibengkokkan oleh dosa dapat membutakan mata rohani mereka dari pernyataan keselamatan dari Allah; bahkan memampukan mereka untuk membunuh Sang Mesias itu sendiri. Apakah janji itu?
Janji Allah kepada bangsa Israel pertama-tama dinyatakan kepada nenek moyang umat manusia, Adam dan Hawa[2]. Janji yang sama dikukuhkan oleh Allah sendiri dengan simbol yang kasat mata di dalam perjanjian keturunan antara Allah dan Abraham. Di dalam perjanjian tersebut, Allah menjanjikan keturunan yang berlimpah kepada Abraham, yang melaluinya akan turun berkat keselamatan bagi seluruh umat Allah. Perlu kita sadari, bahwa janji keselamatan dari Allah kepada Abraham pada saat itu masih terkungkung di dalam batas bangsa geografis dan biologis. Kisah ini ditutup dengan pengukuhan janji oleh Allah di dalam sebuah sumpah melalui perjanjian darah[3].
Sumpah yang dinyatakan oleh Allah kepada umat-Nya tidak serta-merta dimengerti dengan benar oleh umat Allah. Kita melihat di dalam catatan Alkitab, bahwa Allah sering mendidik umat-Nya untuk setia pada perjanjian yang Ia ikatkan antara diri-Nya dengan mereka. Di dalam pemeliharaan-Nya, Allah yang setia tidak jarang memukul umat-Nya dengan keras demi menjaga kesetiaan umat yang Ia kasihi. Allah memberikan didikan ini kepada umat-Nya, agar umat-Nya memiliki satu keteguhan hati kepada janji Allah, yang dimunculkan di dalam pertobatan yang sejati, yang membawa mereka kepada pengenalan akan siapa Tuhan mereka yang sesungguhnya, dan bahwa mereka adalah umat Allah.[4]
Kesadaran bahwa Israel adalah umat Allah – kesadaran yang tidak muncul dalam semalam – sangat dijaga kemurniannya oleh umat Israel. Berbagai macam bentuk didikan yang Allah berikan kepada umat-Nya, baik pemberian hukum yang tertulis (Kel. 20), pemberian hukuman atas pelanggaran manusia, dan pemberian berkat kepada umat-Nya yang berkenan di hati-Nya, memberikan keberanian kepada Israel untuk menyatakan status keumatan mereka di dalam kehidupan keyahudian mereka sehari-hari. Sayangnya, keberanian yang sama, ketika diselewengkan oleh si Jahat, memungkinkan mereka untuk membunuh Sang Mesias itu sendiri.[5]
Terlepas dari ketidaksempurnaan pengertian bangsa Israel mengenai janji Tuhan kepada umat-Nya, Israel memandang identitas yang Allah berikan kepada mereka dengan penilaian yang sangat tinggi. Harga diri ini memungkinkan Israel untuk melakukan berbagai tindakan radikal demi menjaga kemurnian mereka.[6] Seluruh tindakan ini muncul sebagai ekspresi kebanggaan mereka terhadap darah yang mengalir di dalam nadi mereka; darah yang kepadanya Allah pernah mengikatkan diri-Nya, dan darah yang terus menuntut mereka hidup di dalam ketatnya hukum Taurat di dalam penantian mereka akan Mesias.
Penantian Israel adalah penantian yang tidak dilakukan dengan percuma. Allah yang memelihara harapan umat Israel, juga adalah Allah yang menggenapkan harapan tersebut. Penggenapan ini muncul di dalam karya-Nya mengirimkan Anak-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus. Kristus datang untuk menggenapkan janji keselamatan Allah kepada Abraham, sekaligus memperbarui jaminan atas keselamatan bagi umat Tuhan. Di dalam kegenapan janji ini, kita, the gentiles – orang-orang yang dicangkokkan ke dalam umat Allah, dapat beroleh sukacita di dalam Allah, bersama dengan umat-Nya yang setia menanti-Nya.[7]
Sukacita yang Allah berikan kepada kita, orang-orang yang tadinya tidak berbagian di dalam sumpah antara Allah dan umat-Nya, adalah sukacita yang setara, namun di saat yang sama, adalah lebih dari apa yang Ia telah nyatakan kepada umat-Nya. Setara, karena kita sama-sama menantikan Sang Mesias untuk datang membawa kebebasan sejati. Namun lebih, karena harapan yang kita tahu pasti akan digenapkan oleh Allah yang setia, adalah harapan yang Ia jamin dengan darah Anak-Nya sendiri – bukan lagi darah dari ciptaan yang fana, yang hanyalah bayang-bayang dari Dia yang akan dan telah datang.
Dengan jaminan mulia, yang dimeteraikan oleh darah Anak Allah sendiri, kiranya kita disadarkan mengenai identitas baru yang Allah berikan kepada kita. Kita yang tadinya tidak berbagian di dalam umat Allah, yang tinggal di pinggir-pinggir jalan, dan yang hanya dapat menantikan remah-remah roti dari meja perjamuan Allah, telah Allah undang untuk masuk ke dalam perjamuan-Nya, bergabung bersama dengan Gereja Tuhan, umat Allah sepanjang zaman. Dengan hati yang dipenuhi sukacita dan harapan karena darah Anak Allah, yang memungkinkan kita menghidupi kehidupan yang berkenan kepada-Nya sesuai Taurat-Nya, mari menantikan datangnya Sang Mempelai Pria! Karena Allah yang mengundang, adalah Allah yang juga akan membukakan pintu bagi mereka yang telah diundang; sama seperti Ia menggenapkan janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub.
For from him and through him and for him are all things. To him be the glory forever! Amen.
Stephen D. Prasetya
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Penamaan ini dicatat di dalam Kejadian 35:9-12, di mana Yakub diberikan nama yang baru, Israel. Israel berasal dari kata Yisra dan El, yang berarti “gulat” dan “Allah”, yang secara bersamaan berarti “dia yang telah bergulat dengan Allah”.
[2] Bandingkan dengan Kejadian 3:15.
[3] Bandingkan dengan Kejadian 15:9-21.
[4] Diambil dari perbandingan antara Ibrani 12:6 dengan Yehezkiel 14:7-8; 18:30-31.
[5] Tema ini tidak dibahas lebih lanjut di dalam artikel singkat ini. Namun secara singkat dapat dikatakan bahwa, apa yang baik dari Allah juga adalah hal yang esensial dibutuhkan oleh si Jahat untuk menyelenggarakan kesesatan di tengah-tengah dunia. Hal ini sering disebut sebagai counterfeit.
[6] Salah satu contohnya adalah berbagai tindakan pemusnahan (bahasa aslinya sama dengan penyucian/persembahan bagi Allah) bangsa-bangsa asing yang tinggal di tanah Kanaan.
[7] Lukas 2:30-32 dan Roma 15:10-12.