Dalam Living into God’s story[1], Eugene Peterson mengundang kita untuk melihat Alkitab sebagai sebuah kisah besar dan menantang pembaca untuk hidup di dalamnya. Kisah tidak sekedar menyatakan sesuatu namun mengundang pembaca untuk hadir dan terlibat di dalamnya; pembawa cerita yang baik menghimpun pembacanya untuk terlibat di dalamnya dan Alkitab adalah kisah yang baik.[2] Peterson menyatakan, “We feel the emotions, get caught up in the drama, identify with the characters, see into nooks and crannies of life that we had overlooked, realize there is more to this business of being human than we had yet explored.”[3] Craig G. Bartholomew dan Michael W. Goheen menyatakan bahwa kisah-kisah besar (meta narasi) yang bersifat komprehensif memberikan kepada kita arti dan pengertian sejarah yang bersifat universal dan setiap kita (dengan atau tanpa disadari) memilikinya. Artikel singkat ini bertujuan untuk mengajak kita mengevaluasi meta narasi (selanjutnya akan selalu saya tulis sebagai kisah besar) yang sedang dan akan kita hidupi, khususnya sebagai pemuda yang hidup di dalam konteks Reformed Injili.
Dalam kuliah mengenai natur doktrin di Institut Reformed, Paul Hidayat menyatakan bahwa zaman kita adalah zaman yang “asyik”, zaman di mana Pramodern, Modern, dan Postmodern masih menunjukkan ciri-ciri yang cukup kuat. Namun dalam tulisan ini saya hanya akan melihat dua konteks saja yaitu Modern dan Postmodern dengan titik berat yang sedikit lebih kepada yang terakhir.
Zaman Modern sendiri, dinyatakan oleh N. T. Wright ditandai dengan tiga hal yang utama, pertama, Independensi manusia, di mana manusia menjadi tuan atas takdirnya sendiri; kedua, adanya kepastian akan dunia dan pengetahuan objektif mengenainya; dan ketiga, yaitu (mungkin) yang terpenting adalah mitos akan progresi, yaitu bahwa dunia sedang bergerak maju menuju kepada tujuannya. Akibat wajar dari kepercayaan tersebut sangat mudah ditebak, yaitu manusia sudah tidak perlu lagi untuk tunduk kepada agama.[4] Lee Ken Ang menyatakan bahwa pada zaman Modern, nalar manusia (human reasoning) diangkat tinggi sebagai satu-satunya jalan untuk mengerti realitas.[5] To those working with modern tought pattern seeking scientific certainty and ethical autonomy, God becomes irrelevant and a superfluous presumption.[6] Wright menegaskan ciri tersebut:
“In a world where objective facts were what counted, the Bible was weighed in the modernist balance and found wanting. Since Progress, not Creation, was what counted, evolution must be right and special creation must be wrong. Genesis was therefore out of line. Since science studied the unalterable laws of nature, miracles were out of the question, and half the biblical account stood accused of fairy-tale fantasy.”[7]
Enam tahun menuju berakhirnya abad 20, Pdt. Stephen Tong berseru bahwa abad yang akan segera lalu (sudah berlalu bagi kita kini) tersebut adalah abad yang bodoh. Abad tersebut merupakan abad yang dimulai dan diakhiri dengan optimisme yang naif.[8] Abad 20 menyaksikan optimisme mitos evolusi hancur berantakan, di mana kecongkakan Modern luluh lantak. Dunia modern bukan tidak memberikan sumbangsih apapun, Wright menyatakan bahwa kita hidup di dalam pencapaian-pencapaian modern,[9] ilmu pengetahuan pencapaian medis, kemajuan teknologi adalah beberapa kemajuan yang tampak dalam pandangan kita, meski bukan tanpa dampak buruk. Wright mencatat ironi yang patut kita pertimbangkan:
“And those whom the Enlightenment enabled to think of themselves as masters of their fate and captains of their souls were of course standing on the enslaved shoulders of millions of workers for whom the main effect of swapping agricultural serfdom for industrial wage-slavery was the loss of fresh air.”[10]
Patutlah kita mempertanyakan kisah besar modern yang ditandai oleh mitos perkembangan (progress), mitos evolusi dengan konsep seleksi alam yang (dalam bahasa Pdt. Stephen Tong), “menjadi racun yang mengakibatkan keberanian kaum imperialis, kaum Kolonialis, dan orang-orang yang begitu kejam untuk membasmi, menghancurkan dan memusnahkan bangsa-bangsa yang lebih lemah atau yang kurang berpengetahuan[11] ini.”
Kisah besar sedemikian ditentang oleh para Postmodernis, mereka bahkan menentang keberadaan kisah besar.[12] One of the bestknown aspects of postmodernity is the so-called ‘death of the metanarrative’, the critique applied to the great stories by which our lives have been ruled.[13] Ken Ang menjelaskan bahwa menurut Postmodernisme tidak ada kisah besar yang cukup besar untuk mencakup semua pengalaman, situasi, dan kelompok dalam segala zaman.[14] Sebagai gantinya diajukanlah teori mengenai narasi-narasi lokal[15] yang tentu saja tidak bersifat universal. Kritik Postmodern ini menjadi kritik (yang salah arah) juga terhadap kisah besar Alkitab. Alkitab memberikan kisah besar bukan sekedar untuk seluruh umat manusia, namun mengenai seluruh alam semesta. Goheen menyatakan bahwa kisah Alkitab memberikan klaim sebagai kebenaran publik (bukan kebenaran privat masing-masing penafsir), kebenaran yang menyatakan mengenai bagaimana sebenarnya dunia ini (the way the world really is).[16] Bersama Bartholomew, Goheen menyatakan, “The Bible is universal history: it sets forth a story of the whole world from its beginning to its end. It is the true story of the world and all other stories are at best partial narratives, which must be understood within the context of the Biblical story.”[17] Selanjutnya, mengikuti Wright mereka menyatakan:
“This divine drama, told in Scripture, ‘offers a story which is the story of the whole world. It is public truth. Thus it is to be normative: it is to function as the controlling story for the whole life of the Christian community. The Biblical narrative is an authoritative worldview. A worldview expresses the deepest and most basic (yet often unconscious) beliefs through which human beings perceive reality.”[18]
Menyikapi hal tersebut para Postmodernis mencium bahaya laten sikap opresif dari kisah besar Alkitab, seperti halnya kisah besar Modern yang telah menancapkan taring buasnya. Bukankah kisah besar Alkitab mengenai bangsa pilihan memupuk semangat rasis orang-orang Yahudi sehingga memantik kebencian yang dalam terhadap orang-orang Samaria? Tidakkah kisah mengenai Ishak dan Ismail memberikan sumbangsih untuk orang-orang Kristen membenci orang Arab? Maka, berpura-pura berdiri di atas sepatu Postmodern saya mencoba untuk menjawab: “Kisah-kisah Ishak dan Ismael, bangsa pilihan, dan sebagainya adalah kisah kecil (instead of kisah besar) yang berlaku tidak untuk seluruh pengalaman, situasi, dan kelompok dalam segala zaman.” Namun apakah kekristenan akan menjawab dengan cara yang sama? Saya percaya bahwa kekristenan tidak semestinya mengebiri potensi dari kisah besarnya karena tak mampu menjawab tuduhan pantang menyerah ini, sembari membiarkan diri tenggelam dalam konsep kisah kecil seperti yang diusulkan oleh Postmodernisme.
Sebelum memberikan alternatif jawaban terhadap permasalahan kisah besar, sangat baik kita cermati lubang besar alternatif postmodern yang diamati oleh Goheen dan Bartholomew (dan juga Wright):
“…‘the postmodern’ suspicion of grand narrative – indeed its general neglect of narrative altogether – does not mean that it avoids taking a (grand) position on reality. It is possible that its rejection of grand story may conceal its own, coercive commitments. In our opinion grand narratives or worldviews cannot be avoided – part of being human means indwelling and living out of some such basic narrative albeit unconsciously. Unavoidably these narratives compete with each other and claim to tell the truth about the world in which we live, and undoubtedly some are much healthier than others. Thus, it is not a question of whether we indwell a grand narrative but of which one we indwell.”[19]
Melalui penegasan di atas saya ingin menekankan apa yang saya maksudkan dengan judul artikel ini, perang kisah. Alternatif kisah kecil Postmodernisme tidak benar-benar menjawab permasalahan kisah besar yang bersifat opresif. Dalam level teori, relativitas Postmodern sendiri sangat menyatakan sikap opresif yang bersifat mutlak, penolakannya terhadap kisah besar telah menjadi kisah besar yang lain. The death of the metanarrative is itself a metanarrative.[20] Peperangan yang terjadi adalah peperangan antar kisah besar bukan antara kisah besar dan kisah kecil.
Selanjutnya kita menyaksikan hal yang mengerikan dalam “dekonstruksi individual”, demikian dikatakan Wright mengenai dasar postmodernisme (Manusia bukan lagi tuan atas takdirnya, melainkan …are each a mass of floating signifiers, impulses and impressions, changing all the time, reconstructing ourselves as we go along according to the stimuli we receive, the spin that comes our way.[21] Dilema postmodern digambarkan oleh Wright sebagai reality ain’t what it used to be, …, we aren’t feeling ourselves any more. We are left with a pick-and-mix culture, an if-it-feels-good-do-it culture… ).[22] Dengan tajam, Henk G. Geertsema menyatakan bahwa penolakan Postmodern terhadap otoritas bukan menyelesaikan masalah Modernisme melainkan membuatnya semakin rumit.[23] Hal yang terjadi dalam dunia Modern adalah penolakan terhadap otoritas (tradisi, agama dan sebagainya), meneriakkan kebebasan untuk berpikir, lepas dari tradisi etis serta religius, dan hal yang serupa kini diteriakkan oleh Postmodernisme yaitu kebebasan individu dari opresi kisah besar. Sebuah dunia yang benar-benar sulit kita bayangkan bila kita berani menerapkan konsep ini secara utuh. Apa jadinya bila setiap manusia memiliki penafsiran mengenai the way the world is sendiri dan setiap manusia tersebut harus berinteraksi satu dengan yang lainnya? Pembebasan budak, revolusi para buruh, revolusi dalam gereja, atau sebaliknya perbudakan yang semakin hebat? Menyadari realita dosa, di mana manusia cenderung lebih suka untuk mendapatkan apa yang menjadi kepentingan pribadi atau kepentingan golongannya, saya membayangkan seleksi alam atau (lebih vulgar lagi) hukum rimbalah yang mungkin mengaktualisasikan dirinya. Kita melihat protes-protes terhadap tatanan pemerintahan yang dianggap tiran menjadikan sekelompok manusia pelaku protespun bertindak tiran terhadap yang lain (anarkisme yang nyata), ketertiban umum, keamanan, dan kenyamanan masyarakat dalam beraktivitas terganggu, bukankah ini merupakan sebuah opresi dalam bentuk yang cukup nyata?
To be human means to embrace some such basic story through which we understand our world and chart our course through it.[24] Demikianlah penegasan Batholomew dan Goheen; namun bila kisah besar Modernitas membelalakkan mata kita akan kerusakan besar yang telah dihasilkannya, dan kisah-kisah kecil Postmodernisme sebenarnya merupakan kisah besar lain yang ternyata tidak mampu memberikan jawaban, kisah seperti apakah yang semestinya kita hidupi, tawarkan serta ceritakan? Pertama kita perlu untuk menyadari dahulu bahwa Alkitab kita adalah sebuah kisah besar.[25] Bartholomew dan Goheen (bergantung pada pengamatan Wright bahwa Alkitab merupakan satu kisah besar yang terdiri dari 5 babak) membagi kisah besar Alkitab dalam 6 babak. Babak-babak dalam kisah tersebut meliputi 1. Penciptaan, 2. Kejatuhan, 3. Penebusan melalui Israel, yang 4. Digenapi dalam Kristus Yesus, 5. Kontuniutas karya penebusan dalam geraja Tuhan, serta 6. Kedatangan kembali Kristus Yesus yang menyempurnakan segalanya.[26] Wright menyatakan bahwa kisah tersebut belum genap, ada kontinuitas yang mana gereja Tuhan hingga masa kini mengambil peran dalam drama kisah besar ini (babak 5). Allah Roh Kudus memberikan kekuatan kepada kita untuk memainkan kelanjutan dari kisah besar yang masih berlangsung ini, yaitu karya Kristus Yesus yang sudah digenapi dan sedang terus digenapi dalam gereja Tuhan. Dalam memainkan kisah yang terus berlangsung ini kita perlu untuk melihat kesinambungan kisah-kisah tersebut, yaitu bagaimana Allah mulai mencipta, bagaimana manusia telah terjatuh dalam dosa, bagaimana Allah mengadakan tindakan penebusan, sejak dari zaman perjanjian lama, hingga era Kristus Yesus berinkarnasi, bagaimana gereja mula-mula menjalankan misi Kristus Yesus ini, dan hal yang tidak kalah penting adalah kita melihat akhir dari kisah ini yaitu bagaimana Kristus Yesus datang kedua kalinya dan menggenapkan kesempurnaan seluruh seluruh kisah karya agung Allah ini. Memperhatikan kesinambungan seluruh cerita seharusnya memberikan kita arah di dalam memainkan peran kita (dalam babak 5). Babak kelima dalam skema ini berlangsung sangat panjang, diawali dari pekerjaan Allah dalam diri para rasul dan gereja mula-mula, diwarnai perjuangan para bapa gereja dalam menghadapi kesesatan doktrin, dikelamkan oleh berbagai kejadian memilukan abad kegelapan, dibumbui oleh banjir darah dan bau hangus daging para martir, dan terus berlanjut hingga kini dalam gereja Tuhan sembari kita menantikan akhir dari babak terakhir. Bagaimanakah kita melibatkan diri dalam kisah agung karya Allah yang besar ini?
Benar bahwa kisah besar ini bersifat universal; kita tidak semestinya bergidik mendengar celoteh Postmodern akan kisah besar yang bersifat opresif. Kisah besar Alkitab bersifat universal, namun berbeda dari kisah mitos progresi modern, kisah ini, dikatakan oleh J. Richard Middleton dan Brian J. Walsh addresses our postmodern situation with both compassion and power bukan menjadi kisah besar yang bersifat opresif dengan bumbu kekerasan, namun sebaliknya, …the story the Scriptures tell contains the resources to shatter totalizing readings, to convert the reader, to allign us with God’s purposes of shalom, compassion and justice.[27] Kisah ini berbicara mengenai God who did not need to create, but who did so out of overflowing and generous love… God who did not need to redeem and recreate, but did so as the greatest possible act of self-giving love.[28] Maka setiap kita yang membaca dan terbentuk di dalam kisah ini semestinya menjadi komunitas yang berani mengurbankan diri dan memberikan kasih, sebab inilah motif yang begitu kental dalam kisah ini.
Memainkan peran kita di dalam babak yang masih terus berlangsung tentu memerlukan pergumulan tersendiri; kita tidak hidup di Palestina abad pertama, banyak di antara kita yang kini hidup di kota-kota besar abad ke-21. Kita perlu untuk terus sadar akan apa kisah besar yang sedang dan akan terus kita hidupi, berani mereformasi pembacaan kita terhadap kisah yang diwartakan dalam Alkitab dengan rajin membaca dan mempelajarinya, serta mereformasi hidup kita untuk memainkan drama yang tepat sesuai peran misioner kita dalam babak kelima ini. Kita berdoa memohonkan kekuatan dari Allah Roh Kudus untuk memampukan kita membaca kisah besar Alkitab, melihat peran kita di dalam karya besar penyelamatan dari Allah ini. Pdt. Stephen Tong memainkan peran ini dengan memberikan dirinya dijejali oleh rentetan kesibukan, memberitakan berita otoritatif Injil dengan tidak menggubris teror akan keselamatan diri, menjalankan peran dalam penebusan Allah dalam bidang doktrin, musik, dan sebagainya. Saya percaya bahwa mempertanyakan diri kita sendiri mengenai respons kita dalam memainkan peran misioner kita dengan jujur adalah sebuah tindakan wajar. KKR, SPIK, STRIJ (dan STRI yang lain), NREC, Simposium, janji iman, rapat-rapat, berkorban waktu dan tenaga, berluas hati menerima keberadaan orang lain yang tidak kita sukai, konser-konser dan sebagainya adalah berbagai simbol yang muncul dalam gerakan kita. Simbol yang saya percaya (mula-mula) muncul dari respons akan peran misioner Kristen dalam zaman ini, namun mungkin sudah cukup kabur dalam pandangan kita sehingga kita hanya menyeret diri dan terseok-seok dalam simbol-simbol tersebut sambil menggerutu. Saya berdoa kiranya Tuhan mengaruniakan kita untuk mengerti dan semakin mengerti peran unik masing-masing kita di dalam gerakan ini, dan lebih besar lagi, di dalam kisah besar karya Allah, babak kelima yang dengan sukacita kita mainkan. Kiranya Allah Roh Kudus berkarya di dalam kesadaran diri kita bahwa tidak ada kisah besar lain yang layak kita hidupi, kita memainkan kelanjutan babak kelima sembari menantikan dengan kepastian akhir babak keenam, terpujilah Kristus. Amin! Let God be praised!
Ev. Eko Aria
Pembina Pemuda Remaja GRII Bintaro
[1] Eugene Peterson. Living into God’s Story
[2] Ibid 1
[3] Ibid 1
[4] N.T. Wright. The Bible for the Postmodern World. 1
[5] Lee, Ken Ang. Festchrift in Honor of Stephen Tong. 272
[6] Ibid 273
[7] N.T. Wright 2
[8] Stephen Tong. Perjuangan Menantang Zaman. 226
[9] N.T Wright 2
[10] Ibid. 2 (garis bawah saya tambahkan)
[11] Stephen Tong. 258
[12] Lee, Ken Ang. 275
[13] N.T Wright. 4
[14] Lee, Ken Ang. 276
[15] Ibid. 275
[16] Michael W. Goheen. The Urgency of Riding the Bible as One Story in the 21st Century. 2.
[17] Craig G. Bartholomew and Michael W. Goheen. Story & Biblical Theology. 8
[18] Ibid. 13
[19] Ibid. 25 (garis bawah saya tambahkan)
[20] N.T Wright. 8
[21] Ibid. 5
[22] Ibid
[23] Henk G. Geertsema. Authority of Scripture & Authority in the Church in A Postmodern Climate. 4
[24] Craig G. Bartholomew and Michael W. Goheen. The Drama of Scripture. 18-19
[25] Saya tidak sedang mengatakan bahwa semua genre dalam tiap kitab (66 kitab) dalam seluruh Alkitab adalah narasi; untuk hal ini artikel Craig G. Bartholomew and Michael W. Goheen Story & Biblical Theology hal 16-17 menjelaskannya dengan baik.
[26] Bisa dibaca juga dalam tulisan Michael W. Goheen dan Albert M. Wolters dalam catatan tambahan buku Creation Regained yang sudah diterjemahkan oleh Momentum (Pemulihan Ciptaan). 143-145
[27] J. Richard Middleton & Brian J. Walsh. Truth is Stranger Than It Used to Be. 107
[28] N.T. Wright 13