Foto beberapa orang sedang melakukan voting.

Perenungan mengenai Peran Civil Society di Negara Demokrasi

Fondasi
Pada bulan ini, saya ingin mengajak pembaca secara umum untuk menyoroti bidang pemerintahan dan masyarakat, dan secara spesifik membahas mengenai civil society di negara demokrasi (e.g. Indonesia). Pertama-tama, kita akan bersama-sama melihat beberapa hal mendasar mengenai pemerintahan. Sebenarnya, konsep manusia yang memerintah manusia tidak sesuai dengan creational design yang Tuhan tetapkan. Sebab seharusnya, Allah-lah yang menjadi ‘pemerintah’ dan pemegang otoritas tertinggi.[1] Namun setelah kejatuhan, kita melihat bahwa peran manusia untuk memerintah sesama manusia menjadi diizinkan. Dari perspektif ini, pemerintah dapat dilihat sebagai bentuk anugerah umum (common grace) yang berfungsi untuk menahan kejahatan. Kita tidak boleh memberi label yang terlewat negatif terhadap pemerintah. Calvin dalam Institutio bagian terakhir (Book IV Chapter 20: Of Civil Government) menyatakan bahwa pekerjaan sebagai magistrat adalah pekerjaan yang paling mulia dalam kehidupan di dunia yang sementara ini.[2] Dalam Perjanjian Lama sendiri, kita dapat melihat beberapa orang yang dicatat terlibat dalam pemerintahan secara langsung, seperti Yusuf, Daniel, Daud, Salomo, Hizkia, Nehemia, dan Ester.

Dalam Roma 13 dan 1 Petrus 2, Alkitab dengan jelas memaparkan hak dan peran pemerintah. Pemerintah memang mendapatkan otoritas yang sangat tinggi, namun kita tidak boleh lupa bahwa otoritas itu berasal dari Allah. Jadi, Allah berhak menerima pertanggungjawaban bahkan berhak mencabut otoritas itu dari pemerintah. Sebagai orang Kristen, kita juga diperintahkan untuk takut dan taat kepada pemerintah. Tuhan Yesus juga mengajarkan untuk mengembalikan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan, dan mengembalikan kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar. Secara fungsi, pemerintah berperan untuk menjalankan keadilan, menghukum pihak yang jahat, mengelola pajak, dan menggunakan senjata. Dalam perkembangannya, kita juga perlu bersama-sama memikirkan relasi pemerintah dengan institusi-institusi lain dalam masyarakat, misalkan keluarga, sekolah, perusahaan, dan gereja. Salah seorang pemikir besar dalam hal ini adalah Abraham Kuyper, yang mencetuskan gagasan mengenai Sphere of Sovereignty[3]. Setiap sphere atau institusi memiliki hak, cakupan, dan otoritasnya yang unik, dan masing-masing harus bertanggung jawab langsung kepada Tuhan.

Lubang yang Menganga
Jauh sebelumnya, Allah sudah memberikan peringatan yang keras dan detail kepada orang-orang yang akan memerintah sebagai raja (tertulis dalam Ulangan 17).[4] Pengaturan keluarga, perolehan harta, kepemilikan ternak, sampai sikap dalam mempelajari firman, semuanya sudah tertulis dengan begitu jelas. Sebab raja memiliki otoritas dan kuasa yang besar sekaligus sangat rentan untuk menyeleweng dan menyalahgunakan hak yang ia miliki. Sepanjang sejarah, kita sudah ‘kenyang’ melihat tingkah laku pejabat dan kepala pemerintahan yang begitu rusak dan telah menorehkan luka menganga yang bekasnya tidak kunjung hilang. Dalam Perjanjian Lama, raja-raja yang melawan Tuhan akhirnya menyebabkan seluruh bangsa Israel mendapatkan hukuman yang begitu berat.[5] Dalam Perjanjian Baru, bahkan ada raja yang ditampar oleh malaikat dan mayatnya dimakan oleh cacing-cacing karena ia begitu kurang ajar terhadap Tuhan.[6]

Salah satu konsep pemerintahan yang sangat rusak pernah dicetuskan oleh Niccolo Machiavelli.[7] Filosofi pemerintahannya menekankan pemerintahan yang bersifat diktator, penggunaan kekerasan, penipuan terhadap rakyat, pemusatan kepentingan diri, dan perolehan kuasa sebesar-besarnya dengan segala cara. Prinsip-prinsip yang sangat beracun ini dipegang erat oleh para diktator besar sepanjang sejarah.[8] Di saat yang sama, negara-negara Kristen pun tidak kebal terhadap kerusakan dalam aspek pemerintahan. Kita bisa melihat dengan jelas korupsi yang begitu berakar dan mendominasi di negara Filipina dan negara-negara Kristen di Amerika Latin.[9] Belum lagi maraknya metode pencitraan yang dilakukan dalam proses pemilihan umum dan mendukung kebijakan-kebijakan. Rakyat menjadi terbuai dan tidak lagi memerhatikan esensi dan kapabilitas utama dari sang calon pemimpin.[10]

Dalam skala global, ada dua peristiwa yang menyebabkan perubahan besar dalam paradigma relasi antarnegara. Yang pertama adalah Perang Dunia I yang memakan begitu banyak korban jiwa dan menyebabkan kerusakan yang masif. Setelah kejadian ini, mulai dipikirkan dengan sangat serius ide-ide dan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya perang dalam skala besar/global. Peristiwa ini menyebabkan munculnya bidang ilmu akademik ‘Relasi Internasional’ dan didirikannya Liga Bangsa-Bangsa (yang kemudian berkembang menjadi PBB karena LBB dianggap tidak bisa mencegah Perang Dunia II). Peristiwa yang kedua adalah krisis minyak dan sekaligus runtuhnya arsitektur/sistem keuangan internasional (sistem Bretton Woods) di tahun 1970-an. Kejadian ini melahirkan bidang ilmu akademik ‘Politik dan Ekonomi Internasional’ yang sebenarnya bertujuan untuk mencegah krisis-krisis semacam ini terjadi kembali. Namun demikian, di abad informasi ini, kita tetap saja dengan mudah melihat dan membaca banyaknya ketidakstabilan dan krisis yang sedang dan akan terjadi di berbagai daerah, negara, dan bahkan benua.[11]

Reaksi
Kebobrokan yang terjadi dalam level negara dan pemerintah telah menuai berbagai macam reaksi. Dalam kesempatan ini, saya akan menyoroti tiga macam reaksi, yakni sikap anarkisme, pelarian, dan pencetusan perubahan secara tertib/teratur (orderly reformation). Orang-orang yang melihat kerusakan pada otoritas, pada akhirnya bisa menjadi anti dan sangat menentang otoritas apa pun. Inilah yang menjadi dasar pemikiran yang bersifat anarkis. Mereka bahkan dengan keras mengatakan bahwa pemerintahan seharusnya ditiadakan. Kita harus bijaksana dan berhati-hati dalam menyikapi pandangan seperti ini. Secara singkat, para Reformator merangkumnya dalam satu kalimat yang padat: a corrupt government is better than no government at all[12]. Dalam kitab Hakim-Hakim, telah dibuka realitas kehidupan masyarakat Israel yang tanpa pemimpin/raja, dan masing-masing orang bertindak menurut apa yang benar di mata mereka. Sungguh ini merupakan keadaan yang begitu mengerikan![13]

Sikap yang kedua adalah sikap pasif, apatis, tidak peduli, dan menghindar dari segala hal yang berbau dengan politik dan pemerintahan. Golongan ini mungkin pernah mengalami pengalaman pahit dalam hidupnya dan menjadi tawar hati. Cara pikir demikian cukup banyak dipegang oleh orang Kristen, terutama di Indonesia. Hal-hal yang berbau politik diberi label kotor, tidak suci, dan harus dihindari.[14] Belum lagi adanya sikap paranoid kalau masuk ke dalam pemerintahan yaitu takut terpengaruh lingkungan yang sudah begitu rusak. Ditambah lagi, masih berakar kuatnya mentalitas minoritas dan merasa diri sebagai korban. Jika seperti ini, garam itu pasti akan tetap berada di wadah garam, tidak masuk ke dalam sup yang tawar dan panas. Terang tersebut juga tetap berada di dalam toko lampu/pelita, bukan masuk ke dalam ruangan yang gelap dan kotor.

Reaksi yang ketiga adalah sikap yang aktif dan melakukan suatu reformasi secara tertib dan sesuai dengan ordo. Hal ini dijelaskan Calvin dalam Institutio Book IV, Chapter 20, Section 31.[15] Jika terjadi kesalahan/kerusakan dalam level pemimpin, maka pihak yang berada satu tingkat di bawah harus bisa memberikan koreksi atau masukan. Calvin sangat menentang sikap yang melangkahi dan mengacaukan urutan otoritas, apalagi sampai melakukan revolusi berdarah. Jika prinsip orderly reformation ini terus ditarik ke bawah, maka sebenarnya setiap rakyat memiliki peran untuk memberikan suara dan memantau kinerja aparat pemerintah yang berada satu tingkat di atas mereka. Dengan perspektif ini, seluruh masyarakat memiliki peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Civil Society
Ketika memikirkan tema redemption dalam pemerintahan, hal yang harus kita pikirkan dengan saksama adalah: sejauh mana kita dapat merestorasi suatu aspek/bidang, yang pada awalnya bukanlah creational design?[16] Pendirian saya sampai detik penulisan artikel ini adalah pemerintahan merupakan suatu area yang multidimensi dan memerlukan restorasi dari berbagai aspek mendasar sekaligus. Jika dilihat melalui kacamata ‘15 modes of life’ dari Herman Dooyeweerd, kita harus terus naik banding dan masuk ke dalam lingkup social, economic, aesthetic, juridicial, ethics, dan sampai yang tertinggi, yaitu faith/pistic.[17] Jika kita hanya memerhatikan/memperbaiki satu aspek saja dan mengabaikan yang lain, pasti nantinya akan membentur tembok/batasan, dan bahkan bisa terseret/terpengaruh hal-hal rusak di bidang lain. Di sisi lain, bukan berarti kita harus menunggu sampai seluruh bidang bisa dikerjakan secara bersama-sama dengan sempurna. Ketika kita dengan setia dan bertanggung jawab kepada Tuhan mengerjakan panggilan kita di bidang masing-masing, sekecil apa pun itu, hal itu bagaikan satu bagian kecil ragi yang akan mengkhamirkan seluruh adonan.[18]

Secara spesifik, satu bagian kecil ragi yang ingin saya bahas dengan lebih mendalam adalah mengenai civil society, khususnya dalam konteks masyarakat plural di Indonesia. Dalam pengertian secara luas, civil society adalah golongan ketiga di luar golongan pemerintah dan golongan sektor privat (enterprise), di mana mereka bisa mengemukakan pendapat, saran, perbandingan, dan bahkan melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu.[19] Elemen-elemen yang termasuk dalam golongan ini adalah kaum cendekiawan/intelektual, buruh, kelompok agama, dan lembaga sosial. Konsep ini sebenarnya sudah ada sejak kebudayaan Yunani dan Romawi, yang kemudian mengalami perkembangan pesat pada periode Enlightenment.[20] Dahulu peran kelompok ini dianggap tidak terlalu signifikan dan ada yang memberikan istilah silent majority[21]. Namun dalam beberapa tahun belakangan ini, kita bisa melihat perubahan-perubahan yang dimotori oleh civil society. Sebut saja penggulingan para diktator di Timur Tengah yang digerakkan oleh mahasiswa dan masyarakat biasa.[22] Juga kampanye-kampanye mengenai kerusakan lingkungan hidup yang relatif kurang diperhatikan oleh pemerintah dan sektor privat.[23]

Perkembangan
Pertumbuhan pesat civil society ditandai dengan terbentuknya berbagai NGO (non-governmental organization), komunitas-komunitas, kelompok-kelompok, dan institusi-institusi akademik. Bank Dunia menyatakan bahwa jumlah NGO melonjak tajam dari 6.000 di tahun 1990 menjadi lebih dari 50.000 di tahun 2006.[24] Perkembangan signifikan dari kelompok ini sedikit banyak telah memengaruhi pendekatan isu-isu global, dan sekaligus pemikiran ulang akan peran dari pemerintah. Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi juga memperlebar akses informasi yang tadinya hanya dimiliki oleh pemerintah dan institusi besar. Masyarakat menjadi memiliki begitu banyak jalur untuk mengutarakan pendapatnya.[25] Berbagai lapisan masyarakat kini memiliki potensi untuk melakukan perubahan, apalagi jika bergerak secara serentak, searah, dan bersama-sama.

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon, menyatakan pemikirannya mengenai civil society dalam pidato di World Economic Forum, Davos, Switzerland (29 January 2009):
Our times demand a new definition of leadership – global leadership. They demand a new constellation of international cooperation – governments, civil society and the private sector, working together for a collective global good.”

Berbagai masalah pelik seperti kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial semakin memperlihatkan keterbatasan dari pemerintah dan sektor privat, dan sekaligus memicu civil society untuk melakukan langkah-langkah konkret. Di negara China dan Indonesia, golongan civil society mengalami pertambahan kuantitas yang signifikan. Khususnya kelompok yang terdidik, mereka akan mengalami perbaikan dari sisi ekonomi dan banyak yang masuk dalam kategori middle class. Dengan pesatnya arus informasi dan menguatnya kalangan grassroots, bahkan ada kelompok pengamat yang memprediksi akan keterbukaan China dalam aspek politik, bukan hanya dalam aspek ekonomi saja. Di Indonesia sendiri, riset dari Boston Consulting Group memprediksikan jumlah kelas menengah di Indonesia akan mencapai 74 juta pada tahun 2020. Konsep civil society juga bukanlah hal yang asing bagi Indonesia. Dalam sejarah, kita bisa melihat berbagai bentuk civil society seperti Taman Siswa, Serikat Dagang, dan NU. Setelah era Soeharto, civil society menjadi salah satu lokomotif penting dalam menempuh perjalanan di era demokrasi. Prospek pengembangan civil society di Indonesia sangat tergantung pada beberapa faktor pendukung seperti otonomi (pengurangan ketergantungan mutlak terhadap pemerintah), kemandirian, kemungkinan interaksi dengan lembaga-lembaga pemerintahan, dan keterbukaan dalam arena publik.

Sebuah Perenungan
Dengan mengingat berbagai hal yang telah dibahas sebelumnya, saya kembali mempertimbangkan salah satu keunikan zaman ini, yakni begitu kental dan derasnya perkembangan dan perubahan yang terjadi di berbagai aspek. Terobosan-terobosan yang terjadi pada ratusan tahun periode setelah zaman Renaissance adalah hal-hal yang sama sekali tidak terbayangkan dalam periode ribuan tahun sebelumnya. Di tengah-tengah era digital ini, kita harus sama-sama menggumuli peran gereja dan relasinya terhadap dunia pemerintahan. Yang pasti, relasi campur aduk ala periode Konstantin, justru membuat kekristenan lumpuh dan banyak orang menjadi Kristen dengan motivasi yang tidak murni. Di bagian awal kita sudah melihat bahwa pemerintah adalah salah satu bentuk common grace di dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Di sisi lain, pemerintah melihat gereja sebagai salah satu elemen dalam kategori civil society. Berdasarkan sudut pandang ini, kita bisa bersama-sama melihat langkah-langkah yang bisa dilakukan gereja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (perspektif pemerintah), atau dengan kata lain, menjalankan panggilan mandat budaya (perspektif Theologi Reformed).

Beberapa contoh hal sederhana yang dapat kita lakukan adalah sebagai berikut: (i) Dengan perkembangan teknologi, kita dapat dengan lebih mudah mengawasi kinerja aparat pemerintah dan mengemukakan pendapat/masukan. Khusus untuk provinsi DKI Jakarta, juga dibuka beberapa jalur bagi warga untuk menyampaikan aspirasinya, misalnya melalui SMS atau Blackberry Messenger. (ii) Mengikuti proses Pemilihan Umum, bahkan bagi warga yang berada di luar negeri. Berpartisipasi dalam Pemilu menunjukkan bahwa kita juga turut memikirkan, menganalisa, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (iii) Melakukan kewajiban yang seharusnya kita lakukan seperti membayar pajak dan menaati hukum. Sebagai orang Kristen, kita sadar bahwa Allah telah memberikan otoritas kepada pemerintah. (iv) Dorongan dan ajaran yang menumbuhkan semangat inkarnasi dalam ibadah dan wadah-wadah gereja. Buah dari dorongan ini tidak berarti setiap jemaat harus terjun langsung ke politik. Bisa saja akhirnya jemaat-jemaat ada yang tergerak untuk lebih terjun dalam pelayanan, atau bahkan menjadi misionaris, guru, pengusaha yang berintegritas, ataupun ilmuwan yang dapat melihat Tuhan dalam setiap pekerjannya. Bersyukur jika ada yang tergerak untuk menjadi kepala desa, kepala camat, gubernur, hakim, atau bahkan presiden. Intinya adalah kita tidak hidup hanya untuk kesenangan diri, melainkan seperti Kristus, rela menyangkal dan mengorbankan diri karena dorongan cinta kasih yang begitu luar biasa. Ini hanyalah beberapa contoh aplikatif saja. Saya percaya ada banyak contoh lain yang dapat kita pikirkan bersama-sama.

Saya ingin menutup artikel ini dengan memaparkan beberapa kendala dalam perkembangan civil society di Indonesia. Sekali lagi, kendala ini tidak harus memupuskan harapan kita atau membuat kita berhenti berjuang. Namun justru kita semakin sadar bahwa kita adalah manusia yang begitu terbatas dan semata-mata hanya bisa mengemis anugerah Allah. Salah satu masalah yang ada di Indonesia adalah begitu majemuknya masyarakat. Kemajemukan memang memiliki kekuatan tersendiri. Namun di sisi lain, tingkat fragmentasi di masyarakat bisa menjadi tinggi. Hal ini bisa diperparah oleh ketimpangan sosial yang semakin meningkat, misalnya dalam aspek ekonomi. Isu lain yang kita hadapi adalah mengenai radikalisme dan intoleransi yang masih kerap terjadi. Dalam masyarakat plural, perbedaan-perbedaan seharusnya merupakan suatu hal yang lumrah. Namun sangatlah disayangkan jika ada kelompok-kelompok yang memaksakan ideologi tertentu bahkan menggunakan metode kekerasan. Kiranya hal-hal ini tidak membuat kita menjadi tawar hati, namun justru membuat kita semakin berserah dan berdoa memohon kepada Tuhan.

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Endnotes:
[1] Pandangan theonomy memperjuangkan bahwa Allah-lah yang harus memerintah secara riil dalam konteks dunia atau pemerintahan sekarang ini.
[2] Institutes of Christian Religion, Book IV Chapter 20 Section 4: Wherefore no man can doubt that civil authority is, in the sight of God, not only sacred and lawful, but the most sacred, and by far the most honorable, of all stations in mortal life.
[3] Abraham Kuyper adalah seorang theolog, negarawan, jurnalis, dan perdana menteri Belanda. Ia menekankan bahwa Allah harus bertakhta dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Lectures on Calvinism.
[4] Peringatan dan peraturan sudah Tuhan berikan, jauh sebelum kejadian tua-tua Israel meminta raja yang tercatat dalam kitab 1 Samuel.
[5] Salah satu hukuman terberat adalah pembuangan ke Babel dan orang Israel tidak bisa beribadah di sana. Mereka kerap kali meratap atas hukuman ini.
[6] Kisah 12:20-23 mencatat Herodes yang tidak memberi hormat kepada Allah. Ia ditampar malaikat Tuhan dan mayatnya dimakan cacing-cacing.
[7] Niccolo Machiavelli berasal dari Italia dan lahir pada tahun 1469. Ia hidup dalam zaman yang sangat kacau di mana pergeseran kekuasaan dan pembunuhan adalah pemandangan sehari-hari. Karyanya yang paling terkenal berjudul ‘The Prince’.
[8] Beberapa diktator besar yang memegang prinsip-prinsip Machiavelli: Benito Mussolini, Joseph Stalin, dan Adolf Hitler.
[9] Salah satu daftar ranking negara terkorup tercantum dalam website berikut: http://www.transparency.org/cpi2012/results.
[10] Ronald Reagan yang juga adalah pemain film dan aktor, menggunakan metode pencitraan dalam kampanye dan kebijakan-kebijakan politik yang ia ambil.
[11] Contoh lain misalnya gertakan perang nuklir oleh Korea Utara, ketegangan antara Cina dan Jepang, krisis ekonomi di Eropa yang tidak kunjung usai, dan ancaman aksi terorisme.
[12] Kalimat ini dicetuskan oleh John Calvin dan sikap anarkis sangat ditentang olehnya.
[13] Kitab Hakim-hakim ditutup dengan peristiwa begitu keji yang menyebabkan perang saudara dan hampir memusnahkan seluruh suku Benyamin.
[14] Hal ini diperparah dengan konsep bahwa iman hanya untuk urusan rohani di hari Sabtu dan Minggu. Iman dianggap tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, apalagi dunia politik.
[15] Calvin memakai contoh Ephori yang menentang raja, atau Demarchs yang menyatakan ketidaksetujuan kepada senat.
[16] Buku ‘Creation Regained’ menggunakan istilah structure dan direction untuk membedakan aspek-aspek yang bisa di-redeem dan yang tidak. Misalkan saja pekerjaan sebagai perampok atau pelacur tidak akan pernah bisa di-redeem karena secara natur memang sudah rusak.
[17] Pembahasan mengenai 15 modes of life bisa dilihat dalam website berikut: http://www.dooy.salford.ac.uk/aspects. html.
[18] Matius 13:33.
[19] Definisi civil society sangatlah beragam dan luas sehingga perlu diperhatikan konteks di mana istilah ini digunakan.
[20] Contoh-contoh konsep civil society sepanjang sejarah: Aristotle menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik. Hegel membagi struktur sosial menjadi tiga entitas, yakni keluarga, masyarakat (civil society), dan negara. Alexis de Tocqueville berargumen bahwa civil society-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika begitu kuat dan solid.
[21] Istilah silent majority dipopulerkan oleh Presiden Richard Nixon dalam pidatonya pada tanggal 3 November 1969. Namun Nixon bukanlah orang pertama yang menggunakan istilah ini.
[22] Kaum agamawan, mahasiswa, dan masyarakat sipil melakukan protes secara aktif untuk menggulingkan pemerintahan diktator. Misalkan saja di Mesir dan Libya.
[23] Contoh organisasi yang sangat menggalakkan kampanye lingkungan hidup adalah World Wide Fund for Nature (WWF) dan Greenpeace.
[24] Data ini tercantum dalam website berikut: http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/CSO/0,,contentMDK:20101499~menuPK:244752~pagePK:220503~piPK:220476~theSitePK:228717,00.html.
[25] Misalnya saja perkembangan social media dan beberapa website pemerintah di mana mereka memiliki kolom/area untuk penyaluran aspirasi rakyat.