Pertobatan Sejati

“Saya menyesal sekali kenapa saya harus melakukan hal ini.”

“Sekiranya saya dapat membalikkan waktu, saya tidak akan melakukannya.”

Kita sering mendengar perkataan seperti ini tatkala keadaan tidak seperti yang kita harapkan. Tetapi bagaimana dengan apa yang kita harapkan dan terjadi, apakah kita pernah mengatakan kalimat serupa di atas? Kita juga tidak jarang mendengar kalimat seperti di bawah ini:

“Untung tidak ketahuan.”

“Hampir-hampir saja tidak lolos.”

Bagaimana dengan kalimat di atas, bukankah kita sering bersyukur jika kesalahan yang kita lakukan tidak ketahuan dan tidak perlu dipertanggungjawabkan. Penyesalan kita sering terjadi karena kita “ketahuan” atau karena kita harus mempertanggungjawabkan dan menghadapi konsekuensi dari perbuatan yang sudah kita perbuat. Kita menyesal akan dosa yang kita lakukan harus dipertanggungjawabkan karena sudah “tertangkap basah”, “terlanjur salah”, dan kita juga terpaksa harus menerima segala konsekuensi yang ditetapkan. Kemudian apa yang kita lakukan setelah berhadapan dengan konsekuensinya:

“Ya mau gimana lagi, pasrah saja.”

“Nasi sudah menjadi bubur. Saya terima segala konsekuensinya.”

Benarkah kita dengan berani menerima konsekuensinya atau kita hanya “terpaksa” karena sudah tidak ada jalan keluar? Sekiranya ada jalan keluar apakah kita akan berusaha mencari alternatif lain untuk mengelak segala konsekuensi yang ada? Dan setelah menerima konsekuensinya, apakah kita masih akan melakukan kesalahan yang sama? Jika jawaban untuk dua pertanyaan di atas adalah “ya”, maka dapat disimpulkan bahwa itu bukanlah penyesalan yang memimpin kepada pertobatan sejati.

Banyak penyesalan hanya dilatarbelakangi oleh ketidakrelaan perbuatan salah “dibongkar” dan dinyatakan secara terang-terangan dan menanggung konsekuensi yang ada. Penyesalan lebih disebabkan takut hukuman atau takut konsekuensi.

Di dalam Alkitab dibahas dua tokoh yang kisah hidupnya ditulis di dalam Kitab yang sama, 1 & 2 Samuel; dari bangsa yang sama, Israel; diurapi oleh nabi yang sama, Samuel (1Sam. 10:1; 16:13); memiliki status yang sama, Raja; dan sama-sama memiliki perawakan yang menarik (1Sam. 9:2; 16:12). Kedua tokoh itu adalah Saul dan Daud. Keduanya memiliki banyak kesamaan, tetapi keduanya juga memiliki perbedaan yang sangat mencolok.

Kita akan melihat perbedaan Saul dan Daud seperti yang dicatat di dalam kitab 1 & 2 Samuel. Mari kita membahas Saul terlebih dulu. Raja Saul, ketika diperhadapkan dengan pasukan Filistin yang sudah mengepung dan rakyat yang mulai meninggalkannya, menjadi takut dan mengambil inisiatif untuk mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan. Korban bakaran dan korban keselamatan seharusnya dilakukan oleh seorang imam. Dalam hal ini Saul tidak sabar menunggu Samuel yang sedikit tertunda kedatangannya dan memberanikan diri mengambil posisi imam mempersembahkan korban menggantikan Samuel. Saul melanggar perintah Tuhan dengan mengambil ahli tugas Samuel dan tidak beriman kepada Tuhan tatkala kesulitan menimpa (1Sam. 13:9-14).

Pada kejadian lain, Saul juga tidak taat pada perintah Allah untuk menumpas habis semua laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun ternak. Saul dengan sengaja menyisakan Agag, raja orang Amalek beserta kambing, domba, lembu, dan anak domba. Supaya kelihatan beribadah kepada Tuhan, dia menggunakan alasan mengatakan jarahan itu adalah untuk dipersembahkan sebagai korban kepada Tuhan. Untuk menutupi kesalahannya, Saul juga menipu Samuel mengatakan bahwa dia terpaksa “melangkahi” titah Tuhan karena rakyat yang mengambil jarahan tersebut dan bahwa dia takut kepada rakyat (1Sam. 15:8-23).

Setelah ditegur oleh Samuel: “Aku tidak akan kembali bersama-sama dengan engkau, sebab engkau telah menolak firman TUHAN; sebab itu TUHAN telah menolak engkau, sebagai raja atas Israel.” Saul menyesal dengan sangat, memohon supaya Samuel jangan meninggalkan dia. Tetapi alasan penyesalannya adalah karena dosanya ketahuan dan karena dia kehilangan muka di hadapan tua-tua dan orang-orang Israel. Jadi sesungguhya Saul lebih takut kehilangan muka dan wibawa di hadapan manusia daripada dibuang oleh Tuhan. Penyesalannya bukanlah penyesalan karena sudah melanggar firman Tuhan, melainkan karena takut dosanya diketahui orang dan harus kehilangan reputasi yang sudah dibangunnya selama ini (1Sam. 15:24-30).

Pada pasal-pasal berikutnya juga dicatat bagaimana Saul semakin terpuruk dalam dosanya dan tidak bertobat sungguh-sungguh. Dia mengerti benar bahwa dia sudah ditolak oleh Tuhan, dan Tuhan sudah memilih Daud menggantikan posisinya sebagai raja. Hal itu membuat Saul menjadi sangat iri dan benci kepada Daud dan berulang kali ingin membunuh Daud (1Sam. 18:24; 19:10; 20:30; 23:8; 26:2), tetapi selalu tidak berhasil karena tangan Tuhan menghalangi niat jahatnya (1Sam. 18:28-29; 19:10; 23:28; 24:22; 26:13), serta berulang kali menyesal mengenai niat jahatnya, ketika Daud menunjukkan belas kasihan kepadanya dan tidak membunuhnya (1Sam. 24:16-21; 26:21). Penyesalannya yang mendalam didasari karena Daud tidak membunuhnya dan bukan karena dia benar-benar mau bertobat untuk mengikuti perintah Tuhan atau dengan rela mau menyerahkan kedudukannya kepada Daud sebagai orang yang diurapi Tuhan untuk menggantikan dia sebagai raja. Penyesalan Saul merupakan penyesalan yang sementara dan tidak membawa kepada resolusi pertobatan yang sejati. Dia hanya menyesal, kenapa tidak berhasil membunuh Daud dan bahkan justru tidak dibunuh oleh Daud.

Tuhan sudah melarang segala praktek pertenungan dan penyembahan ilah-ilah. Awalnya Saul sendiri juga melarang segala praktek pertenungan (1Sam. 28:9), tetapi tatkala menghadapi peperangan dengan orang Filistin, Saul menjadi takut dan meminta petunjuk kepada Tuhan, tetapi Tuhan tidak menjawab. Dia kehilangan arah, dia berkompromi untuk mencari jawaban dengan caranya sendiri yaitu melalui pertenungan, maka dengan menyamar dia meminta petunjuk dari seorang wanita penenung. Ketika didengar nubuatan Samuel mengenai hukuman yang akan Tuhan timpakan kepadanya, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya pasrah harus menerima kenyataan yang sangat pahit bahwa Dia dan anak-anaknya akan mati di tangan orang Filistin.

Penyesalan demi penyesalan Saul lalui, tetapi penyesalan bukan pertobatan. Dia menyesali mengapa dia ditolak oleh Tuhan, tetapi tidak mau segera sadar dan mengikuti apa yang Tuhan inginkan yaitu dengan rela menyerahkan takhta kerajaannya kepada Daud. Dia berusaha dengan usaha sendiri menghalangi Tuhan menaikkan Daud ke atas takhta Israel dengan segala cara membunuh Daud. Bahkan sampai pada titik terakhir kehidupannya, dia mencari jalan sendiri untuk berusaha melawan orang Filistin, tetapi waktu Tuhan untuknya sudah berakhir. Kesempatan pertobatan sudah tidak ada lagi, dia dan anak-anaknya akan terbunuh di dalam pertempuran dan tampuk pemerintahannya akan diserahkan Tuhan kepada Daud.

Sedangkan di sisi yang lain, Daud ketika menjadi raja menggantikan Saul, juga tidak luput dari kejatuhan. Saat melihat Batsyeba dari atas sotoh istana, timbul niat Daud untuk memilikinya, padahal Batsyeba sudah bersuami. Daud merencanakan kematian Uria, suami Batsyeba di dalam pertempuran dengan mengirim pesan kepada Yoab: “Tempatkanlah Uria di barisan depan dalam pertempuran yang paling hebat, kemudian kamu mengundurkan diri dari padanya, supaya ia terbunuh mati.” Setelah Uria terbunuh di dalam peperangan, Daud mengambil Batsyeba menjadi istri (2Sam. 11).

Hal ini adalah jahat di mata Tuhan, maka nabi Natan diutus oleh Tuhan untuk menegur Daud. Daud sangat menyesali dosanya. Kesedihan yang sangat dalam tertuang di dalam Mazmur yang dikarangnya: “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar!” Daud sangat bersedih hati, dia takut kepada Tuhan dan sungguh menyesali dosa yang diperbuatnya dan meminta dengan sangat kepada Tuhan supaya dosanya disucikan dan tidak dibuang oleh Tuhan. Daud mengerti akan signifikasi Roh Allah menaungi seseorang. Oleh karena dia sendiri menyaksikan bagaimana Roh Allah meninggalkan Saul, sehingga Daud meminta supaya Roh Allah jangan diambil daripadanya (Mzm. 51:13).

Daud mengerti dosa yang diperbuatnya adalah dosa terhadap Tuhan, sehingga Daud mengatakan: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu” (Mzm. 51:6). Daud mengerti bahwa dosa membunuh Uria bukan merupakan dosa kepada Uria, melainkan dosa kepada Tuhan sendiri. Di sini jelas bahwa Daud mengerti dari sudut pandang Allah sendiri (relasi vertikal) dan bukan kepada manusia (relasi horizontal). Hal serupa juga dapat kita temui dalam teladan Yusuf, yang melihat perzinahan dengan istri Potifar jika dilakukan maka perbuatan itu adalah “perbuatan dosa terhadap Allah” (Kej. 39:9). Kesadaran ini menjadi titik pertobatan Daud, karena berdosa kepada Tuhan maka tidak ada cara lain kecuali kita kembali kepada Tuhan untuk meminta pengampunan dan belas kasihan dari Tuhan.

Setelah penyesalan itu, Daud tidak meninggalkan Tuhan. Daud bertobat dari segala pelanggarannya. Daud sadar dan menerima konsekuensi yang akan ditanggungnya seperti yang diucapkan oleh Nabi Natan: “Oleh sebab itu, pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya, karena engkau telah menghina Aku dan mengambil isteri Uria, orang Het itu, untuk menjadi isterimu. Beginilah firman TUHAN: Bahwasanya malapetaka akan Kutimpakan ke atasmu yang datang dari kaum keluargamu sendiri. Aku akan mengambil isteri-isterimu di depan matamu dan memberikannya kepada orang lain; orang itu akan tidur dengan isteri-isterimu di siang hari.” Konsekuensinya dapat kita lihat saat Tamar diperkosa oleh Amnon; Absalom membunuh Amnon, karena Amnon sudah mencemari adik kandungnya, Tamar; Absalom berkonspirasi untuk menggulingkan ayahnya, Daud; Daud harus melarikan diri terhadap Absalom. Di dalam menghadapi hal tersebut dia sadar itu merupakan akibat ketidaktaatannya kepada Tuhan. Daud tidak berusaha menggunakan usaha sendiri menghentikan hukuman Tuhan terhadap dirinya, tetapi dengan kesadaran bahwa dia harus kembali berharap kepada Tuhan.

Ketika di dalam pelarian terhadap Absalom, Daud belajar bergantung kepada Tuhan, walaupun di dalam keadaan terjepit, dan orang-orang mengatakan bahwa dia tidak ada jalan keluar dan Allah tidak akan menolongnya. Daud tidak terpengaruh oleh perkataan manusia dan tidak terpengaruh oleh keadaan, melainkan menulis mazmur pengharapan kepada Allah: ”Tetapi Engkau, TUHAN, adalah perisai yang melindungi aku, Engkaulah kemuliaanku dan yang mengangkat kepalaku” (Mzm. 3:4). Daud yakin akan perlindungan Tuhan dan beriman kepada Tuhan sepenuhnya.

Daud terus mengandalkan Tuhan, meskipun demikian Daud tidak luput dari dosa. Selain dosa berzinah pada masa mudanya, pada masa kejayaannya Daud melakukan sensus untuk menyatakan kemuliaan yang sudah dicapainya, dan hal itu dipandang jahat di mata Tuhan maka dia segera sadar. Alkitab menggunakan kata “berdebar-debarlah hati Daud”, suara hatinya menegurnya karena Daud semakin peka akan suara Tuhan. Daud segera insaf dan memohon supaya hukuman ditimpakan kepada dirinya dan kaum keluarganya dan bukan kepada bangsa Israel. Ada suatu pertobatan sejati di dalam diri Daud, di mana dia berani meninggalkan dosa, dan menerima konsekuensi, serta kembali melangkah mengikut Tuhan. Daud tidak berhenti hanya mengetahui kesalahan dan menerima konsekuensi, tapi dia juga kembali kepada Tuhan setiap kali dia insaf dari kesalahannya.

Secara fenomena, Saul dan Daud sama-sama menyesali akan dosa mereka, dan mereka menangisi dosa mereka. Tetapi apa yang membedakan Saul dan Daud? Saul menyesal tetapi tidak bertobat, berbeda dengan Daud yang menyesal dan bertobat sungguh-sungguh. Saul tidak sungguh-sungguh melepaskan dosanya dan berbalik kepada yang benar. Sedangkan Daud meninggalkan dosanya dan kembali ke jalan yang benar. Bagaimana kita tahu akan pertobatan yang sesungguhnya? Penyesalan secara lahiriah bisa kelihatan sama, karena suatu kesedihan yang sangat mendalam terhadap pelanggaran. Tetapi apa yang menyebabkan penyesalan itu harus kita pertanyakan. Mengapa kita menyesal? Kita menyesal karena takut hukuman? Tidak akan disertai Tuhan? Rugi materi atau tidak sehat lagi?

Saul berusaha menjaga muka di hadapan tua-tua dan orang Israel, sebenarnya menunjukkan bahwa dia lebih takut dilihat kelakuannya di hadapan manusia daripada ditolak oleh Tuhan. Daud segera sadar bahwa dia melanggar kekudusan Tuhan dan berdosa hanya kepada Tuhan.

Melalui kasus Saul dan Daud, kita dapat mempelajari mengenai penyesalan dan pertobatan. Apakah penyesalan saja sudah cukup, tetapi tidak ada tindakan nyata untuk memperbaiki kesalahan? Tidak. Penyesalan saja tidak berarti apa-apa, hanya menunjukan kesedihan terhadap kesalahan yang kita lakukan. Jika penyesalan tidak disertai pertobatan, maka setiap kali menyesal, penyesalan kita akan membawa kita kembali kepada dosa yang sama dan kemudian menyesal lagi, dan akan terjadi demikian terus-menerus. Berbeda dengan pertobatan sejati, orang yang melakukan dosa akan menyesal, kemudian akan meninggalkan dosa tersebut, dan melangkah kepada yang benar. Dan bagaimana kita bisa meninggalkan dosa dan melangkah kepada yang benar, jika kita tidak mempunyai kekuatan untuk meninggalkan dosa dan tidak mengetahui apa yang benar? Tentunya kita sebagai manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, tidak akan mempunyai kekuatan untuk terlepas dari dosa, dan tidak akan mengetahui apa yang benar sebelum kita dilahirbarukan oleh Roh Kudus.

Tatkala kita sudah dilahirbarukan oleh Roh Kudus, kita diberi hati yang baru (Yeh. 36:26). Dan kita juga diberi status baru sebagai anak-anak Allah (Yoh. 1:12), kita yang dulunya tidak  berdaya oleh dosa yang mengikat kita, mulai disadarkan akan kesalahan kita di masa lalu. Firman Tuhan yang diberitakan menjadi cermin yang menyadarkan akan rupa buruk kita, segala usaha yang kita tempuh, segala cita-cita yang kita dambakan adalah tidak sesuai dengan kehendak hati Tuhan, segala yang kita perbuat semata-mata adalah jahat di mata Tuhan. Kita tidak bisa dan tidak mampu dengan kekuatan sendiri untuk melepaskan diri dari murka Allah.

Ketika kita dilahirbarukan, kita diberikan kemampuan untuk hidup sesuai dengan firman Tuhan, serta dimampukan untuk lepas dari segala dosa-dosa kita. Maka kita tidak dapat mengatakan kita hanya mau beriman kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, tetapi tidak mau meninggalkan si ‘aku’ yang lama, karena kita tidak sanggup memasuki kekudusan tanpa melepaskan segala yang najis. Sama halnya kita juga tidak dapat mengatakan saya mau bertobat, tetapi tidak mau beriman kepada Yesus, karena kita sama sekali tidak ada kekuatan untuk menerobos kuasa dosa yang mengikat. Karena itu, bertobat (conversion) dan beriman (faith) berjalan berdampingan dan tidak dapat dipisahkan.

Selain itu masa pertobatan kita juga ada batasnya. Selagi kita masih hidup di dunia ini, kita masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertobat. Akan tiba waktunya di mana kesempatan tersebut telah lewat karena kita sudah berada di hadapan takhta pengadilan Allah untuk memberi pertanggungjawaban kepada Allah (Ibr. 4:12). Kiranya kita selalu memiliki suatu hati yang selalu terbuka di hadapan Tuhan seperti Daud, seorang yang mencari perkenanan Tuhan dan siap untuk dikoreksi oleh frman Tuhan yang memimpin kepada pertobatan yang sejati.

Budiman Thia

Pemuda GRII Singapura

Referensi:

Berkhof, L. Systematic Theology. Eerdmans.

Hendriksen, W. Survey of the Bible: A Treasury of Bible Information. Baker Books.