, ,

Postmodern & Home Alone

Ada yang sudah pernah menonton film Home Alone? Film ini menceritakan tentang seorang anak kecil yang berdoa supaya pada hari Natal orang tuanya menghilang. Pikirnya, tanpa orang tua lebih enak, karena berarti dia sendiri yang akan mengatur seluruh rumah. Sendirian! Bayangkan betapa bebasnya! Ternyata doanya terkabul. Orang tuanya pergi berlibur dan dia dilupakan sendirian di rumah, home alone. Menyenangkan? Awalnya ya. Tetapi kemudian dia sadar bahwa dia tidak sanggup menangani seluruh urusan rumah sendirian… eh, tunggu dulu… Apa kaitannya postmodern dengan Home Alone? Kita akan melihatnya dalam pembahasan selanjutnya…

Apa sih postmodern itu? Banyak orang mengaitkan postmodern dengan pemikir-pemikir seperti Lyotard, Foucault, Derrida, atau Baudrillard, walaupun sebenarnya postmodernism merupakan istilah untuk menggambarkan semangat zaman yang mencakup bidang yang lebih luas daripada hanya dunia filsafat. Namun saya melihat bahwa para filsuf merupakan orang-orang yang dengan jeli menyimpulkan keberadaan zaman mereka dalam kalimat-kalimat dan tulisan dari pemikiran mereka, dan karena itu pemikiran mereka dapat menjadi semacam ringkasan mengenai keadaan arus zaman. Tetapi sekalipun pembahasan disimpulkan pada para pemikir, kita tetap tidak memiliki deskripsi yang cukup spesifik. Ada pemikir yang anti modern, seperti tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, tetapi ada yang bersemangat modern seperti Habermas atau Jameson. Kita akan menyempitkan pembahasan ini dengan membahas pemikiran-pemikiran dari tokoh-tokoh yang anti terhadap filsafat modern untuk alasan yang akan menjadi jelas nanti. Lyotard yang alergi berat dengan kata “metanarasi,” Foucault yang curiga setengah mati dengan otoritas dan sumber legitimasi dalam masyarakat, Derrida yang hobi menyusun teks-teks filsafat orang lain dan bahagia bukan main ketika teks-teks tersebut menjadi kacau dan tak bermakna, atau Baudrillard yang sampai mati tidak juga bisa membedakan yang mana yang acara TV dan yang mana yang realita – mereka inilah jagoan-jagoan postmodern yang pemikirannya menggambarkan apa yang akan saya bahas di sini. Pikiran-pikiran mereka, yang hanya sedikit orang dengan waktu luang berlebih mau susah-susah mempelajari, menjadi sumber inspirasi untuk melihat filsafat modern dibuat babak belur. Apa sebenarnya keberatan mereka dengan filsafat modern?

1. Anti Metanarasi

Jacques Derrida menawarkan suatu cara membaca yang baru bagi para pembaca teks-teks filsafat. Dia mengatakan bahwa setiap teks memiliki makna tersembunyi yang tidak disadari oleh penulisnya. Hal ini terjadi karena sang penulis berusaha untuk mengaitkan tulisannya dengan apa yang disebut “logos.” Ini adalah “logosentrisme.” Logosentrisme juga dapat dijelaskan sebagai suatu usaha dari penulis untuk mengaitkan tulisannya dengan suatu narasi besar. Tetapi, menurut Derrida, teks tidak mungkin menyatakan sesuatu yang lebih besar dari teks itu sendiri. Karena itu tidak ada narasi besar yang dapat dikaitkan dengan sebuah teks. Setiap penulis yang berusaha mengaitkan tulisannya dengan sebuah narasi besar pasti harus (secara tidak sadar) menyembunyikan suatu makna dalam teks tersebut. Inilah pengertian dekonstruksi. Dalam buku Derrida, “Of Grammatology” (Johns Hopkins University Press, hal. 24), dia menggambarkan gerakan dekonstruksi miliknya seperti penggambaran dari sel kanker. Dekonstruksi mengangkat makna tersembunyi ini dan menjadikannya makna penyeimbang bagi makna utama yang dikenal selama ini. Dekonstruksi tidak merusak dari luar, tetapi memunculkan “sel kanker” yang memang sudah ada dalam tiap struktur tulisan yang mau dikaitkan dengan sebuah narasi besar. Hasil dekonstruksi ini pada akhirnya menunjukkan bahwa teks tersebut tidak bermakna. Mengapa tidak bermakna? Karena mau mengaitkan diri dengan narasi besar dan sebenarnya tidak ada narasi besar.

Oke, sebelum lanjut, kita berhenti dulu untuk menjawab pertanyaan: Apa sih narasi besar itu? Narasi besar boleh disebut sebagai worldview yang berlaku secara universal, atau, memakai istilah postmodern, disebut juga “metanarasi.” Metanarasi dapat juga kita katakan sebagai worldview yang absolut, yang berlaku secara universal bagi setiap orang. Kekristenan merupakan sebuah logosentrisme, atau narasi besar, atau metanarasi bila dianggap sebagai standar yang universal. Metanarasi inilah yang sebenarnya mau dilenyapkan oleh pemikir-pemikir postmodern. Lyotard bahkan menjelaskan postmodernism secara sederhana sebagai “penolakan atas metanarasi.”

Oke, kita lanjut… Tetapi setiap masyarakat pasti perlu adanya sebuah worldview. Bukankah postmodern sendiri juga merupakan sebuah worldview? Ya. Boleh, asal tidak bersifat universal. Jika hanya berlaku untuk dirimu sendiri atau kelompokmu, oke, tetapi kalau mau diberlakukan secara universal, wah, dilarang keras! Jadi tidak boleh ada apa-apa yang berlaku secara universal (kecuali pengertian bahwa “tidak boleh ada apa-apa yang berlaku secara universal” itu sendiri… wah, gak konsisten…). Mau percaya Kristus? Oke. Itulah kebenaran, tetapi untuk orang Kristen saja, bukan kebenaran universal. Kalau menjadi kebenaran universal, maka Kekristenan harus ditolak karena telah menjadi suatu bentuk metanarasi. Jadi postmodernism menerima narasi, tetapi bukan metanarasi.

Postmodernism menuduh para filsuf modern sebagai orang-orang yang berbicara mengenai sebuah narasi sambil berusaha menjadikannya suatu metanarasi. Mereka membicarakan sesuatu yang subjektif, tetapi mengklaimnya sebagai sesuatu yang objektif. Misalnya, Kant berbicara tentang pembagian noumena dan fenomena. Oke. Ini narasi yang dikemukakan Kant. Tetapi ketika Kant menganggap ini sebagai sesuatu yang berlaku universal, jadilah ini metanarasi (atau logosentrisme) yang membuat Lyotard dan Derrida protes mati-matian. Dengan cara berpikir seperti ini, postmodernism sebenarnya mampu menangkap kegagalan dari filsafat modern. Para filsuf modern itu terlalu angkuh dengan membuat pemikiran mereka menjadi suatu standar universal. Para filsuf modern itu menjadi seperti pemerintah diktator bertangan besi yang memaksakan kerangka pemikiran yang mereka bangun menjadi suatu kerangka yang berlaku bagi seluruh masyarakat.

2. Anti Otoritas

Pemberontakan terhadap metanarasi ini memiliki kaitan yang kuat dengan kecenderungan postmodernism untuk memberontak terhadap segala bentuk legitimasi yang berlaku dalam publik. Legitimasi yang berlaku di masyarakat dianggap sebagai bentukan dari otoritas dalam masyarakat tersebut untuk menjalankan suatu tujuan tertentu. Lagipula, toh legitimasi yang berlaku dalam masyarakat selalu terjadi dengan cara-cara warisan dari modernisme. Legitimasi yang dimaksudkan adalah segala bentuk standar untuk menentukan baik atau tidak, atau boleh atau tidak segala sesuatu itu dilakukan, di mana standar itu merupakan ukuran yang secara rasional sah. Contohnya adalah pemikiran Michel Foucault dalam bukunya, “Madness and Civilization.” Dia mengeluarkan tesis mengenai tidak sahnya suatu lembaga menyebut seseorang itu gila. Kalau seorang dokter jiwa mengatakan seseorang gila, bukankah hal yang rasional kalau kita semua setuju menganggap orang itu gila? Tetapi Foucault menelusuri sejarah kegilaan dan menemukan (setidaknya menurut anggapan dia) bahwa klaim gila itu seringkali memiliki nuansa politis tertentu. Apakah lembaga atau institusi, yang kita percaya memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang itu gila atau tidak, benar-benar memiliki tujuan yang murni? Ataukah ada agenda lain yang mempengaruhi penilaian lembaga tersebut? Foucault mensurvei sejarah dan mendapatkan bahwa pada setiap periode yang dia bahas, pemberian klaim “gila” yang dilakukan lembaga, entah pemerintah atau rumah sakit jiwa, ternyata diikuti dengan unsur penindasan yang berat bagi siapa yang dinyatakan “gila.” Dia membahas mulai dari abad ke-16. Hmmm… abad yang sama dengan mulai munculnya bibit-bibit Pencerahan. Kebetulan? Tidak. Tulisan yang dikembangkan dari disertasi doktoratnya ini memang ditujukan untuk melihat modernisme sebagai penyebab legitimasi yang berlaku saat ini.

Sebenarnya, dasar dari sikap anti terhadap otoritas ini adalah karena otoritas memiliki suatu nuansa kemutlakan atau standarisasi bagi masyarakat. Standarisasi ini tidak melihat keunikan manusia dan tidak mengakomodir keadaan masyarakat yang pluralistik. Jadi otoritas itu sebenarnya merupakan bentuk dari metanarasi yang menyatakan sah atau tidaknya sesuatu, atau baik tidaknya sesuatu dilakukan, atau bagaimana melakukan sesuatu. Otoritas juga tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang mengikat bila seseorang tidak merasa sesuai dengan otoritas tersebut. Misalnya, apakah sah lembaga yang mengatakan homoseksual itu buruk? Bukankah lembaga ini tidak sesuai dengan kaum gay? Siapa yang perlu disingkirkan? Homoseksualitas? Ataukah lembaga yang melarang homoseksualitas? Postmodern akan menjawab: Lembaganya! Mari rayakan perbedaan dengan saling menghargai. Singkirkan semua lembaga yang gagal mengakomodir semua perbedaan ini.

3. Postmodern Sebagai Bentuk Akhir Modernisme

Dunia postmodern dilandasi dengan penolakan segala jenis metanarasi, juga ukuran legitimasi yang berlaku dalam masyarakat untuk melawan modernisme. Tetapi sebenarnya, semangat postmodern adalah semangat yang mendewakan diri yang sama dengan (baca: lebih gawat dari) modernisme. Keunikan zaman postmodern tentu berbeda dengan zaman modern, atau zaman sebelumnya, tetapi sebenarnya dasar dari setiap keunikan zaman yang menolak firman Tuhan itu tetap sama. Dasar itu ada dalam kalimat berikut: “…kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” (lihat Kejadian 3:5). Kalimat ini dapat juga diterjemahkan “…menjadi seperti Allah, dapat menentukan sendiri yang baik dan yang jahat.” Manusialah pengukur mengenai segala sesuatu. Apa yang ada dan tidak, apa yang baik atau buruk, apa yang boleh atau tidak boleh, dan apa yang menjadi tujuan hidupnya, semuanya ingin ditentukan sendiri. Sepanjang sejarah, manusia menunjukkan keinginannya untuk menentukan sendiri ini dengan pernyataan-pernyataan seperti:

– “Kalau masuk akal baru saya percaya Allah ada, kalau tidak maka Dia tidak ada.” (klaim dari rasionalisme)

– “Kalau semua orang setuju bahwa menolong orang lain itu baik, maka menolong orang lain itu baik. Ada nilai universal dalam diri manusia yang menjadi ukuran untuk menyetujui pernyataan bahwa menolong orang lain itu baik.” (klaim dari humanisme zaman Pencerahan)

– “Kalau keberadaan saya yang gay membuat saya merasa baik, maka gay itu baik. Kalau ada pemikiran yang mengatakan gay itu tidak baik, maka saya harus menganggap pemikiran itu sebagai narasi yang bukan untuk saya.” (postmodernism)

Kita lihat, klaim-klaim di atas menyatakan keberpusatan kepada manusia. Manusia yang menjadi penentu. Zaman postmodern, sama dengan zaman modern, menunjukkan bahwa diri harus dijadikan ukuran. Tetapi zaman postmodern lebih merusak dari modernisme karena postmodern tidak menerima adanya standar pengukur yang absolut. Modernisme menganggap rasiolah pengukur tersebut, tetapi ini ditolak oleh postmodernism. Standar adalah sesuatu yang bersifat subjektif, dan setiap pemikiran yang mengatakan bahwa rasio adalah standar yang berlaku secara universal adalah pemikiran yang perlu didekonstruksi karena hal itu merupakan suatu bentuk metanarasi.

Postmodernism adalah kesempatan untuk memegang suatu bentuk worldview tanpa perlu ada dasar yang kuat untuk memegangnya. Postmodern adalah kesempatan untuk membuat masyarakat makin rusak karena tidak lagi ada saling mengoreksi dan saling mengingatkan. Bukankah semuanya sama-sama benar? Mengapa perlu dikoreksi? Postmodernism menghilangkan pembedaan normal dan tidak normal, sehingga semua dianggap normal dan tidak ada yang perlu mengoreksi diri untuk sesuai dengan standar apapun, karena tidak ada standar yang bersifat universal. Semua dapat menciptakan worldview sendiri atau membangun narasi sendiri tanpa perlu dibatasi oleh narasi orang lain. Saat tidak ada lagi sikap saling mengoreksi dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan makin rusak dan menuju kehancuran.

Adakah sesuatu yang dapat kita, sebagai orang Kristen, pelajari dari postmodernism? Bagi kita, postmodernism memberi keyakinan yang makin besar lagi akan fakta dosa. Pdt. Stephen Tong mengatakan bahwa setiap pemikiran yang melawan Alkitab pasti mengandung potensi self-defeating dan bom waktu yang akan merusak diri dan masyarakat. Inilah modernisme. Modernisme berusaha menyatakan otonomi manusia. Manusia mau bebas dari Allah dan menjadi penentu atas nasib sendiri. Manusia mengatakan bahwa dirinya adalah otoritas tertinggi. Tetapi segala keangkuhan ini berhenti pada zaman postmodern. Postmodernism adalah bagian akhir dari modernisme yang menjadi kesimpulan dari modernisme. Modernisme ditandai dengan keberpusatan pada manusia (diri secara kolektif, yaitu diri yang menjadi universal). Tetapi modernisme belum melihat bahwa yang namanya “manusia” itu terdiri dari banyak pribadi-pribadi yang unik dan tidak sama. Postmodernism melihat hal ini. Postmodernism melihat bahwa “manusia” itu saya, dan saya berbeda dengan orang lain. Kalau saya mau menciptakan narasi, maka narasi itu tidak bisa berlaku untuk orang lain yang tidak setuju. Dan perlu diingat bahwa orang lain itu juga manusia. Jadi siapa manusia? Saya, dia, dan mereka. Narasi saya tidak harus menjadi narasi dia dan narasi mereka. Modernisme memiliki cacat dan cacat ini dilihat oleh postmodernism. Tetapi bagaimana dengan postmodernism sendiri? Postmodernism menyadari cacat ini dan tidak bisa lari darinya.

Postmodernism mau menghancurkan sifat universal dari modernisme, tetapi tetap memegang sifat anthroposentris dari modernisme, dan ini menjadikan postmodernism mewarisi cacat dari zaman modern yang akhirnya mengantarkannya pada nihilisme. Segala sesuatu menjadi tidak bermakna. Mengapa? Sebab jika setiap orang dapat mendirikan standar sendiri, maka standar itu tidak mungkin menjadi standar. Standar hanya dapat menjadi standar bila standar tersebut berlaku secara absolut dan universal. Meniadakan yang absolut dan universal sama saja dengan meniadakan standar, dan meniadakan standar sama dengan meniadakan dasar berpijak bagi manusia untuk hidup di dunia ini. Jadi apakah yang dilakukan postmodern? Postmodern menyadari bahwa selama ini modernisme berdiri di atas dasar palsu, yaitu dasar yang dipaksakan menjadi absolut, yaitu rasio manusia—dasar yang sebenarnya tidak ada. Postmodern merobohkan atau membongkar yang tidak ada itu tanpa menawarkan jalan keluar sehingga manusia dibawa menuju kepada Nihilisme.

4. Postmo Home Alone

Apakah yang disebut nihilisme? Simpel saja, artinya kosong. Nol. Tidak bermakna. Postmodernism menyadari bahwa dasar dari modernisme adalah bentuk omong kosong yang membuat manusia berdiri di atas dasar yang palsu, tidak berarah, dan kosong. Jika boleh memakai ilustrasi, orang modern adalah seperti orang yang sedang jatuh dari pesawat. Sambil jatuh dia menarik kakinya dengan kedua tangannya. Dia menarik keras-keras supaya kakinya dapat tertahan dan dia tidak jatuh lagi. Ini bodoh. Maka akhirnya (sebagai konsekuensi dari penarikan kaki yang tidak berguna itu) dia menjadi postmodern. Dia berkata, “Ah, sudah, saya lepas saja kaki saya. Toh percuma… saya tetap jatuh juga….” Lalu, entah bagaimana, ada seorang yang juga sedang jatuh bertemu dengan dia dan menawarkan parasut kepada orang itu (sudah… gak usah protes… memang gak masuk akal, tapi kan cuma contoh… lagian kan ini zaman postmo…). Lalu orang yang pertama mengatakan, “Saya sudah coba menarik kaki tetapi gagal. Maka saya menganggap setiap usaha menarik kaki adalah ‘metanarasi.’ Parasutmu juga saya golongkan sebagai suatu bentuk ‘metanarasi’ dan saya tolak karena pasti gagal juga….” Inilah zaman postmodern yang menolak modernisme dan Kekristenan. Menolak Kant, tetapi juga menolak Kristus… karena Kant, Kristus, atau siapapun juga adalah metanarasi jika diberlakukan secara universal. Tetapi ketika Kristus juga ditolak, maka jadilah postmodern sebagai zaman yang sendiri, sepi, kosong, dan tanpa harapan.

Demikianlah postmodern menyadari bahwa seruan manusia yang berkata, “Aku menentukan segalanya sendiri!” ternyata berakhir menyedihkan. Ternyata manusia tidak mampu sendiri. Modernisme membangun di atas dasar rasio manusia sebagai dasar universal yang kokoh. Tetapi postmodernism menyadari bahwa apa yang selama ini dianggap dasar yang kokoh ternyata hanyalah bayang-bayang fragmen yang tidak dapat mencegah keruntuhan manusia. Dalam Home Alone, Kevin berdoa agar keluarganya menghilang. Ternyata benar-benar terjadi… hari pertama… hari kedua… segalanya menyenangkan. Tetapi hari berganti hari, makin lama dia mulai sadar betapa beratnya hidup sendiri tanpa orang tua. Dia harus memasak sendiri, belanja sendiri, bayar tagihan, bahkan melawan perampok, hingga akhirnya tertangkap oleh perampok. Maka dia berdoa lagi supaya keluarganya kembali. Kevin Modern juga mengalami hal yang sama. Dia berseru bahwa manusia itu bebas. Manusialah penguasa tertinggi dari dunia ini. Tidak ada Tuhan, karena Tuhan itu berada di alam nun jauh di sana… Puji Tuhan! Saya dapat menjadi Tuhan! Tetapi kemudian Kevin berubah nama menjadi Kevin Postmodern. Dia sadar dia tidak sanggup mengurusi dirinya sendiri. Dia sadar dia tidak sanggup mengurusi dunia ini. Tetapi dia tidak bisa berdoa kepada Tuhan. Bukankah Tuhan merupakan salah satu jenis metanarasi dan karena itu harus ditolak? Maka Kevin Postmodern tidak punya pengharapan apa-apa. Dia terkutuk selamanya. Dia menyadari ketidakmampuan diri tetapi tetap bertahan dengan anti metanarasinya. Kalau Kevin Modern berteriak dengan gembira, “Saya bebas! Terpujilah saya, sang penguasa dunia ini!” maka Kevin Postmodern berteriak, “Saya bebas! Celakalah saya, karena sayalah yang tertinggi dan saya tidak sanggup menjadi yang tertinggi…”

5. Apa yang Alkitab Katakan

Mengapa sejarah pemikiran dunia berkembang hingga sedemikian pesimis? Karena manusia sejak awal sudah salah langkah. Van Til mengatakan dalam bukunya, “Christian Theory of Knowledge,” bahwa manusia berusaha menjadikan dirinya standar untuk mengetahui siapa dirinya. Ini tidak mungkin. Kalau manusia sedang dalam proses mencari tahu siapa dirinya, maka tidak mungkin manusia boleh menjadikan dirinya standar. Demikian juga cara berpikir manusia yang menganggap dirinya modern, atau postmodern, atau post-postmodern, atau post-post-postmodern, dan seterusnya…. Mereka menjadikan diri mereka standar, lalu berusaha mencari tahu siapa diri mereka (dengan diri yang sedang dicari tahu sebagai standar), lalu barulah menentukan tujuan hidup. Ini langkah yang aneh bukan main. Tetapi inilah yang dilakukan oleh manusia berdosa sejak zaman purba hingga postmodern. Manusia mau cari tahu siapa dirinya dulu (dan celakanya menggunakan diri yang masih dicari itu sebagai standar) baru menentukan tujuan. Tentu saja tujuannya menjadi sedemikian kabur karena akan kembali berpusat pada diri yang masih kabur dan belum jelas identitasnya. Seorang hamba Tuhan GRII pernah berkata bahwa cara ini boleh digambarkan sebagai: “Dari manusia, oleh manusia, dan kepada manusia. Bagi manusialah celaka sampai selama-lamanya.”

Allah telah menetapkan tujuan bagi manusia, yaitu supaya semua manusia hidup untuk Allah—mempersembahkan seluruh hidupnya untuk memuliakan nama Allahnya. Tetapi sejak jatuh dalam dosa, manusia menjadi kehilangan identitas dan arah. Manusia terus mencari jawaban atas pertanyaan “Siapa saya?” dan “Mengapa saya ada di dunia ini?” Abad pencerahan menjadi awal kesombongan manusia modern yang merasa bahwa mereka sudah mendapatkan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Mereka sudah menemukan kunci universal—yaitu rasio manusia. Tetapi postmodernism menyadari bahwa modernisme hanya memaksakan pecahan-pecahan beling untuk digunakan sebagai dasar berpijak yang universal. Postmodernism menjadi hantaman atas keyakinan yang salah dari manusia modern, tanpa mampu memberikan jawaban yang benar. Tetapi sebenarnya jawaban atas segala kekacauan ini sudah dijawab oleh Yesus Kristus di Golgota. Yesus Kristus telah menunjukkan teladan sebagai seorang Imam yang mempersembahkan seluruh hidup-Nya sampai mati, bahkan mati di kayu salib sesuai kehendak Bapa. Demikian sederhana jawabannya, namun keangkuhan manusia menolaknya mati-matian. Kuncinya adalah hidup yang seutuhnya kembali ditujukan kepada Allah, dan bukan diri sendiri – hidup yang dibawa ke atas mezbah dan siap dihabiskan untuk dipersembahkan kepada Allah. Di luar ini, tidak ada harapan bagi manusia untuk hidup sebagai manusia sesungguhnya, tidak ada harapan bagi masyarakat kita untuk hidup dalam relasi yang benar, dan tidak ada harapan bagi dunia kita untuk menggenapkan tujuan keberadaannya yakni home in God.

Jimmy Pardede

Pembina Pemuda GRII Bintaro

Referensi: Arthur Berger, “Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo” (Marjin Kiri); Jacques Derrida, “Of Grammatology” (Johns Hopkins); Michel Foucault, “Kegilaan dan Peradaban” (Ikon); Jean-Francois Lyotard, “Posmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan” (Teraju); James Sire, “Semesta Pemikiran: Sebuah Katalog Wawasan Dunia Dasar” (Momentum); Bambang Sugiharto, “Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat” (Kanisius), Cornelius van Til, “Christian Theory of Knowledge” (Presbyterian & Reformed).