“Why so serious? Get a life, man!”
Demikianlah tulisan yang muncul di homepage facebook saya beberapa waktu yang lalu. Tulisan yang di-posting dari account seorang teman yang saya kenal sejak kecil. Membaca tulisan itu, saya tersenyum sedih, pasalnya teman saya itu seorang Kristen. Saya bertanya di dalam hati saya, demikiankah seharusnya orang Kristen berpikir? Benarkah hidup ini tidak perlu dijalani dengan serius? Sebagai seorang yang mengaku Kristen, kita biasanya akan berkata bahwa kita harus serius dan bertanggung jawab kepada Allah di dalam setiap hal yang kita lakukan. Apalagi kalau kita mengenal Martin Luther, sang
Reformator agung yang mendengungkan prinsip Coram Deo (di hadapan Allah) bagi seluruh hidup orang Kristen. Ya, kita dengan fasih akan berseru “Kita hidup di hadapan Allah!”, atau bahkan kita menuliskan frase itu, ‘Coram Deo’ sebagai personal message facebook maupun blackberry messenger kita. Betapa rohaninya kita! Tetapi benarkah hidup kita sama rohaninya dengan yang kita tampilkan di facebook dan blackberry messenger kita?
Berbicara mengenai keseriusan hidup, hal apakah yang tebersit di dalam benak kita? Secara umum orang akan memikirkan pertanyaan–pertanyaan mendasar ini mengenai hidup:
Pertanyaan mengenai motivasi:
Mengapa saya harus melakukan ini dan itu di dalam hidup ini? Apa yang harus menjadi motivasi saya dalam melakukan segala sesuatu yang saya lakukan?
Pertanyaan mengenai standar/metode:
Apa yang menjadi standar bagi saya untuk menilai apakah setiap hal yang saya lakukan itu benar atau tidak?
Pertanyaaan mengenai tujuan:
Dan akhirnya, apa yang menjadi tujuan keberadaan saya di dalam dunia ini? Mengapa saya dilahirkan di sini dan di waktu ini? Apa yang harus saya capai dan kerjakan di dalam seluruh hidup saya?
Setiap orang, disadari maupun tidak, berusaha menjawab ketiga pertanyaan ini di dalam hidupnya. Filsuf-filsuf sejak ribuan tahun yang lalu pun terus memikirkan, mendiskusikan, dan mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini. Kita tidak bisa lari darinya, bahkan jikalau kita menjalani hidup ini tanpa memikirkannya, pada saat yang sama sesungguhnya kita sedang memberikan jawaban kita: ketiadaan. Tetapi apakah kita mau hidup dari ketiadaan, di dalam ketiadaan, dan untuk ketiadaan? Tidak bukan?
Lalu bagaimanakan Alkitab memberikan jawaban terhadap hal ini? Bagaimanakah kekristenan berdiri mewakili Allah untuk memberikan jawaban bagi pertanyaan terbesar di dalam hidup umat manusia? Bagaimanakah seharusnya kita hidup?
“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia.
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”
– Roma 11:36
“Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan.
Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.
– Roma 14:8
Allah adalah Allah yang empunya segala sesuatu, berkuasa atas segala sesuatu, berdaulat atas segala sesuatu, tidak ada apa pun di atas dunia ini yang di atasnya Allah tidak bertakhta. Maka jawaban atas seluruh pertanyaan krusial di dalam hidup manusia tidak dapat ditemukan di luar diri Allah:
Pertanyaan mengenai motivasi:
Tidak ada pendorong ataupun motivasi yang lebih besar dan lebih berkuasa daripada pengenalan dan cinta kepada pribadi Allah yang hidup. Pengenalan dan kesadaran bahwa Ia adalah Allah yang berkehendak dan berdaulat mendorong setiap umat Allah untuk hidup menggenapkan kehendak-Nya, bagi kemuliaan nama-Nya sendiri. The will to do the will of God, kehendak untuk melakukan kehendak Allah; Inilah yang harus menjadi motivasi seorang manusia di hadapan Allah.
Pertanyaan mengenai standar/metode:
Maka menjadi jelas bahwa di dalam setiap hal yang kita lakukan, yang menjadi standar kebenaran adalah kehendak Allah sendiri. Mari merenungkan, adakah yang lebih besar, indah, dan mulia daripada kehendak Allah jadi di bumi seperti di sorga? Adakah sukacita yang lebih besar daripada saat di mana kita dapat melihat kehendak dan kemuliaan-Nya nyata? Dan Ia, Allah yang hidup itu, telah menyatakan diri-Nya dan kehendak-Nya kepada manusia di dalam firman-Nya.
Pertanyaaan mengenai tujuan:
Demikianlah tidak ada tujuan yang lebih besar yang mungkin diberikan bagi hidup manusia selain untuk menyatakan Kerajaan Allah; Ke-Raja-an-Nya (His Kingship) di dalam Kerajaan-Nya (His Kingdom)! Puji Tuhan!
Ya ampun, muluk sekali! Begitu idealis! Kita mungkin tertawa setelah membaca seluruh penjabaran di atas. Realistis sajalah, apakah mungkin hidup kita demikian sempurna? Apakah mungkin hidup kita so serious? Melihat ke belakang di dalam seluruh hidup ini, bukankah begitu jelas bahwa kita adalah manusia-manusia bobrok yang tidak dapat keluar dari kubangan dosa dan kematian? Masihkah mungkin diri kita mencapai dan menghidupi segala sesuatu yang Allah kehendaki itu?
Jawabannya adalah: Tidak.
Ya, memang tidak, jikalau kita berpikir diri kita dapat melakukannya. Dan memang tidak, jikalau kita mau dengan kekuatan akal budi, hati dan kehendak kita sendiri mencapai semua yang Allah kehendaki itu. Dan mutlak tidak, jikalau kita tidak pernah mengenal Yesus Kristus. Justru karena diri kita tidak dapat menyukakan hati Tuhan, Kristus datang ke dalam dunia, menggenapkan kehendak-Nya. Justru memang tidak ada yang benar di dalam hidup kita, maka Kristus menghidupi hidup yang mutlak benar di dalam dunia, menutupi kebobrokan kita. Justru karena kita sedang memberontak kepada Allah dan pasti akan mati kekal, Kristus mati di atas kayu salib dan menanggung ganjaran kematian kekal itu di pundak-Nya sendiri, menggantikan kita!
Supaya kita mengerti bahwa kita hanya dapat kembali hidup di dalam Dia. Supaya kita mengerti bahwa tidak ada nilai kebaikan apa pun yang diperhitungkan Allah di dalam diri kita sendiri! Allah hanya melihat kepada ketaatan dan pengorbanan darah Yesus Kristus! Hanya Putra Tunggal-Nya yang memuaskan hati-Nya. Maka di dalam Kristus sajalah kita dimungkinkan untuk diterima kembali oleh Allah. Hanya di dalam Kristus kita tidak dimurkai Allah. Hanya di dalam Kristus kita mungkin dapat mengerti dan mengejar kembali tujuan kita diciptakan. Tidak ada, sama sekali, bagian diri kita di sana!
Bersukacitalah, umat Allah, karena engkau dipanggil di dalam Kristus untuk menghidupi hidup yang benar. Hidup yang dapat engkau kaji, pikirkan, renungkan dan hidupi di dalam Tuhan. Hanya karena keajaiban anugerah Allah dan hanya karena Kristus! Maka hari ini, di manakah iman kita kepada Dia? Di manakah akal budi, hati, dan kehendak yang mengenal dan takluk kepada Allah? Di manakah hidup kita yang berkehendak menggenapkan kehendak-Nya? Di manakah hidup yang benar berdasarkan pengenalan kita akan Allah sang Kebenaran? Di manakah doa dan pengejaran kita akan dinyatakannya Kerajaan Allah di atas bumi ini? Dan akhirnya, di manakah Allah di dalam hidup kita?
Yes, it is life! It’s that serious, man!
Lydiawati Shu
Pemudi FIRES