Redemption and Culture

Apakah yang disebut kebudayaan itu? Budaya adalah semua hal yang berkaitan dengan pencapaian manusia dalam membangun kelompok sosialnya, ide-ide dari hasil perenungan pikiran, pemanfaatan alam, penetapan nilai-nilai kehidupan, hasil kerajinan, dan juga ekspresi seni. Richard Niebuhr, dalam salah satu buku klasiknya, Christ and Culture, mengatakan bahwa esensi dari kebudayaan itu sulit untuk didefinisikan, tetapi kita masih bisa menggambarkan beberapa karakteristiknya. Menurut Niebuhr, yang merupakan karakteristik penting adalah budaya selalu terikat dengan kehidupan manusia di dalam masyarakat sosial. Setiap elemen yang dihasilkan oleh pribadi tidak akan menjadi suatu kebudayaan kecuali jika elemen tersebut mempunyai dampak sosial. Niebuhr melanjutkan dengan menjelaskan karakteristik berikutnya yaitu kebudayaan adalah suatu pencapaian manusia. Kita tidak bisa mengatakan bahwa sungai adalah budaya manusia, tetapi kita bisa mengatakan bahwa bendungan yang dibangun untuk mengumpulkan air sungai adalah budaya manusia. Lalu hal berikut yang disorot oleh Niebuhr adalah bahwa kebudayaan juga harus mempunyai sistem nilai untuk mengarahkan gerak perkembangan budaya menjadi konsisten kepada satu tujuan. Apakah tujuan itu? Niebuhr mengatakan bahwa seluruh dunia ini percaya bahwa tujuannya adalah kebaikan manusia. Ini menjadi ciri dari kebudayaan yang sekarang ada, yang merupakan perkembangan dari pencapaian manusia sepanjang sejarah.

Jika kita mau sedikit repot untuk menyelidiki sejarah perkembangan dunia, maka kita harus tiba ke tulisan Musa yang menjelaskan bagaimana asal mula seluruh budaya berkembang. Di dalam kitab Kejadian pasal pertama dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia berdasarkan rupa dan gambar Allah supaya mereka berkuasa atas seluruh dunia dan atas seluruh ciptaan Allah di dunia tersebut. Inilah adalah panggilan budaya manusia. Berkuasa dan mendominasi ciptaan. Ini yang disebut dengan mandat budaya, yaitu di mana manusia mengembangkan seluruh alam semesta ini sesuai dengan kehendak Allah. Tetapi di dalam Kejadian pasal ke-3 dikatakan bahwa orangtua pertama kita itu salah pilih menu untuk buah-buahan. Mereka jatuh ke dalam dosa karena dengan jelas-jelas membangkang dan memberontak terhadap perintah Tuhan. Namun Allah yang penuh belas kasihan mengizinkan mereka untuk boleh mengalami janji keselamatan. Akan ada keturunan yang dipelihara oleh Tuhan untuk penggenapan keselamatan. Tetapi hanya satu pasal setelah itu, yaitu di pasal 4, kita menyaksikan fakta yang kejam, yaitu dominasi atas ciptaan Allah justru dilakukan oleh keturunan Kain, kaum reprobat pertama di dunia ini, dan bukan oleh keturunan orang beriman yang dipelihara Tuhan, yaitu Set. Kain menjadi orang pertama yang menjadi arsitek sekaligus pengembang ilmu teknik sipil dengan membangun kota pertama di dunia ini. Lalu pencapaian keturunannya pun tidak kalah hebat. Ada yang menjadi juragan ternak, ada yang menjadi ahli musik, dan ada yang menjadi pencipta teknologi pertama (walaupun masih berkisar barang-barang dari tembaga dan besi, belum sampai ke utak-atik software). Bagaimana dengan keturunan orang-orang beriman? Dalam pasal 4 akhir hingga pasal 5 dikisahkan bagaimana mereka mempunyai kelebihan yang kurang populer. Mereka adalah orang-orang yang beribadah kepada Tuhan – memanggil nama Tuhan (4:26), bergaul dengan Tuhan (5:24), dan berharap kepada Tuhan (5:29). Kalau disuruh pilih, orangtua-orangtua zaman sekarang pasti akan lebih suka kalau anak-anaknya mempunyai keahlian keturunan Kain daripada keturunan Set. Kalau nilai si anak jelek pasti si anak akan dipaksa kursus, tapi kalau pengetahuan Alkitab si anak begitu parah, jarang ada orangtua yang mau paksa anaknya ikut PA. Bagaimana mau dipaksa kalau orangtuanya sendiri juga malas belajar Alkitab? Inilah fakta dari kitab Kejadian: hidup berkebudayaan ternyata lebih dulu dikerjakan oleh orang-orang tidak beriman. Bahkan salah satu pencapaian budaya manusia yang pertama yaitu menara Babel, juga dilakukan oleh manusia dengan tujuan memberontak kepada Tuhan. Lebih tragis lagi adalah pada pembukaan Kitab ke-2 Musa. Orang-orang Mesir, para kaum keturunan Ham yang dikutuk oleh ayahnya sendiri, malah menjadi orang-orang dengan budaya paling maju pada waktu itu. Mereka memang berbudaya namun tidak menjalankan mandat budaya. Bagaimana dengan umat Tuhan, orang Israel? Mereka menjadi budak yang ditindas oleh orang-orang Mesir. Pencapaian budaya yang seharusnya tidak dimiliki oleh umat Tuhan. Umat Tuhan hanya beribadah, berharap kepada Tuhan, dan bergaul akrab dengan Tuhan hingga akhirnya diangkat oleh Tuhan keluar dari dunia ini. Ini mengingatkan kita kembali ke buku Christ and Culture dari Niebuhr.

Dalam Christ and Culture, Niebuhr mengingatkan kita kembali mengenai tantangan dunia ini terhadap Kekristenan mula-mula. Kekristenan dianggap sebagai kelompok orang yang terlalu bersifat other-worldly sehingga tidak bersumbangsih terhadap perkembangan kebudayaan. Menurut Edward Gibbon, sejarawan Inggris abad ke-18, cap yang diberikan oleh orang-orang Romawi kepada orang-orang Kristen mula-mula adalah bahwa mereka digerakkan oleh ketidakpuasan atas keadaan saat ini dan memiliki keyakinan yang besar akan keabadian. Ini membuat orang-orang Kristen itu menolak terlibat dalam segala persoalan yang tengah terjadi di dunia ini. Mereka menolak untuk mengotori tangan-tangan surgawi mereka untuk urusan-urusan dunia. Mereka hanya mengurusi hal-hal surgawi atau sama seperti keturunan Set, mereka hanya mengurusi ibadah kepada Tuhan, berharap kepada Tuhan, bergaul dengan Tuhan hingga akhirnya diangkat ke surga. Tetapi benarkah hal-hal “surgawi” ini merupakan sesuatu yang sedemikian remeh sehingga dapat dikatakan “hanya”? Ternyata tidak.

Seorang tokoh pencerahan yang paling besar yaitu Immanuel Kant memberikan pemikirannya mengenai perkembangan kebudayaan. Kant mengatakan bahwa budaya manusia akan selalu berkembang ke arah yang semakin baik ketika akal sehat tiap individu juga semakin baik. Menurut Kant, setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk bersaing, egois, dan akan melakukan apapun untuk kebahagiaan dan kepuasan diri sendiri. Maka dia berusaha untuk menaklukkan alam demi mendapatkan yang terbaik dari alam untuk dirinya sendiri. Kalau dulu mau menangkap ikan harus pakai tombak maka setelah makin cerdas dia akan memakai jala untuk menangkap lebih banyak ikan. Waktu makin cerdas lagi, dia akan memilih membeli ikan itu dari orang yang lebih ahli menggunakan jala. Maka budaya muncul dari sifat egois manusia yang ingin kepuasannya dipenuhi. Begitu juga dengan sistem sosial, undang-undang, dan hukum. Semua ini harus diatur karena manusia akan cenderung merugikan yang lain demi keuntungan pribadinya. Dia akan menipu, menjarah, bahkan membunuh orang lain demi perluasan tanah, penambahan uang, dan kedudukan pribadi. Maka perlu ada peraturan. Tetapi Kant mengatakan, ini semua dilakukan oleh orang yang rasionya belum berevolusi baik-baik (oke, Kant tidak persis mengatakan kalimat ini.. ini sudah memakai bumbu tambahan. Tapi bisa ngerti intinya, kan?). Masih ada sisa otak monyet di dalamnya. Orang yang benar-benar sudah berpikir jernih akan tahu bahwa merugikan orang lain pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri. Inilah tesis utama dalam karyanya: “Menuju Perdamaian Abadi.” Bagaimana perdamaian bisa dicapai? Yang pertama adalah dengan pendidikan lalu yang kedua adalah dengan kebebasan. Kalau manusia-manusia berotak separuh monyet dibiarkan bebas, mereka pasti akan terus-menerus berperang dan saling merugikan. Karena itu perlu diikat oleh kuasa hukum yang mutlak. Tapi kalau manusia-manusia itu sudah pintar, dia akan menyadari kerugian yang lebih besar kalau berada dalam tatanan masyarakat yang saling menipu dan saling membinasakan. Karena itu rasio yang semakin baik akan menuju kepada moralitas yang juga semakin baik, dan semakin moralitas manusia menuju kebaikan maka kebebasan manusia menjadi pencapaian yang pasti terjadi. Kebebasan individu yang rasional akan menjamin kemajuan kebudayaan baik secara teknologi, maupun sosial. Dia akan bertindak dengan moral yang baik bukan karena dia menyukai hal itu, tetapi karena dia tahu bahwa tindakan ini kalau dilakukan oleh semua orang akan membawa kebaikan pada masyarakat, dan pada akhirnya akan membawa kebaikan pada individu tersebut. Bagaimanakah dunia bisa menuju pada perdamaian abadi? Izinkanlah para rakyat yang memutuskan dan bukan pemerintah. Apakah perlu untuk perang atau tidak? Pemerintah dan raja-raja memutuskan bahwa peperangan harus dilakukan, tetapi yang menanggung adalah rakyat. Maka Kant mengusulkan demokrasi, rakyat yang harus memutuskan. Rakyat yang rasional mengetahui bahwa perang akan merugikan mereka. Karena itu rakyat yang rasional akan menjamin perdamaian abadi di masa depan. Amin…Amin? Tidak amin. Sampai sekarang ide rakyat yang rasional tetap belum tercapai. Mungkin karena memang kita semua masih mempunyai separuh otak monyet sehingga kita meraup segala yang ada demi keuntungan pribadi walaupun pada akhirnya akan membawa kerugian pada skala yang lebih besar. Kita lebih menikmati tingkat hidup yang lebih baik meskipun harga yang harus dibayar adalah kerusakan ekosistem kita. Kita lebih menikmati menonjolkan sifat nafsu kita dan membiarkan bayaran yang sangat mahal menimpa kita di kemudian hari.

Perkembangan budaya yang bersifat kepada individu sebagaimana tesis Kant tidak membawa kebaikan apa-apa. Budaya boleh maju dan berkembang sedemikian rupa, tetapi arah dari perkembangan itu menjadikan kerusakan yang akan datang sebagai hasilnya. Manusia tidak pernah menjadi tujuan ketika mandat budaya dikerjakan. Tuhanlah yang menjadi tujuannya. Kalau begitu mengapa Tuhan membiarkan keturunan Kain, dan bukan keturunan Set, yang mengembangkan kebudayaan? Kain dan keturunannya sanggup membangun kebudayaan yang sedemikian baik karena mereka adalah manusia yang diciptakan dengan kemampuan demikian. Manusia adalah gambar Allah. Manusia sanggup membangun kebudayaan yang sedemikian maju meskipun dia sedang memberontak kepada Allah. Manusia bahkan sanggup merumuskan nilai-nilai hidup yang agung karena dia adalah gambar Allah. Tetapi tidak satu pun dari hal-hal itu diberikan bagi kemuliaan Tuhan, dengan demikian mereka tidak sedang menjalankan mandat dari Tuhan. Mereka melakukan semua hal untuk mengembangkan kebudayaan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, apa yang dibangun tidak mungkin mencapai tujuan yang ditetapkan Tuhan bagi manusia. Di dalam kitab Kejadian, Tuhan tidak berfokus untuk memimpin manusia kepada panggilan budaya terlebih dahulu. Setelah kejatuhan, fokus rencana Allah bagi manusia adalah penebusan. Herman Bavinck, seorang tokoh Reformed Belanda pada akhir abad 19 dan awal abad 20, mengatakan bahwa seorang manusia memerlukan kepastian akan keselamatan dari Tuhan terlebih dahulu, barulah dia mampu mengerjakan panggilan hidupnya dengan penuh bagi Tuhan. Karena Tuhan merencanakan demikian maka Dia mengizinkan Kain dan keturunannya untuk langsung tancap gas dalam membangun kebudayaan. Tetapi Dia memanggil keturunan Set untuk terlebih dahulu beribadah kepada Dia, berharap kepada Dia, dan berjalan bersama Dia hingga saatnya Dia mengangkat mereka untuk ada bersama-sama dengan Dia. Sebagaimana saya katakan di atas, ini bukanlah hal remeh yang dapat disebut “hanya”, tetapi ini adalah dasar yang paling penting untuk pembangunan kebudayaan manusia di kemudian hari. Orang-orang tebusan inilah yang akan mengambil segala pencapaian dunia ini dan membalikkan arah tujuannya agar kembali kepada Tuhan yang telah mengasihi mereka dan menyerahkan Anak-Nya bagi mereka.

Dalam penelitian Gibbon, orang-orang Romawi menertawakan orang-orang Kristen mula-mula sebagai orang-orang yang menantikan surga dan ingin cepat-cepat keluar dari dunia ini. Tetapi andai saja orang-orang Romawi itu masih hidup saat ini, maka mereka boleh mempelajari sendiri apa yang sudah dilakukan oleh sekelompok “sekte” Nasrani yang ingin ke surga ini dalam kebudayaan manusia. Filsafat? Musik? Seni? Politik? Ilmu Sosial? Ekonomi? Bidang manakah yang belum disentuh oleh “sekte” ini dan tidak dibuat menjadi semakin baik? Kiranya kita boleh menggumulkan hal ini untuk melanjutkan panggilan budaya yang Tuhan bebankan kepada orang-orang tebusan-Nya, untuk membalikkan arah dari pencapaian dunia ini bagi kemuliaan Tuhan, Sang Pencipta, Sang Penebus, dan Sang Penyempurna seluruh ciptaan ini. Amin.

 

Ev. Jimmy Pardede

Gembala Sidang GRII Malang

 

 

Referensi:

1. Herman Bavinck, Essays on Religion, Science, and Society, John Bolt, ed. (Grand Rapids: Baker Academic, 2008)

2. H. Richard Niebuhr, Christ and Culture (New York: Harper Torchbooks, 1951)

3. Howard Williams, Kant’s Political Philosophy (New York: St. Martin’s Press, 1983)