Pada sebuah malam yang normal di Jakarta – angin panas yang meniup, tingkat polusi udara yang berada di ambang batas “beracun”, dan bunyi klakson kendaraan yang sesekali terdengar – terpampang sebuah pemandangan yang sangat lazim terlihat di jalanan kota besar pada jam pulang kantor, kemacetan arus lalu lintas “stadium empat”. Di tengah-tengah kemacetan yang demikian pelik, yang sebenarnya sudah mendarah daging bagi penduduk kota Jakarta, terdapat satu keunikan yang paling tidak disadari oleh seorang pendatang ketika pertama kali menghirup aroma khas jam pulang kantor ala kota Jakarta. Sebuah keunikan yang saya sendiri sempat pertanyakan kurang lebih delapan tahun yang lalu, “Mengapa banyak orang berjejer dan mengangkat tiga jari mereka? Apakah mereka bermaksud untuk mencari tumpangan? Bukankah ada banyak bus yang lalu lalang di ruas jalan ini? Atau jangan-jangan tarif bus terlalu mahal untuk mereka?”
Pemandangan yang digambarkan di atas adalah salah satu paparan mengenai upaya adaptasi masyarakat Jakarta terhadap satu sistem lalu lintas yang dinamakan 3 in 1[1]; sebuah sistem yang cukup populer diperbincangkan di kalangan para pejuang kemacetan kota Jakarta. Di satu sisi, sistem ini memang berhasil meningkatkan taraf kehidupan masyarakat; paling tidak dengan memungkinkan terjadinya simbiosis mutualisme di antara masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke atas (para pemilik kendaraan) dan masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah (para Joki 3 in 1)[2].
Namun di sisi lain, simbiosis yang terjadi bukanlah respons yang seharusnya muncul dari implementasi sistem tersebut. Simbiosis ini terjadi demi menganulir ancaman denda yang muncul mengikuti sistem tersebut. Ketika sebuah sistem yang dirancang untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat, justru dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat itu sendiri – bukankah ini salah satu bentuk ironi yang sudah mendarah daging di dalam kehidupan kita?
Ironi seperti yang digambarkan di atas bukanlah sebuah hal yang baru. Respons-respons yang serupa sebenarnya sering kita lihat, dan bahkan kita lakukan, di dalam aspek-aspek kehidupan yang lainnya. Sebut saja, ketika pemerintah mengeluarkan sistem perpajakan, yang tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup bersama, yang muncul sebagai salah satu bentuk praktis dari slogan demokrasi yang kita sanjung-sanjung – “Of the People, For The People, and By The People”[3], justru disambut dengan pembuatan double booking atau bahkan triple booking oleh sebagian lembaga kerja yang ada.
Di tengah-tengah pemaparan mengenai ironisnya fenomena hidup ini dan tetek bengek peraturan di dalamnya, izinkan saya bertanya, “Mengapa fenomena yang demikian ‘unik’ dapat terjadi? Apakah kita sudah benar-benar kehilangan kemungkinan untuk menarik arti dari hal-hal yang kita hadapi sehari-hari – bahkan hal-hal yang kita sendiri ‘tetapkan’ sebagai suatu hal yang seharusnya baik?”
Kepalsuan Manusia dan Kebijaksanaan Allah
Beberapa cuplikan di atas hanyalah sebagian kecil dari ekspresi ketidakmampuan manusia dalam menangani diri kita sendiri. Ketidakmampuan yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus ternyatakan di dalam sistem-sistem kehidupan yang kita bangun. Hal yang demikian akan selalu memberikan ruang bagi pertanyaan-pertanyaan serupa, yang akan menemani kita di dalam kisah peziarahan mencari arti hidup. Dan ironisnya, sebuah arti hidup yang sebenarnya sudah lama kita tinggalkan. Karena sesungguhnya, bukannya kita tidak dapat menemukan arti dan cara hidup yang benar, namun hal-hal tersebut sudah lama kita tinggalkan. Oleh karenanya, kita terhukum untuk mengulangi pengejaran utopia yang sia-sia. Sehingga benarlah kata-kata dari seorang pujangga spanyol, George Santayana:
“Those who learn not from the past, are condemned to repeat it”
Kebodohan manusia di dalam meninggalkan Batu Karang yang teguh dan membangun bagi dirinya sebuah kastil dari kapas sebagai tempat berteduh, adalah sebuah hal yang dapat kita lihat dengan jelas di sepanjang paparan sejarah. Berbagai kepahitan dosa telah kita kecap. Anehnya, kita tidak bosan-bosannya dimanjakan oleh kepalsuan Aspartame[4] yang ia tawarkan, bahkan selalu memohon untuk boleh ditipu lagi dan lagi. Manusia hanya beralih dari satu bentuk kepalsuan menuju ke kepalsuan yang lain. Rupa-rupa kepalsuan yang paling tidak berakar pada dua hal, penolakan otoritas Tuhan dan pengagungan otonomi manusia.
Untuk lebih jelasnya, mari kita coba untuk melayangkan memori kita menuju awal abad ke-20. Salah satu tragedi terbesar sepanjang sejarah umat manusia dan salah satu buah dari kebodohan kita adalah hilangnya nilai kemanusiaan di dalam Perang Dunia II. Perang yang tidak hanya memakan jutaan korban jiwa, namun juga mencoreng martabat manusia sebagai makhluk yang berakhlak dan berbudi luhur. Sesungguhnya, tragedi ini hanyalah pernyataan eksistensial dari monster yang telah lama dipelihara di bawah naungan rasionalisme dan empirisme, yang muncul sebagai pernyataan dari kebanggaan manusia atas keterpisahan kita dari otoritas firman Tuhan. Pahlawan berkuda putih yang kita elu-elukan selama era modernisme, akhirnya muncul dengan wajah aslinya yang membawa mimpi terburuk manusia menjadi kenyataan.
Akan tetapi, bak seorang pecandu narkoba yang telah begitu lama bergaul dengan obat-obatan, yang tidak akan meninggalkan obat-obatnya hanya karena sekali atau dua kali over dosis, keluar masuk panti rehabilitasi, bahkan bila harus keluar masuk penjara. Demikianlah kedegilan hati manusia di dalam pemaparan sejarah. Wajah asli dari monster peliharaan modernisme, yang Allah nyatakan sebagai ganjaran terhadap pergaulan manusia di dalam kesombongannya ternyata tidak menghentikan kita dari kesia-siaan meninggalkan Tuhan. Kegagalan modernisme tidak membawa kita kembali kepada Tuhan, melainkan menyuburkan bibit pemberontakan kita kepada Tuhan.
Woodstock Festival (yang bagi saya lebih cocok dikatakan sebagai tragedi) pada tahun 1969,[5] sekali lagi memperlihatkan kengerian manusia yang menetap dan mengakar di dalam dosa. Kekecewaan manusia kepada modernisme, yang mencoba mengagungkan kemampuan rasionalitas manusia, justru semakin meradikalkan keterpisahan kita dari Allah. Paham postmodernisme, yang melandasi sekaligus dimonumenkan oleh Woodstock Festival, dengan bangga menyatakan kebebasan manusia dari seluruh otoritas yang ada, bahkan bila itu berarti kita harus membuang rasionalitas kita.
Di dalam keterpurukan yang demikian hebat, Tuhan sesungguhnya masih mengaruniakan kesadaran akan ketidakberesan yang terjadi. Pecahnya Perang Dunia II dan Woodstock Festival membisikkan ke dalam kesadaran manusia, bahwa ada yang salah; bahwa ada yang perlu diperbaiki.[6] Kesadaran ini sesungguhnya adalah teguran Tuhan kepada manusia, yang dalam kesabaran-Nya masih menunggu respons pertobatan manusia.
Kebobrokan Manusia dalam Terang Alkitab
Hati manusia telah begitu jahat, rusak, dan najis oleh dosa sehingga tidak dapat dimengerti.[7] Di dalam kebusukan ini, secercah harapan yang Allah berikan untuk mengingatkan manusia agar kembali ke jalan yang benar justru kita gunakan untuk melawan otoritas Allah. Kesadaran ini bukannya membawa kita kepada pertobatan, namun justru kita pakai sebagai alasan untuk meninggalkan Tuhan, Sumber Air yang Hidup, lalu menggali bagi diri kita sendiri sumur yang bocor yang tidak mungkin menampung air.[8] Sesungguhnya, seluruh sistem yang kita bangun di dalam kerajaan dunia, yang digambarkan sebagai Babilon oleh Agustinus, akan berakhir di dalam dua poin konklusi, yaitu ketidakmampuan manusia untuk mencapai kebenaran di luar Allah, dan kesia-siaan yang mengikuti seluruh usaha kita.
Pola dari kedua poin di atas akan terus berulang di dalam hidup kita, kecuali kita kembali kepada prinsip yang paling mendasar. Sebuah prinsip yang sebenarnya tidak sulit untuk dimengerti, namun sepertinya sangat sulit untuk kita percayai. Prinsip tersebut adalah, “Ketiadaan jawaban bagi permasalahan dosa manusia, kecuali di dalam Firman Tuhan”.
Di dalam Kejadian 2 Allah dengan jelas menyatakan perintah-Nya, bahwa seluruh buah yang berbiji boleh dimakan oleh manusia; kecuali satu pohon – yaitu pohon pengetahuan akan yang baik dan yang jahat. Di dalam Kejadian 3, ketika manusia mulai berdiskusi dengan si Jahat, manusia dengan aktif “memutuskan” untuk mulai melawan otoritas firman Tuhan. Perlawanan yang di dalamnya bukan hanya menyamakan derajat perintah Tuhan dengan opini si Jahat, namun juga menyatakan kecurigaan manusia terhadap perintah Allah. Di mana penilaian positif Hawa mengenai buah yang tidak seharusnya ia makan[9] memberikan peluang bagi dirinya untuk diracuni oleh bibit perzinaan dari si Jahat. Melihat pintu yang dibuka lebar baginya, si Jahat, yang telah menunggu di dalam kesabarannya[10], tidak sungkan-sungkan mendorong manusia masuk ke dalam jurang licin tempat kenajisan dosa bersarang. Sejak saat itu, manusia telah terpisah dari kehendak baik Allah, dan berada di bawah murka Allah.
Kebodohan Manusia yang Terpisah dari Kebenaran
Di dalam posisi yang telah terpisah dari Allah, manusia kehilangan kemampuannya untuk mengerti arti dari hukum dan peraturan yang Allah berikan. Selayaknya rel yang memberikan arahan kepada laju kereta api, demikianlah sesungguhnya firman Tuhan memberikan arahan dan arti bagi potensi yang dimiliki manusia sebagai mahkota ciptaan. Namun hukum yang sungguh amat baik, yang mendeskripsikan seluruh posisi dan keteraturan, yang memungkinkan manusia berjalan di jalan yang benar, disalah-mengerti sebagai aturan impersonal yang mengekang kebebasan manusia.[11] Di dalam konteks yang demikian, pernyataan hukum Allah, yang telah dan akan diberikan selanjutnya, justru menjadi pernyataan dari ketidakmampuan absolut manusia untuk menghidupi hidup yang berpadanan dengan maksud Allah.
Kondisi yang demikian membawa manusia jatuh ke dalam dua ekstrem di dalam membaca hukum. Dua ekstrem ini sering kita sebut dengan nama “antinomianisme” dan “legalisme”.[12] Kedua ekstrem ini, yang seolah-olah berlawanan pihak, sebenarnya hanyalah dua sisi dari satu koin yang sama yang bertajuk penolakan manusia terhadap sisi personal dari hukum Allah. Lahirnya dua paham ekstremis ini sesungguhnya adalah pernyataan penghakiman Tuhan terhadap kebejatan dan pikiran-pikiran terkutuk manusia yang menolak Tuhan[13].
Bagi kaum antinomian, segala peraturan Allah tidak memiliki artinya, karena dirinya memang dengan lantang menolak seluruh bentuk hukum yang ada; tanpa menyadari bahwa dirinya sedang menetapkan hukum yang baru yang ia namakan “kebebasan”. Di dalam hukum kebebasan tersebut, kaum antinomian sedang mendedikasikan dirinya di dalam pelayanan terhadap sejenis hukum yang jauh lebih tidak menentu, yang bernama “aku, diriku, dan mauku”. Diri yang tidak terlepas dari keterbatasan ciptaan, yang telah korup oleh dosa, yang bahkan dapat berubah mood hanya karena peristiwa bulanan, dipermak seindah mungkin, supaya memiliki kesan teguh sehingga sah untuk dijadikan ilah yang baru.[14]
Para kaum legalis, di lain pihak, mempercayakan hidup mereka pada pemahaman hukum yang mati – sebuah tatanan hukum yang sesungguhnya telah diperkosa dari arti sesungguhnya. Di dalam kerusakan ini, tatanan hukum yang seharusnya menceritakan diri dan atribut-atribut Allah kepada manusia,[15] dianggap hanya sekadar checklist yang harus diisi lengkap, supaya nantinya dapat ditukarkan dengan tiket masuk ke sorga. Di dalam konteks yang demikian, Allah yang memberikan hukum, yang seharusnya menjadi inti dari respons kita terhadap hukum tersebut, hanya dianggap sebagai satpam penjaga pintu sorga. Hal tersebut sangat berlawanan dengan kehendak Allah di dalam menyatakan diri-Nya. Allah menghendaki supaya diri-Nya, beserta dengan segala atribut-atribut-Nya, dapat dikenal oleh manusia di dalam ciptaan-Nya (tidak terbatas hanya alam). Manusia tidak hanya gagal melihat revelasi tersebut, manusia bahkan menggantikan posisi absolut Allah, sebagai pemberi hukum, dengan hukum itu sendiri, yang sebenarnya tidak lepas dari interpretasi kita yang liar.
Di dalam pola demikian, Hukum Allah hanya dilihat sebagai kontrak agama, yang sesungguhnya tidak jauh dari pengertian kita akan “kontrak sosial” antar umat manusia. Sebuah kontrak berupa checklist, yang kita harap telah melingkupi setiap sudut hidup kita, sehingga kita dengan jelas dapat menghidupinya. Terhadap hal yang demikian, Allah menyatakan kejijikan-Nya! Manusia tidak lagi dipimpin untuk menjadi umat dari Sang Pemberi Hukum, melainkan menjadi para penjilat Allah. Para penjilat yang sesungguhnya hanya bermaksud untuk memanipulasi dan memperalat Allah bagi keperluan keselamatan dirinya.
Kesalahan dan ketidakmampuan manusia untuk menginterpretasi hukum Allah adalah satu bentuk pernyataan kematian relasi, yang polanya terus kita ulang di dalam menginterpretasi hidup ini. Pola yang demikian memungkinkan terjadinya multi interpretasi, karena tidak adanya relasi yang menjamin ternyatanya maksud dari hukum tersebut. Sistem, hukum, dan peraturan menjadi simbol kematian relasi; dan untuk maksud-maksud tertentu – yang tidak terpuji, kita membanggakan kematian ini. Untuk lebih jelasnya, mari kita kembali melihat beberapa tanda kematian ini di dalam sistem-sistem yang kita hidupi.
Ketika penduduk kota Jakarta terusik dengan kemacetan lalu lintas, yang jelas mengurangi efektivitas dan efisiensi penggunaan waktu, pemerintah memikirkan satu cara untuk mengurangi volume kendaraan yang memadati ruas-ruas jalan ibukota. Dengan latar belakang demikian, tersusunlah sebuah sistem yang kita namakan sistem 3 in 1. Apakah sistem ini berhasil mengurangi kemacetan kota Jakarta? Seharusnya!
Fakta berkata, sistem 3 in 1 tidak mengurangi volume kendaraan yang mondar mandir di jalanan ibukota. Sebagai buah dari sistem 3 in 1, para pengguna jalan kota Jakarta dirangsang kekreatifannya di dalam mencari jalan alternatif, dan bagi sebagian yang lain, diberikan satu ladang pekerjaan yang baru, menjadi Joki 3 in 1 – yang sadar tidak sadar, ikut merangsang pertumbuhan angka pengangguran di Jakarta. Mengapa hal ini dapat terjadi? Di satu sisi, pemerintah terlihat melakukan satu langkah praktis untuk mengupayakan pencairan kemacetan. Akan tetapi, satu upaya ini diboncengi dengan puluhan motivasi tidak terpuji dari puluhan pihak, yang masih memungkinkan dilaksanakannya fashion show para joki di beberapa ruas jalan protokol di kota Jakarta (para penegak hukum bukannya tidak tahu mengenai keberadaan para joki ini, namun mereka serta merta membiarkannya demi terlaksanannya beberapa maksud tertentu).
Di saat yang sama, sistem ini juga tidak ditunjang dengan perbaikan infrastruktur transportasi umum, yang seharusnya mendahului pemberlakuan sebuah sistem untuk mempromosikan penggunaan alat transportasi umum. Hal-hal ini menggambarkan satu sistem yang muncul dari kepentingan rakyat (yang dikristalisasi menjadi kepentingan saya dan rekan-rekan saya), bagi rakyat (yaitu bagi saya dan rekan-rekan saya), dan oleh rakyat (semua orang boleh repot, bahkan harus repot, demi kepentingan saya).
Di saat yang sama, para pelaku sistem yang sudah dibentuk, yaitu sebagian besar dari kita, tidak mengerti dan tidak mau mengerti maksud dan tujuan dari pemberlakuan sistem tersebut. Pengertian kita di dalam melihat sebuah sistem hanya sebatas apa yang harus saya lakukan dan apa yang tidak boleh saya lakukan; dan bagaimana seluruh hal ini dapat bekerja sedemikian rupa, sehingga saya mendapatkan keuntungan seoptimal mungkin, dengan usaha seminim mungkin. Dengan pola yang demikian, kita sebenarnya sedang menggenapkan satu sistem kontrak sosial antara pemerintah yang korup dengan rakyat yang korup; yang sama-sama tidak mau mengerti kepentingan bersama, namun sama-sama menamakan kepentingan diri sebagai kepentingan bersama.
Lalu, Bagaimana?
Dalam menjawab tantangan kejatuhan, kita harus kembali ke jawaban yang sebenarnya sudah Allah nyatakan di dalam Pribadi Anak-Nya, Tuhan kita Yesus Kristus. Kristus datang ke dalam dunia, yang sudah diberikan pernyataan hukum Allah, untuk menggenapkan hukum-hukum tersebut dan bukan untuk menghapuskannya. Penggenapan ini Ia lakukan dengan membawa kembali arti mula-mula dari seluruh pengadaan hukum-hukum Allah. Karena seluruh hukum tidak akan berarti apapun selain “sebuah bentuk kontrak yang lain”, yang justru hanya menyatakan kegagalan kita di dalam menggenapinya, apabila kita tidak melihat pola relasi antara Tuhan dan manusia yang melatarbelakangi pernyataan hukum-hukum tersebut.[16]
Dengan melihat pernyataan hukum Allah, kita seharusnya diingatkan akan undangan berelasi dari Allah kepada manusia. Setelah diingatkan, kita harus meresponinya dengan hati yang siap dibentuk oleh Sang Pemberi Hukum, yang akan merestorasi kondisi keterpurukan kita.
Pola yang demikian juga harus kita nyatakan di dalam pergelutan kita di tengah-tengah sistem dunia. Di mana pun Tuhan memposisikan kita, entah sebagai pejabat pemerintahan – yang memiliki tanggung jawab untuk melihat dengan lebih luas dan menyediakan platform bagi bergulirnya sistem kemasyarakatan, atau sebagai rakyat – yang dengan berbagai macam profesi dan tindakannya menjadi penggerak utama sistem kemasyaraktan tersebut, kita harus belajar menjadi alat Allah untuk menggenapkan order di dalam berbagai sudut kehidupan kita. Kita perlu belajar menjadi alat Tuhan di dalam merestorasi kontrak-kontrak sosial yang sudah lama mati. Kita harus dan perlu mengusahakan setiap sistem, dari sistem penilaian ujian akhir hingga sistem perdagangan, agar mereka dapat digenapi dan ternyatakan maksud dan tujuan aslinya, sehingga terhindar dari penyalahgunaannya sebagai alat penggemuk diri dari pribadi-pribadi yang berdosa. Karena sesungguhnya, Allah berhak atas setiap order yang ada; dan bukan hanya sekadar order yang ternyatakan di dalam fenomena-fenomena alam.
Allah menyatakan di dalam Yesaya 42:6-7, bahwa Kristus datang membawa terang kepada kaum yang terhilang, yaitu kita, untuk mencelikkan kita yang buta akan kehendak Allah, untuk membebaskan kita yang terpenjara di dalam beban-beban hukum yang impersonal, dan membangunkan kita yang duduk di dalam kegelapan hati dan pikiran kita. Allah mampu, dan mau, untuk menggantikan kuk yang mematikan kita di dalam pengenalan hukum yang impersonal dengan kuk yang menghidupkan kita. Sebuah penggantian yang memampukan kita untuk berelasi kembali di dalam relasi yang benar antara Allah dan umat-Nya. Sebuah relasi yang indah, yang memungkinkan kita melakukan setiap perbuatan baik yang telah Ia siapkan bagi kita. Perbuatan-perbuatan baik, yang memang harus kita lakukan sebagai hamba-hamba yang tidak berguna; namun di saat yang sama, juga merupakan pekerjaan yang hanya diberikan kepada mereka yang beroleh hak untuk memanggil Dia dengan sebutan Abba, Bapa.
Di tengah dunia yang telah gelap, mari kita bergiat di dalam Terang Kebenaran Allah! Dan kiranya Tuhan memampukan dan memimpin kita. Sola Gratia, Soli Deo Gloria.
Stephen D. Prasetya
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Sistem ini sudah bertahun-tahun diberlakukan di jalan-jalan protokol kota Jakarta demi mengurangi tingkat kemacetan di beberapa ruas jalan yang tadinya menjadi juara di dalam ajang kontribusi polusi udara saat jam-jam sibuk. Implementasi sistem ini mengharuskan semua kendaraan pribadi beroda empat untuk mengangkut minimal 3 orang untuk dapat melintasi ruas-ruas jalan tertentu. Dengan diimplementasikannya sistem ini, pemerintah kota Jakarta berharap agar lebih banyak masyarakat yang menggunakan kendaraan umum, sehingga volume kendaraan pribadi dapat dikurangi.
[2] Para pemilik kendaraan bermotor roda empat harus membayar sejumlah uang kepada para joki, agar mereka masuk ke dalam kendaraan mereka selama mereka melintasi lajur-lajur yang dikenai sistem 3 in 1.
[3] Slogan ini pertama kali dikumandangkan oleh Presiden Amerika Abraham Lincoln pada 19 November 1863 di dalam konteksnya memperjuangkan kebebasan sipil dan persamaan derajat dari setiap manusia, di tengah-tengah pecahnya Perang Saudara di Amerika pada tahun 1863. Namun dewasa ini, slogan ini sering dicabut keluar dari konteksnya demi mempromosikan beberapa kepentingan pribadi yang mengatasnamakan kepentingan bersama.
[4] Pemanis buatan yang memiliki tingkat kemanisan +/- 200 kali lipat lebih tinggi dibandingkan gula murni.
[5] Sebuah festival Rock and Roll &counter culture yang diadakan di New York pada 15-18 Agustus 1969, selain menjadi sebuah ikon kebebasan bagi kaum hippies, juga menjadi satu trofi atas kebebasan kaum muda yang anti otoritas. Hal ini tergambarkan dari slogan mereka yang terus berdengung sampai hari ini, Sex, Drug, and Rock and Roll (+ lots of muds). Dewasa ini, pola yang serupa terus diikuti oleh berbagai festival beberapa negara di Barat, walaupun mereka menyandang nama yang berbeda.
[6] Bandingkan dengan I Raja-Raja 14 – mengenai peringatan Tuhan kepada Kerajaan Yehuda melalui jatuhnya Kerajaan Israel oleh karena perzinahan mereka melawan Tuhan.
[7] Jeremiah 17:9 – The heart is deceitful above all things, and desperately sick; who can understand it?
[8] Jeremiah 2:!3 – for my people have committed two evils: they have forsaken me, the fountain of living waters, and hewed out cisterns for themselves, broken cisterns that can hold no water.
[9] Genesis 3:6a – So when the woman saw that the tree was good for food, and that it was a delight to the eyes, and that the tree was to be desired to make one wise, …
[10] Luke 4:13 And when the devil had ended every temptation, he departed from him until an opportune time.
[11] Psalm 2:3 – Let us burst their bonds apartand cast away their cords from us.
[12] Antinomianisme adalah paham yang tidak mau mengakui adanya peraturan di atas hidup manusia; yang berasal dari dua kata Yunani, ἀντί (anti = against) + νόμος (nomos = law). Legalisme, di lain pihak, adalah paham yang berniat mengaplikasikan setiap detail dari sebuah hukum berdasarkan apa yang tertulis dan apa yang tidak tertulis.
[13] Bandingkan dengan Roma 1:28.
[14] Bandingkan dengan Roma 1:25.
[15] Pemberian Hukum Allah di kaki Gunung Sinai muncul di dalam pernyataan Allah mengenai hubungan antara Tuhan dan umat-Nya. Hal ini dapat dilihat dari kalimat pembuka yang Allah berikan, “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” – Keluaran 20:2
[16] Pola ini dapat kita lihat dengan jelas paling tidak di dalam Ulangan 20:2, di mana pernyataan Hukum Allah di kaki Gunung Sinai diawali dengan pernyataan posisi pribadi Allah dan pribadi umat-Nya di hadapan-Nya.