Jauh di Hati, Dekat di Mata
Gedubrak… Heng-tung-cyak…cak-dung-cyang…
Anton (dalam hati sambil menggoyang-goyang kepala mengikuti irama): satu-dua, satu-dua, satu-dua…
Budi (dalam hati): Aduh, bising amat ini teman sekamar gua, dikasi ati, malah menjadi-jadi. Masakan sudah pakai earphone suaranya masih kedengaran keras sekali, seperti tetangga sebelah kalau lagi pakai speaker keras-keras.
Beberapa bulan kemudian, Budi mengambil kursi dan berusaha memukulkannya ke arah kepala dan punggung Anton, namun tepat pada saat itu Anton sadar dan menangkis dengan sebelah lengannya. Itulah gambaran dari sebuah benturan kebudayaan yang terjadi di salah satu sudut kamar asrama mahasiswa kampus di Singapura dengan sedikit revisi. Percakapan selanjutnya adalah rekaan penulis untuk penyampaian maksud yang lebih baik.
Budi: Masakan dia putar lagu itu keras-keras, bikin saya jadi naik darah.
Charlie: Lho, entah kenapa ya aku juga demen lagu itu. Padahal aku orangnya nggak suka yang keras-keras, tapi khusus lagu itu aku suka sekali.
Budi: Serius? Lagu kayak sampah dan rombengan itu elu demen?
Charlie: Iya, tapi aku sendiri masih belum tahu apa sebabnya. Kalau dipikir-pikir memang aneh, dan didengar-dengar memang nggak enak, tapi ada kesan yang berbeda pokoknya deh.
Daisy (pacar Charlie): Lho, itu kan lagu yang diputar di mal waktu kita jadian and jalan bareng pertama kali.
Charlie: Eh, iya ya?
Budi: Oh, pantesan…
Demikianlah kisah Budi yang menarik untuk kita pikirkan dan pelajari bersama-sama.
Mengapakah dua orang yang begitu dekat dan tinggal sekamar bisa begitu berbeda satu sama lain? Jauh di hati, dekat di mata. Mengapa bisa demikian? Karena manusia merupakan ciptaan Tuhan yang terbatas dengan potensi yang hampir tidak terbatas sebagai mikrokosmos atau dunia yang kecil. Lho, dunia kok kecil? Kalau cuma kecil kok bisa begitu berbeda dan banyak konflik? Karena yang kecil itu dunia, dan dunia itu besar lho! Di sinilah kerumitan kehidupan manusia timbul dan terjadi. Selain itu, saya percaya dengan derasnya arus informasi di zaman globalisasi yang super cepat ini membuat konflik dengan mudah dapat timbul karena terjadinya kekacauan istilah bahasa yang tidak sempat dimengerti secara utuh tapi sudah terjadi pertukaran penggunaan di dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Di dalam 5.000 tahun sejarah peradaban dan kebudayaan manusia terlihat merangkak, tetapi di dalam 500 tahun terakhir sejak Renaissance maka sains dan teknologi berkembang begitu pesat meninggalkan zaman sebelumnya dan kita masih mengingat kesusahan pergumulan umat manusia akibat Perang Dunia kedua 50 tahun yang lalu. Demikian pula 2.500 tahun sejarah peradaban dan kebudayaan manusia berkembang dan hancur sendiri-sendiri di berbagai belahan dunia, tetapi di dalam 250 tahun terakhir sejak revolusi industri dunia kita tidak pernah sama seperti dahulu lagi; bahkan dalam 25 tahun lalu dunia kita masih dicekam oleh pergumulan perang dingin antara USA dan USSR, ancaman nuklir, senjata pemusnah massal sebelum runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989[i]. Perubahan paradigma dan pergumulan mengikuti percepatan pergerakan zaman bukan hanya exponential tetapi juga logarithmic dengan kelipatan bilangan 10 berpangkat. Manusia dengan segala keterbatasannya di tengah-tengah keberdosaannya[ii] dan berada di dalam dunia berdosa berjalan tidak memiliki arah seperti Kain yang meninggalkan Tuhan[iii]. Karena itu, mereka yang tidak bisa mengikuti percepatan arus zaman ini akan kehilangan arah, nilai, dan makna menuju kepada sikap menerima makna apapun dan berujung pada relativisme. Hal yang sangat dekat dengan konteks Gerakan Reformed Injili yang berada di dalam percepatan gelombang transisi dari masyarakat agrikultural (pertanian) menuju kepada masyarakat industrialisasi dan juga menuju masyarakat informasi. Itulah sebabnya Gerakan ini tidak mudah diikuti oleh orang yang belum biasa dengan kedahsyatan gelombang transisi ini, apalagi Gerakan yang melawan arus ini berakar pada semangat yang dirintis pada abad ke-16, tetapi bermotivasi membawa kekristenan menuju abad ke-21. Itu sebabnya tidak heran jika Gerakan ini dinilai terlalu terbelakang atau melawan arus.[iv]
Dunia kita sekarang terlihat seolah dilipat di mana Jakarta lebih dekat ke New York daripada ke Jayapura dan fenomena glokalisasi terjadi di mana-mana (Baca artikel Pillar Nov 09 yang berjudul: Gerombolan Siberat Aja). Prof. William Edgar, Profesor Apologetika dari Westminster Theological Seminary, mengatakan bahwa kita dapat melihat aspek positif dari fenomena globalisasi dan glokalisasi ini yaitu mandat pekabaran Injil dari Yesus Kristus ke seluruh dunia menjadi semakin dekat realisasinya untuk kita capai sebagai Gereja yang diutus oleh-Nya[v]. Tetapi bila kita mau melihat sisi sebaliknya secara jujur, justru fenomena yang terlihat menyatu ini ternyata hasil dari kemajuan kebudayaan yang ditandai oleh kekacauan bahasa seperti menara Babel dan membuat kita sulit untuk melakukan komunikasi Injil. Mengapa? Ada peperangan otoritas, interpretasi, dan komunikasi di dalam kebudayaan yang lebih maju. Karena itu tepatlah apabila Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa Dosa dan Kebudayaan tidak dapat dipisahkan[vi]. Kita dapat melihat sulitnya komunikasi Injil disampaikan di dalam kebudayaan maju yang ditandai dengan bahasa dan spesialisasi profesi masing-masing, seperti di Amerika, apalagi di zaman sekularisasi dan post-Christian era. Komunikasi Injil secara langsung bahwa kita adalah manusia berdosa dan perlu Juruselamat susah diterima oleh mereka yang mendapatkan dignitas di dalam pencapaian kebudayaan dan worldview sekular mereka. Tidak berarti bahwa kita tidak memberitakan dosa sekeji-kejinya, sebusuk-busuknya, sedalam-dalamnya, dan setuntas-tuntasnya, tetapi kita tidak boleh lupa juga mengabaikan siapakah manusia dan dignitasnya yang mula-mula di dalam Creation, bukan dimulai dari Fall di mana manusia tidak memiliki dignitas sama sekali.[vii] Kesulitan otoritas, interpretasi, dan komunikasi juga dialami oleh Paulus di dalam suratnya terhadap jemaat yang kompleks dengan berbagai talenta dan budaya yang lebih maju yaitu Korintus. Bukankah Paulus selalu disalah mengerti dalam segala hal oleh jemaat Korintus? Termasuk otoritasnya yang diragukan dan perbedaan interpretasi masing-masing orang dan kubu. Perhatikan kalimat Paulus berikut ini:
“… dalam hal manakah kamu dikebelakangkan dibandingkan dengan jemaat-jemaat lain, selain dari pada dalam hal ini, yaitu bahwa aku sendiri tidak menjadi suatu beban kepada kamu? Maafkanlah ketidakadilanku ini! Sesungguhnya … bukan hartamu yang kucari, melainkan kamu sendiri. … Jadi jika aku sangat mengasihi kamu, masakan aku semakin kurang dikasihi? Baiklah, aku sendiri tidak merupakan suatu beban bagi kamu, tetapi – kamu katakan – dalam kelicikanku aku telah menjerat kamu dengan tipu daya.” (2Kor. 12:13-16)
“Jemaat-jemaat lain telah kurampok dengan menerima tunjangan dari mereka, supaya aku dapat melayani kamu! Dan ketika aku dalam kekurangan di tengah-tengah kamu, aku tidak menyusahkan seorang pun, sebab apa yang kurang padaku, dicukupkan oleh saudara-saudara yang datang dari Makedonia.” (2Kor. 11:8-9)
Pernahkah kita mengalami hal yang mirip demikian? Kekacauan bahasa dan istilah, simpang siurnya interpretasi, kesalahpahaman dalam komunikasi inilah yang akan membawa kita ke dalam perjalanan pencarian akan kebenaran. Siapakah pemegang otoritas yang mutlak, pemberi interpretasi yang sejati, dan penjamin komunikasi antar manusia?
Informasi dan Interpretasi
Informasi
Sejak paling tidak kelas 6 SD, kita sudah mengenal apa yang disebut Confidential di kertas ujian nasional masing-masing. Mengapa istilah Confidential perlu ditambahkan di dalam kertas ujian kita? Mengapa di dalam dunia pekerjaan, terminologi bisnis seperti Private, Confidential, Secret, dan Top Secret itu perlu diajarkan berulang-kali dan dijadikan kebudayaan di dalam perusahaan? Mengapa kita mengenal istilah mata-mata (spy) mulai dari spy CIA yang pintar sampai spyware yang benda mati, ataupun mata-mata yang melirik jawaban ujian orang lain serta telinga-telinga yang berusaha memata-matai berita penting maupun gosip biasa dan kabar burung yang tidak jelas kebenarannya? Serta mengapakah sejak zaman kuno Sun Tzu sudah menekankan pentingnya know yourself and know your enemy di dalam Art of War-nya? Bahkan, kenapa Google yang awalnya hanyalah penyedia jasa search engine telah menjadi salah satu perusahaan terkemuka menyaingi Microsoft dan Yahoo!?
Itu semua tidak lain tidak bukan adalah berbicara seputar data, fakta, dan informasi. Informasi merupakan suatu harta yang sangat berharga sejak zaman dahulu kala dan sekarang telah menjadi suatu komoditas yang disadari oleh hampir semua orang sesudah lewatnya zaman feudalisme dari para aristokrat. Apabila di zaman sekarang mata-mata disewa, bocoran soal ujian dapat dibeli, dan perusahaan penyedia data riset pasar sangat dibutuhkan untuk keperluan strategi pemasaran, ternyata, di zaman dulu juga sama bahwa informasi itu sangat dihargai, yaitu ketika kita melihat kisah-kisah prajurit ataupun petualang yang membayar seorang tua yang bijaksana dan memiliki banyak pengalaman di bar, kedai, tavern, ataupun tempat pertemuan lainnya untuk memberikannya informasi. Bahkan, ada mata pelajaran yang disebut teknologi informasi, yang berevolusi menjadi teknologi informasi komunikasi[viii], bagaimana informasi itu bernilai, berbobot, dan berkembang dalam kaitannya dengan komunikasi karena ternyata informasi tanpa komunikasi menjadi terbatas dan susah berkembang. IT juga dapat digabungkan dengan bisnis menjadi Business IT. Dalam pelajaran lain ada juga tentang teori informasi yang menghitung entropi dan probabilitas suatu informasi[ix]. Masih ada lagi? Masih. Ada Information Security, dan seterusnya.
Budi: Pak Penulis, belum tahu yah kalau saya selain tidak suka lagu keras-keras kualitas rombengan, saya juga tidak suka ceramah-ceramah abstraksi tidak penting dan ide-ide buatan manusia (baca: Anda sendiri) yang juga merupakan produk kebudayaan yang berdosa dari rasio manusia yang berdosa di dalam dunia yang berdosa. Mana bukti ayat Alkitabnya tentang informasi? Dari tadi ngoceh ngalor-ngidul nggak ada juntrungannya.
Penulis: Sabar yah. Tadi baru analisis kebudayaan. Habis gini nih…
Interpretasi
Di dalam Perjanjian Lama kita melihat bahwa konteks peperangan sangat nyata di dalam kehidupan bangsa Israel dan lagi-lagi informasi dan interpretasi terhadap informasi itu menjadi faktor sangat penting yang tidak bisa lepas. Perhatikanlah kasus Rahab yang menyembunyikan informasi[x] maupun Gideon yang menjadi lebih pede dan beriman sesudah mendengar informasi mengenai mimpi tentara musuh[xi]. Simson yang rahasia kenazirannya akhirnya bocor di tangan Delila[xii]. Dua kali para mata-mata dikirim oleh Musa dan Yosua untuk masuk ke tanah Kanaan sebelum berperang. Samuel yang dianjurkan dan diajari Tuhan untuk mengatakan ‘half-truth’ kepada Saul dan sebagainya. Di dalam Perjanjian Baru Kristus terus-menerus berusaha dijebak oleh orang-orang Farisi dan kisah Paulus yang lebih positif mengenai informasi di mana ia rindu mendapatkan kabar dari jemaat-jemaatnya.
Tetapi dari sekilas survei di atas, ada beberapa contoh lain yang ingin saya bahas lebih jauh mengenai informasi dan interpretasi informasi. Pernahkah teman-teman membaca kisah Tuhan Allah dikelilingi oleh segenap tentara surga yang mencari roh untuk membujuk Ahab maju berperang supaya tewas?[xiii] Juga, bagaimana dengan Tuhan yang membuat Moab menginterpretasi air yang terlihat merah sebagai darah dan akhirnya mereka kalah karena salah menginterpretasi?[xiv] Jika Tuhan kita adalah Tuhan yang seperti itu, apakah kita dapat memegang janji-Nya yang setia? Musa yang boleh melihat bagian belakang Tuhan saja akhirnya juga tidak diizinkan masuk ke Kanaan, itu pun karena bangsa Israel yang mencari gara-gara dengan Musa. Mungkinkah Tuhan tidak akan menghasut atau mengirimkan roh jahat kepada kita sama seperti Saul atau bahkan ketika Dia berikhtiar membunuh Musa karena belum menyunatkan anaknya[xv], atau bahkan seperti Daud orang yang berkenan di hati Allah untuk dihasut menghitung sensus penduduknya[xvi], sehingga kita menginterpretasi segala sesuatu dengan ngawur dan mendapatkan kecelakaan? Jika demikian gelap dan tidak ada pengharapan, bukankah lebih baik bunuh diri saja?!
Contoh berikutnya yang lebih positif adalah kesalahpahaman yang terjadi antara 9½ suku Israel di Kanaan dan 2½ suku Israel yang tinggal di Transjordan atau di seberang (sebelah Timur) sungai Yordan.[xvii] Mengapa Tuhan yang sangat detail mengatur kehidupan bangsa Israel dengan hukum Taurat-Nya di Perjanjian Lama yang menurut Paulus adalah masa kanak-kanak sebelum akil balig[xviii], lalai untuk tidak memberikan aturan mendetail mengenai mezbah di tepi sungai Yordan? Akibatnya apa? Hampir terjadi perang saudara pada bangsa Israel. “Mengapa Tuhan mengizinkan ini terjadi?” kalimat ini tidak muncul di kitab Yosua, tetapi akhirnya harus muncul di kitab Hakim-hakim ketika terjadi perang saudara dengan suku Benyamin[xix]. Mengapa Tuhan tidak memberikan peraturan mengenai mezbah dengan lebih mendetail? Bukankah sudah jelas bahwa Perjanjian Lama itu sebelum Kristus dan Tuhan memerintah bangsa Israel dengan menegakkan hukum Taurat-Nya? Apabila kita membandingkan kasus yang terjadi di kitab Yosua dengan apa yang ada di kitab Hakim-hakim, maka kita akan menemukan keindahan yang luar biasa. Di dalam kitab Yosua, bangsa Israel generasi kedua sesudah keluar dari tanah Mesir seolah-olah melakukan apa yang mereka pandang baik (baca: asumsi, interpretasi, dan aksi) seperti di kitab Hakim-hakim, tetapi sesungguhnya mereka memiliki interpretasi yang berkenan di hadapan Tuhan sesuai dengan firman Tuhan di mana Tuhan menyatakan otoritas-Nya melalui kepemimpinan Yosua. Bahkan, meskipun Yosua tidak hadir pada waktu itu dan konflik sangat mungkin terjadi lebih jauh, tetapi mereka benar-benar memikirkan sejarah leluhur di belakang mereka, menyadari kelemahan mereka, dan menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan di masa depan bagi anak-anak mereka. Hal ini terlihat dari concern pihak 9½ suku lainnya yang menasihati agar suku Ruben, Gad, dan ½ Manasye (2½ suku) itu tinggal bersama-sama dengan mereka saja sesuai apa yang Tuhan berikan dari semula kalau tidak puas di seberang asalkan mereka jangan mendatangkan kecelakaan dan murka Tuhan bagi seluruh bangsa Israel karena mereka merupakan satu kesatuan. Begitu pula 2½ suku di Transjordan yang juga menyadari keliaran interpretasi mereka dan berencana untuk mendirikan mezbah peringatan agar anak cucu mereka tetap dapat beribadah di tanah Kanaan, tempat yang Tuhan tetapkan dan tidak terjadi perpecahan di antara mereka. Dan akhirnya, hal tersebut dikonfirmasi oleh Pinehas, anak Imam Besar Eleazar, cucu Imam Besar Harun, dari pihak 9½ suku, yang terkenal oleh kesungguhannya kepada Tuhan dengan membunuh pezinah dengan perempuan Midian dalam kisah Balak bin Zipor dan Bileam bin Beor dari Petor[xx]. Demikian perkataan indah dari imam Pinehas bin Eleazar itu yang menyatakan hadirat TUHAN karena interpretasi yang diperkenan oleh TUHAN:
“Sekarang tahulah kami bahwa TUHAN ada di tengah-tengah kita, sebab tidaklah kamu berubah setia terhadap TUHAN. Dengan demikian kamu telah melepaskan orang Israel dari hukuman TUHAN.” (Yos. 22:31)
Jadi, bagaimanakah kita harus hidup dan menginterpretasi dengan benar? Apakah kita tenggelam dalam brute fact yang penuh dengan kekacauan dan peperangan interpretasi satu sama lain? Mezbah yang disusun dari batu-batu (alam materi) menjadi simbol dan tanda peringatan bagi anak cucu mereka agar menjalankan kehendak Tuhan[xxi]. Batu-batu tersebut juga bisa menjadi tanda kekejian di hadapan Tuhan yang melanggar perintah-Nya.
Di dunia ini ada banyak sekali informasi tapi hanya orang yang takut akan Tuhan yang mampu mengubah informasi tersebut menjadi pengetahuan sejati. Dengan kata lain, mungkin pengetahuan yang mereka dapatkan itu fake meskipun dari informasi yang sama karena tidak diterangi kebenaran firman melainkan hasil interpretasi sendiri. Ada dua orang yang sama-sama melihat apel jatuh dan keduanya berkesimpulan sama yaitu adanya gaya gravitasi yang menarik apel tersebut. Tetapi yang satu bisa melihat interaksi antara dua massa ini sebagai suatu hukum universal yang tidak hanya berlaku di bumi tapi di seluruh alam semesta dengan formula yang sama, dan menghubungkannya dengan hukum-hukum universal lain di mana hal itu terkait dengan diri Allah, sedangkan yang lain hanya melihat interaksi ini sekadar sesuatu yang intrinsik di dalam massa dan tidak dapat menariknya lebih jauh. Mungkin keduanya sampai pada hasil yang sama dan keduanya dapat melakukan kalkulasi secara tepat terhadap setiap pergerakan yang disebabkan oleh interaksi tersebut, namun yang satu berhasil mengaitkannya dengan diri Allah. Begitu pula jika dua orang ahli matematika diperhadapkan pada fakta bahwa 2 + 1 = 3, yang satu mungkin akan melihat suatu dalil universal di mana tunggal dan jamak[xxii] bisa berelasi di dalamnya dan melihat kebesaran Allah di dalamnya, tetapi yang satu mungkin hanya menganggap hal ini merupakan konstruksi manusia yang disetujui secara universal.[xxiii]
Di sinilah letak istilah mitos netralitas itu menjadi jelas karena seluruh alam semesta ini ada untuk mendapatkan interpretasi yang benar dan bukannya berdiri sendiri. Dan alam semesta beserta kebenaran yang terkandung di dalamnya yang dianalisis secara objektif itu tidak bisa lepas dari subjek yang menginterpretasi. Dan siapakah interpretator yang sejati? Kristus yang adalah the subjectivity of the Truth himself[xxiv].
Jadi, masihkah kita tidak memiliki pengharapan? Siapakah yang tidak pernah kecewa, sedih, putus asa, patah hati, dan tertekan?[xxv] Tetapi justru jaminan Tuhan Yesus yang begitu mengasihi kita dengan bukti cinta-Nya dengan menyerahkan nyawa di atas kayu salib serta karunia Roh Kudus-Nya di dalam hati kita menjadi kekuatan, kedamaian, dan sumber pengharapan bagi kita. Kiranya semua orang kudus dengan kekuatan dari Tuhan sendiri dapat berkata: “Jika Allah di pihak kita, siapakah lawan kita?[xxvi]” – Karena hadirat TUHAN nyata untuk memperkenan mereka yang menginterpretasi firman Tuhan berkenan di hati-Nya. [xxvii],[xxviii]
Lukas Yuan Utomo
Redaksi Bahasa PILLAR
[i] Sesudah banyak bergumul dan menghadapi kesulitan dalam etika kerja serta membaca tulisan Christianto Wibisono di Suara Pembaruan dan Evangelical Ethics edisi 1985 dari John Jefferson Davis.
[ii] Naruto dan One Piece, dua komik yang terlaris saat ini, memiliki dan pasti memiliki kalimat-kalimat kristal yang mengarahkan dan memiliki kekuatan untuk mengubah seluruh arah sejarah di dalam alur ceritanya. Kalimat yang berhubungan dengan pergumulan manusia muncul di dalam percakapan Itachi dan Sasuke yang mengubah arah hidup Sasuke dan plot cerita Naruto secara keseluruhan. Kalimat mengerikan dan mengubah hati dan arah hidup bagi Sasuke tersebut adalah “Every human being relies on and is bounded by his knowledge and experience to live. This is what we call “reality”. However, knowledge and experience are ambiguous, thus reality can become illusion. Is it not possible to think that, all human beings are living in their assumptions?”
[iii] Lukisan yang menggambarkan “Cain flying before Jehovah’s Curse” (c. 1880) berada di Musee d’Orsay, Paris yang dilukis oleh Fernand-Anne Piestre Cormon.
[iv] Tong, S. Gerakan Reformed Injili: Apa dan Mengapa?, Surabaya: Momentum.
http://www.grii.org/grii-visi.htm [Diambil pada tanggal: 31-05-2010].
[v] Edgar, William. Lecture on Cultural Apologetics, Jakarta: 2008.
[vi] Saya bersyukur apabila Pdt. Dr. Stephen Tong telah menepati janjinya beberapa tahun lalu di dalam SPIK 2008 – “Iman dan Kebudayaan” bahwa beliau akan membahas tema Dosa dan Ketelanjangan. Saya percaya walaupun di dalam SPIK 2010 – “Rahasia Kemenangan dalam Cinta dan Sex Menuju Pernikahan” ini beliau membahas Dosa dan Ketelanjangan dengan sangat singkat, itu sudah merupakan sharing analisis dan cetusan pemikiran beliau yang kristal, karena dalam beberapa tahun ke depan beliau sudah menjanjikan seri SPIK Keluarga lain yang lebih jauh kaitannya dengan Dosa dan Ketelanjangan. Karena seri “Iman & Agama” dan “Iman & Kebudayaan” adalah satu pasang, demikian pula seri “Dosa & Kebudayaan” dan “Dosa & Ketelanjangan” adalah satu pasang.
[vii] Untuk penjelasan lebih lengkap, baca Total Truth oleh Nancy Pearcey.
[viii] Information Technology (IT) dan Info-Comm Technology (ICT)
[ix] Baca mengenai Information Theory and Coding
[x] Yos. 2:1-24
[xi] Hak. 7:13-15
[xii] Hak. 16:4-22
[xiii] 1Raj. 22:19-20
[xiv] 2Raj. 3:22
[xv] Kel. 4:24-26
[xvi] 2Sam. 24:1-17
[xvii] Yos. 22:9-34
[xviii] Gal. 4:1
[xix] Hak. 21:3
[xx] Bil. 22:1-5; Bil. 25:6-13
[xxi] Perhatikan fungsi manusia sebagai pemberi interpretasi pada alam dalam hubungan manusia-alam. Kita bisa mengaitkannya lebih luas dalam spiritualitas Kristen yang sakramental di mana simbol yang kelihatan dan sederhana digunakan untuk memanifestasikan yang tidak kelihatan dan mulia dari diri Allah sendiri.
[xxii] Perhatikan relasinya dengan Allah Tritunggal yang juga tunggal dan jamak.
[xxiii] Saya berhutang kepada Sdr. Hendrik Santoso Sugiarto untuk paragraf ini dalam masa deadline penulisan artikel Pillar yang cukup ketat ini.
[xxiv] Karena itu, satu-satunya jalan epistemologi yang benar dan yang Kristen adalah melalui wahyu Allah di dalam firman-Nya yang berfokus kepada Kristus. Sifat kebenaran yang subjektif dan objektif bertemu di dalam Kristus. Sungguh kebenaran yang sederhana, satu unit, tetapi memiliki kerumitan, keluasan, kekayaan, multifaset yang tidak habis-habis (bdk. Allah Tritunggal dan Let’s Take Time to Ponder edisi ini: Beautiful Risk).
[xxv] Inilah yang menjadi jawaban dan jaminan cinta kasih Tuhan yang telah dinyatakan-Nya di kayu salib dengan mengorbankan diri-Nya sendiri. Kita bisa jatuh, Tuhan bisa marah seketika itu juga, mungkin menghasut dan menghabisi kita, tetapi Roma 5 memaparkan rencana kekal Allah dengan begitu jelas di mana Kristus telah mati pada saat kita masih seteru-Nya.
[xxvi] Rm. 8:31
[xxvii] Paralel dengan pengertian Tuhan yang berhadirat dan bertakhta di atas dan melalui puji-pujian umat-Nya yang keluar dari hati yang ingin memperkenan Tuhan, yang dimampukan oleh Tuhan supaya dapat diperkenan dan berkenan di hadapan Tuhan sendiri. Ketika Tuhan bekerja di takhta-Nya yang kudus di surga dan menembus serta memenuhi hati manusia yang juga takhta-Nya di bumi sehingga Allah memenuhi segala sesuatu dan di dalam semua. Segala kemuliaan hanya bagi Tuhan.
[xxviii] Jika Tuhan masih memberikan kesempatan dan perkenanan, kiranya artikel ini dapat diteruskan pembahasannya mengenai komunikasi (termasuk hubungan pria-wanita yang baru saja dibahas di dalam SPIK 2010), sifat kebenaran yang subjektif atau/dan objektif, serta sejarah penafsiran Alkitab.