Saat kita menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat adalah saat di mana kita menandai awal perjalanan iman kita dan memulai pergumulan hidup kita sebagai seorang Kristen. Kita menyadari ada satu desakan yang kuat dalam diri kita, sebuah keinginan untuk mengenal Allah dan kehendak-Nya di dalam firman-Nya. Allah yang telah menjadikan kita dan yang telah menebus serta memanggil kita.
Charles H. Spurgeon menuliskannya dengan baik:
“Kalau ada yang perlu dipelajari dari kekristenan, itu adalah tentang ke-Allah-an. Ilmu pengetahuan tertinggi, spekulasi teragung, filsafat terkuat yang bisa menarik perhatian anak-anak Allah adalah nama, sifat, pribadi, pekerjaan, dan keberadaan Allah yang besar… ada sesuatu yang melampaui pikiran waktu kita merenungkan sifat keilahian ini. Subyek yang terlalu luas di mana semua peralatan kita hilang dalam keluasannya; begitu dalam hingga kebanggaan kita tenggelam dalam ketidakterbatasannya. Subyek lain yang kita pahami, gumulkan, sombongkan, ‘Lihatlah aku bijaksana’. Tapi sewaktu kita datang pada ahli ilmu pengetahuan ini, menemukan bahwa tali pengukur kita tidak dapat mengukur kedalamannya, dan mata elang kita tidak dapat melihat ketinggiannya, kita kembali dengan suatu pikiran bahwa aku tidak mengetahui apa-apa.”[1]
Bagaimanakah kita bisa mengenal Allah? Pada zaman dahulu Allah berbicara langsung kepada umat-Nya. Allah berbicara secara langsung kepada Nuh ketika Nuh dan seisi rumahnya diminta untuk masuk ke dalam bahtera (Kejadian 7:1). Allah juga berbicara secara langsung kepada Abram ketika Allah meminta ia pergi dari negerinya ke negeri yang Allah tunjukkan, di mana Allah akan menjadikannya bangsa yang besar dan memberkatinya di sana (Kejadian 12:1-3). Musa, ketika Allah memanggilnya untuk menghadap Firaun supaya Firaun membebaskan bangsa Israel dan keluar dari tanah Mesir, Allah juga berbicara langsung kepadanya (Keluaran 7:1). Selama perjalanan bangsa Israel di padang gurun, Allah terus berfirman kepada Musa bahkan dikatakan Allah berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya (Keluaran 33:11). Allah juga berbicara kepada Yosua ketika Yosua diminta untuk melanjutkan tongkat kepemimpinan Musa untuk membawa bangsa Israel masuk ke Tanah Perjanjian (Yosua 1:1-2). Dan ada banyak contoh yang bisa kita saksikan tentang bagaimana Allah memperkenalkan diri-Nya, berbicara kepada umat-Nya, dan menyatakan apa yang hendak diperbuat-Nya.
Selalu di akhir dari segala yang dikerjakan-Nya, Allah menyatakan kebesaran dan kuasa-Nya. Kebaikan dan kemurahan hati-Nya dikenal, kesetiaan-Nya dibuktikan, dan kedaulatan-Nya merelakan mereka untuk tunduk pada kebijaksanaan-Nya yang melampaui segala akal. Allah memperkenalkan diri-Nya melalui setiap karya-Nya dalam sejarah.
Zaman ini, Allah tidak lagi berbicara kepada umat-Nya seperti ketika Ia berbicara kepada bangsa Israel melalui perantaraan nabi-nabi. Wahyu Allah telah genap dan selesai ditulis, tidak akan dikurangi dan tidak akan ditambah. Allah memberikan Alkitab sebagai perkataan-Nya yang tertulis agar umat Allah belajar tentang Allah dari firman-Nya yang tertulis.
Di dalam sejarah gereja awal sampai pertengahan, Alkitab hanya boleh dibaca oleh kalangan imam dan mereka yang hidup membiara. Tetapi dalam perkembangannya, Allah membangkitkan orang-orang yang Ia pakai untuk memberikan kesempatan kepada lebih banyak orang bisa mengenal-Nya. Alkitab diterjemahkan dan mulai dicetak ke dalam berbagai bahasa di berbagai belahan dunia.
Allah dengan setia memelihara firman-Nya, dari zaman ke zaman Allah tidak pernah berhenti terus menggembalakan umat-Nya dengan firman-Nya. Dan Alkitab itu diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya agar umat-Nya mengenal siapakah Allah mereka.
Hari ini akhirnya Alkitab itu sampai di tangan kita, yang dapat dengan mudah kita peroleh hingga kadang terlupakan oleh kita bagaimana seharusnya kita menghargainya. Alkitab berbicara sama seperti ketika Allah berbicara langsung kepada umat-Nya pada zaman nabi-nabi. Sama dalam hal menekankan penggambaran pribadi Allah, karakter-Nya, dan apa yang menjadi isi hati-Nya.
Mungkin kita akan berpikir, bangsa Israel mempunyai hak lebih istimewa karena Allah langsung berbicara kepada mereka, dibandingkan saat ini di mana Allah berbicara melalui firman-Nya yang tertulis. Apakah ketika Allah berbicara langsung kepada umat-Nya akan membuat mereka kemudian lebih taat dan lebih percaya kepada-Nya? Jika kita telusuri, ternyata hal itu tidak memberikan jaminan respons yang lebih baik dari umat Allah. Bangsa Israel yang menyaksikan mujizat yang dikerjakan tangan Allah setiap hari, tiang awan dan tiang api, manna yang turun dari langit, dan berbagai mujizat yang mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri ternyata tidak membuat mereka lebih taat kepada Allah. Sebaliknya selama di padang gurun, bangsa yang tegar tengkuk ini terus bersungut-sungut di hadapan Allah, bahkan menjadikan bagi diri mereka sendiri berhala untuk disembah. Yunus pun menunjukkan ketidaktaatan ketika ia diminta pertama kali oleh Allah untuk memberitakan kabar keselamatan kepada penduduk kota Niniwe. Yunus tidak mengindahkan bahkan memilih untuk lari dan menjauh dari hadapan Allah (Yunus 1:3).
Sebaliknya, apakah kemudian ketika Allah berbicara melalui firman-Nya yang tertulis, tidak lebih baik daripada ketika Allah berbicara langsung kepada kita? Jika kita pelajari, hal ini juga tidak menjamin karena justru kita yang hidup di zaman ini mempunyai wahyu Allah yang lengkap di mana kita bisa melihat benang merah karya Allah di sepanjang sejarah penebusan melalui Alkitab. Umat Allah yang hidup sebelum kedatangan Kristus hanya melihat dengan samar-samar apa yang ada di depan mereka, tetapi kita yang hidup di zaman ini melihat dengan jelas apa yang sudah Kristus genapi dalam karya penebusan-Nya bagi umat Allah. Melalui narasi Alkitab, kita belajar untuk melihat bahwa cerita kita merupakan bagian dari cerita besar Allah. Kita diajak untuk melihat hidup kita di dalam satu garis sejarah penebusan, yang tidak dapat kita sangkali bahwa kita ada dan berbagian dalam cerita itu.
Jelas bagi kita, yang menjadi kunci di sini bukan persoalan Allah berbicara secara langsung atau secara tertulis, melainkan pada respons kita. Bagaimana kita mengenal Allah dan berespons kepada Allah yang adalah Tuhan atas sejarah?
Bagaimana kita sebagai umat Allah berespons ketika Allah berbicara? Nuh, Abraham, Musa, Yosua, dan nabi-nabi lainnya yang dipakai oleh Allah mempunyai satu kesamaan, yaitu dalam hal respons mereka kepada Allah dalam ketaatan. Mereka adalah orang-orang yang menjawab di dalam ketaatan ketika Allah memanggil mereka. Ketika Allah meminta mereka untuk mengerjakan pekerjaan-Nya, mereka melakukannya dalam ketaatan. Mereka adalah orang yang dikatakan Alkitab sebagai orang yang hidup bergaul dengan Allah, orang yang berjalan dengan Allah dan mengenal Allah. Nuh mendapat kasih karunia dan berkenan di mata Allah, Nuh hidup bergaul dengan Allah. (Kejadian 6:8-9)
Sebagaimana mereka menaati Allah ketika Allah berbicara secara langsung, demikian juga Allah menginginkan kita yang hidup di zaman ini memiliki respons yang sama ketika kita mendengar Allah berbicara melalui firman-Nya yang tertulis. Respons demikian keluar dari pengertian kita akan pentingnya firman Allah. Kepentingan firman terletak pada otoritas di balik firman yang disampaikan dan bukan pada cara penyampaian. Selain itu kita percaya bahwa di balik firman yang disampaikan kepada kita ada suatu rencana kekal Allah yang indah untuk digenapi. Rencana Allah yang mencakup seluruh sejarah di mana hidup kita termasuk di dalamnya. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu kita pahami lebih jauh berkenaan dengan pentingnya firman:
1. Firman Allah adalah hidup kita
Perhatikanlah segala perkataan yang kuperingatkan kepadamu pada hari ini, supaya kamu memerintahkannya kepada anak-anakmu untuk melakukan dengan setia segala perkataan hukum Taurat ini. Sebab perkataan ini bukanlah perkataan hampa bagimu, tetapi itulah hidupmu, dan dengan perkataan ini akan lanjut umurmu di tanah, ke mana kamu pergi, menyeberangi sungai Yordan untuk mendudukinya. (Ulangan 32:46-47)
2. Firman Allah menimbulkan iman
Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus. (Roma 10:17)
3. Firman Allah memberikan pengharapan
Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci. (Roma 15:4)
4. Firman Allah memerdekakan
Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu. (Yohanes 8:31-32)
5. Firman Allah memberikan hikmat
Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. (Mazmur 19:8)
6. Firman Allah memberikan jaminan
Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal. (I Yohanes 5:13)
7. Firman Allah mengalahkan yang jahat
Aku menulis kepada kamu, hai anak-anak, karena kamu mengenal Bapa. Aku menulis kepada kamu, hai bapa-bapa, karena kamu mengenal Dia, yang ada dari mulanya. Aku menulis kepada kamu, hai orang-orang muda, karena kamu kuat dan firman Allah diam di dalam kamu dan kamu telah mengalahkan yang jahat. (I Yoh 2:14)
Alasan-alasan tersebut kiranya menggerakkan hati kita untuk menyadari betapa firman Allah penting bagi kita, sehingga kita bisa benar-benar sadar untuk memakai sebagian waktu hidup kita untuk berdoa dan merenungkan firman di dalam saat teduh.
Sering kali kita merasa kita terlalu sibuk untuk membaca dan merenungkan firman Tuhan. Kesibukan Sering kali menarik kita dan seluruh perhatian kita kepada rutinitas hidup, sampai-sampai kita kehilangan arah dan makna dari apa yang kita hidupi dan kerjakan. Justru semakin kita sibuk, semakin kita membutuhkan kekuatan untuk hidup yang dapat kita dapatkan dari perenungan akan firman dan doa. Kiranya Tuhan memberikan kita hati yang mencintai firman dan kerinduan yang mendorong kita untuk mengenal Dia semakin dalam supaya hidup kita semakin kaya dan melimpah dalam anugerah-Nya.
Bagian ini akan kita tutup dengan kutipan dari buku Desiring God, karangan John Piper, mengenai seorang pendoa dan pahlawan iman, George Muller (1805-1898) yang terkenal karena mendirikan panti-panti asuhan di Inggris dan dengan sukacita bergantung pada Allah untuk semua kebutuhannya. Berikut kesaksian dari otobiografinya:
Ketika saya tinggal di Nailsworth, Tuhan berkenan mengajar saya satu kebenaran, – tanpa memandang manusia sebagai alat perantara, sejauh yang saya ketahui – yang manfaatnya masih saya alami, walaupun sekarang… lebih dari empat puluh tahun telah berlalu.
Intinya adalah: saya melihat lebih jelas daripada sebelumnya, bahwa hal besar pertama dan terutama yang harus saya perhatikan setiap hari adalah membuat jiwa saya bahagia di dalam Tuhan. Hal pertama yang harus diperhatikan bukanlah mengenai berapa banyak saya bisa melayani Tuhan, bagaimana saya memuliakan Tuhan; melainkan bagaimana saya membawa jiwa saya ke dalam keadaan bahagia dan bagaimana batin saya dapat dipupuk. Karena saya bisa saja memaparkan kebenaran di hadapan orang yang belum bertobat, saya bisa saja memberi manfaat bagi orang percaya, saya bisa saja berusaha menolong orang yang sedih, saya bisa saja dengan berbagai cara membawa diri sebagai anak Allah di dalam dunia ini; namun, jika saya tidak menjadi bahagia di dalam Tuhan, dan tidaklah diperkaya dan dikuatkan di dalam batin setiap hari, maka semua ini tidaklah dialami dalam semangat yang tepat.
Sebelum ini kebiasaan saya adalah paling sedikit selama sepuluh tahun sebelumnya, memberi diri untuk berdoa setelah berpakaian di pagi hari. Sekarang saya melihat bahwa hal terpenting yang harus saya lakukan adalah memberi diri kepada pembacaan firman Allah dan merenungkannya, justru agar hati saya dihiburkan, didorong, diingatkan, ditegur, diajar, dan justru, tatkala merenungkan, hati saya dibawa ke dalam pengalaman kedekatan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, pagi-pagi sekali saya mulai merenungkan Perjanjian Baru dari awal.
Hal pertama yang saya lakukan, setelah memohon dengan singkat berkat Tuhan atas Firman-Nya yang berharga, adalah mulai merenungkan firman Allah; mencari setiap ayat, untuk mendapat berkat darinya; bukan demi pelayanan Firman untuk publik; bukan demi mengkhotbahkan apa yang telah saya renungkan; tetapi demi mendapat makanan bagi jiwa saya sendiri. Hasil yang telah saya peroleh hampir selalu, bahwa setelah beberapa menit, jiwa saya dibawa kepada pengakuan, atau pengucapan syukur, atau permohonan, atau syafaat, meski sepertinya saya tidak memberi diri untuk berdoa, melainkan merenungkan, namun hal tersebut hampir saat itu juga beralih menjadi doa.
Maka, sementara saya membuat pengakuan, atau menaikkan permohonan, atau syafaat, atau mengucap syukur, saya melanjutkan ke kata atau ayat berikutnya, mengubah semuanya, seiring saya meneruskan, ke dalam doa untuk diri saya sendiri atau orang lain, sebagaimana dipimpin oleh Firman itu. Namun, saya tetap terus menempatkan di hadapan saya, bahwa makanan bagi jiwa saya sendiri adalah tujuan dari perenungan saya. Akibatnya, selalu ada banyak pengakuan, pengucapan syukur, permohonan, atau syafaat yang berbaur dengan renungan saya, dan batin saya itu hampir selalu secara masuk akal tetap dipupuk dan diperkuat, dan menjelang makan pagi, dengan jarang ada perkecualian, saya berada dalam keadaan hati yang penuh damai atau bahagia. Dengan demikian Tuhan juga berkenan untuk berbicara kepada saya sehingga, segera setelahnya, saya menemukan makanan bagi orang percaya lain, meski bukan demi pelayanan Firman untuk publik saya memberi diri saya kepada perenungan, namun demi keuntungan batin saya sendiri.
Perbedaan antara kebiasaan saya yang dahulu dan yang sekarang adalah demikian. Dahulu, ketika saya bangun tidur, saya mulai berdoa sesegera mungkin, dan pada umumnya menggunakan seluruh waktu saya dalam doa hingga waktu sarapan tiba, atau hampir seluruh waktu. Pada semua peristiwa saya hampir selalu memulai dengan doa…. Namun apakah hasilnya? Saya sering menghabiskan seperempat jam, atau setengah jam, atau bahkan satu jam berlutut, sebelum menjadi sadar bahwa diri saya sendiri telah memperoleh penghiburan, dorongan, dan perendahan hati, dan seterusnya; dan sering kali setelah banyak menderita karena pikiran yang mengembara selama sepuluh menit pertama, atau seperempat jam, atau bahkan setengah jam, baru saya mulai sungguh-sungguh berdoa.
Sekarang saya hampir tidak pernah menderita karena cara ini. Karena hati saya dipupuk oleh kebenaran, dibawa ke dalam pengalaman bersekutu dengan Allah, saya berbicara dengan Allah Bapa saya, dan kepada Sahabat saya (walaupun saya menjijikkan, dan tidak layak untuk itu) mengenai hal-hal yang telah dihadirkan-Nya di hadapan saya dalam Firman-Nya yang mulia.
… Dan sekarang ini, sejak Allah telah mengajar saya tentang pokok ini, jelas bagi saya seperti apa pun, bahwa hal pertama yang harus dilakukan anak-anak Allah tiap-tiap pagi adalah memperoleh makanan untuk batinnya.
Seperti halnya manusia lahiriah tidak sehat untuk bekerja dalam waktu sepanjang apa pun, kecuali kita makan, dan inilah salah satu hal pertama yang kita lakukan di pagi hari, demikian pula dengan manusia batin. Kita harus makan untuk itu, seperti halnya tiap orang harus mengakuinya. Lalu, apakah makanan untuk manusia batin itu: bukan doa, melainkan firman Allah; dan sekali lagi bukan suatu pembacaan sederhana atas firman Allah, sehingga itu hanya melewati pikiran kita, sama seperti air mengalir melalui pipa, melainkan memikirkan baik-baik apa yang kita baca, merenungkannya, dan menerapkannya pada hati kita…
Saya berdiam khususnya pada posisi ini karena keuntungan rohani dan penyegaran yang sangat besar yang saya sadari telah saya peroleh darinya, dan dengan rasa sayang dan sungguh-sungguh, saya memohon rekan-rekan sesama orang percaya untuk merenungkan hal ini. Dengan anugerah Allah, saya menganggap mode pertolongan dan kekuatan ini telah saya miliki dari Allah untuk melalui berbagai ujian yang lebih berat dalam damai ketimbang yang pernah saya alami sebelumnya; dan sekarang, setelah lebih dari empat puluh tahun diuji dengan cara ini, saya dapat secara penuh, dalam takut akan Allah, memercayainya. Betapa berbedanya ketika jiwa disegarkan dan dibahagiakan pada pagi hari, dibandingkan dengan jiwa yang tidak diperlengkapi dengan persiapan rohani; pelayanan, ujian, dan pencobaan hari itu datang menyatu.[2]
Sandra Tan
Pemuda GRII Pusat
Endnotes:
[1] Cries of the Heart, Ravi Zacharias (Pionir Jaya)
[2] Desiring God, John Piper (Penerbit Momentum), 166-169