“Ingat-ingat kata mama. Ingat-ingat kata papa”, demikian lantunan lagu anak-anak yang sering dinyanyikan di tahun penulis masih kecil dulu. “Inga(t)!.. inga(t)!”, bunyi suara iklan yang bahkan penulis sendiri sudah lupa untuk iklan produk apa, yang teringat hanya suara slogannya saja. Mungkin saudara/i ingat? Dan tentu tidak ketinggalan di pergantian tahun, pemerintah akan mengingatkan kita untuk membayar pajak.
Mengingat sebagai bagian yang tidak boleh terlupakan di dalam keseharian kita. Baik ketika kita mencoba mengingat sesuatu atau diingatkan oleh orang lain ataupun teringat karena suatu kondisi yang mendorong, mendesak kita. Misalnya ketika atasan ataupun pasangan saudara datang dan melontarkan pertanyaan, “Ingatkah apa yang kamu janjikan akan kerjakan hari ini?” Dengan sedikit keringat dingin kita secepat mungkin akan memutar otak untuk menggali memori apa yang penting namun kita lewatkan secara tidak sadar.
Ada kalanya kita bisa terbuai lama dengan ingatan-ingatan di masa lalu. Bahkan sampai meratapi masa lalu yang indah namun kini sudah hilang. Ingatan masa lalu yang begitu menyenangkan, ingin diwujudkan kembali namun kenyataan memaksa kita untuk melihat keadaan pahit yang dialami diri saat ini jauh berbeda dengan angan-angan kita. Betul, saya sedang berbicara tentang pengalaman ketika kita dalam sakit penyakit. Kesehatan yang sudah hilang, kebugaran yang sudah tidak dapat kembali ke kondisi semula, penurunan kemampuan motoris, perubahan penampilan fisik yang perlahan-lahan semakin tidak mengenakkan dilihat mata, fakta-fakta demikian yang menghimpit hidup kita.
Mungkin kita berharap bahwa pemutaran ulang ingatan-ingatan indah tempo dulu akan meringankan masalah, memberikan semangat. Namun nyatanya memory replay yang tidak mungkin bisa terus diputar tayang itu, malah semakin memperjelas kontras dan keterpurukan hidup kita ketika replay tersebut berakhir. Keindahan, kebahagiaan masa lalu, namun kenyataan pahit masa kini. Pengalaman ini mungkin akan lebih amplified lagi ketika kita menghitung mundur waktu tersisa menjelang kematian. Ditambah ingatan akan kesuksesan masa lampau, cita-cita yang belum (dan tidak akan bisa lagi) diwujudkan, permintaan maaf yang belum diucapkan, semua memori kejadian dalam hidup kita diputar kembali dengan jelas. Salah satu karya sastra yang sangat baik dari novelis Kristen Rusia, menggambarkan dengan realistis akan kemelut dan penderitaan jiwa menghadapi sang kematian yang perlahan-lahan menyedot kehidupan dari seorang manusia adalah karya The Death of Ivan Ilych, oleh Leo Tolstoy.
Saudara-saudara bisa merefleksikan diri atau melihat saudara-saudara lain bagaimana respons yang diberikan ketika sakit penyakit melanda diri. Bagaimana respons kita sebagai orang Kristen? Bagaimana respons orang-orang yang percaya Tuhan pada zaman dahulu? Yang ingin disorot pada artikel ini adalah bagaimana respons Paulus.
Saudara-saudara tentu ingat bahwa rasul Paulus mati martir di Roma. Sebelum dieksekusi, ia dipenjara (juga di Roma) dan beberapa surat mengalir keluar dari tulisan tangannya. Salah satu surat yang dipercaya ditulis sebagai surat terakhir menjelang kematiannya adalah surat yang kedua kepada Timotius. Surat inilah yang akan menjadi sumber referensi kita dalam mencari tahu bagaimanakah respons Paulus.
Siapakah Timotius? Ia adalah seorang rekan kerja dan teman dekat Paulus, bahkan Paulus menyapanya sebagai anakku yang kekasih (2Tim. 1:2). Maka surat kepada Timotius adalah surat yang bersifat sangat personal. Apakah yang Paulus utarakan dalam suratnya yang kedua kepada Timotius? Apakah kata-kata penyesalan akan masa lampau yang keluar? Apakah ingatan-ingatan akan kemuliaan masa lampau yang fana bermunculan? Apakah berisi curhat yang meratapi kondisinya sekarang? Apakah kata-kata terakhir yang dituliskan Paulus?
Kita mungkin take it for granted ketika menjawab dalam hati “ya ngga mungkin begitu donkk, Pauluuss… pasti luluuss”. Kita terbiasa menilai dengan melihat kepada konklusi atau hasil akhir, berbagian dalam sorak kemenangan yang ada tanpa mengerti pergumulan dan proses yang dilalui. Mari kita terlebih dahulu melihat situasi apa yang dialami Paulus sebelumnya.
Surat ini dibuka dengan salam pembuka di mana Paulus mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang rasul dari Kristus Yesus (1:1). Bagi kita sekarang, mendengar kalimat seperti ini tentu kita merasakan ada otoritas dan dignitas. Namun di masa Paulus menulis surat ini, orang-orang Kristen ditangkap, dipenjarakan, dianiaya, dibunuh. Paulus juga menulis surat ini dari dalam penjara. Orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Kristus Yesus, yang percaya pada Injil Kristus Yesus, terlihat sekilas seperti loser di mata masyarakat Roma. Rasanya tidak membanggakan mengidentikkan diri dengan sesuatu yang dinilai remeh atau hina oleh masyarakat bukan?
Juga dalam menjadi pelayan Injil Tuhan apalagi sebagai rasul, kita bisa membayangkan idealisme yang ada bahwa Paulus akan didukung penuh oleh orang-orang di sekitarnya, pelayanannya akan dibarengi oleh orang-orang lain yang melayani bersama dengan sukacita dan satu visi. Namun kenyataannya tidak demikian. Semua yang berada di Asia Kecil berpaling dari Paulus termasuk Figelus dan Hermogenes (1:15). Demas karena telah mencintai dunia ini, juga meninggalkan Paulus (4:9). Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kesedihan Paulus ketika ia sungguh-sungguh melayani Tuhan dan memberitakan Injil yang begitu mulia yang adalah kabar baik bagi setiap umat manusia, tidak mendapat respons yang baik.
Akan tetapi tiada cacian, ratapan, penyesalan yang muncul dalam tulisan surat Paulus. Dia mengawali suratnya dengan salam kasih karunia, rahmat, dan damai sejahtera. Paulus dengan jelas dan lebih dari sekali mengutarakan bahwa dirinya ditetapkan sebagai pemberita, rasul, dan guru akan Injil Kristus dan untuk menderita karenanya (1:8, 11-12). Ia bahkan mendorong Timotius untuk ikut menderita bagi Injil.
Apakah yang menjadi sumber kekuatan Paulus? Paulus tahu kepada siapa ia percaya dan bahwa ia yakin (bukan hanya ingat pengajaran doktrinal atau percaya belaka) Yesus Kristus berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan Yesus kepada Paulus (1:12). Dari ayat tersebut, kita melihat tiga hal penting: pribadi Kristus yang dipercayai, berita Injil yang diberikan oleh Kristus, dan Kristus yang memelihara berita Injil. Ini bukanlah positive thinking yang direka-reka Paulus, namun sungguh-sungguh Allah sendiri yang menjadi sumber kekuatan Paulus. Allah yang memberikan Injil, Allah yang diberitakan oleh Injil dan Allah yang memelihara berita yang diberikan-Nya. Sungguh pasti jaminan Allah akan keaslian, kebenaran, kuasa dan kelangsungan Injil sehingga Paulus pun tidak gentar, tidak malu.
Maka dapat kita katakan bahwa pemberitaan Injil sejati akan Yesus Kristus yang telah bangkit dari antara orang mati (2:8) akan membawa pengenalan kepada Allah yang sejati. Juga berita Injil sejatilah yang akan bertahan melewati dan menantang pemikiran terus dari masa ke masa. Injil palsu seperti injil kesembuhan, kesuksesan ataupun pemberitaan injil timpang yang hanya mau terus membicarakan Allah baik, meski dapat menarik banyak massa tidak akan membawa pribadi yang memercayainya kepada pribadi Allah yang sejati dan akhirnya akan berlalu, dicap tidak laku lagi oleh zaman untuk diganti dengan variasi injil palsu atau incomplete lainnya yang lebih greget.
Implikasi kedua yang dapat ditarik adalah berita Injil sejati yang diingat dan dipercaya dengan sendirinya menuntut hidup yang berpadanan dengan Injil, karakter yang semakin mirip Tuhan. Injil tidak akan pernah berhenti hanya sebatas hafalan, jargon-jargon Kristen, renungan yang menarik, sebaliknya mentransformasikan hidup kita (1:13). Dan hidup yang kudus adalah syarat untuk bisa dipakai oleh Tuhan untuk pekerjaan yang mulia (2:21). Sungguh sangat disayangkan jikalau karunia Allah, talenta yang diberikan Tuhan kita kembangkan dan usahakan dengan ketat, namun kita kendor dan gampang menoleransi diri untuk kesucian hidup. Selain berdoa agar Tuhan memakai kita, sudahkah kita menjaga kesucian hidup sungguh-sungguh di hadapan-Nya?
Implikasi ketiga, berita Injil yang sejati dengan sendirinya mendorong kita untuk rindu memberitakan perkataan kebenaran ini, mengajarkannya pada orang lain (2:2; 2:15). Kita melihat contoh teladan yang nyata ini dalam hidup Paulus. Ketika Allah menjadi sumber kekuatan Paulus, ia hidup dan menderita bagi Kristus. Ia menjalankan setiap pengajaran sehat yang diucapkannya, maka ia pun menasihati dan menjadi contoh teladan bagi Timotius (4:10). Paulus dengan berani menasihati Timotius untuk juga mengingat akan pengajarannya dan dirinya (4:14). Pengajaran dan pengajar yang hidupnya sungguh-sungguh dipersembahkan kepada Allah adalah satu paket “pengajaran yang hidup” dan berkuasa.
Tidak berhenti di sana, Paulus juga mendorong Timotius untuk meneruskan pengajaran ini pada orang lain (2:2,15). Ada kerinduan yang alamiah agar berkat yang didapatkan juga mengalir menjadi berkat bagi orang lain. Ada kerinduan agar ditambahkan terus orang yang dapat mendengar, meyakini kebenaran Injil dan melakukannya dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Setiap kita yang melayani dalam mengajar, sebagai pemimpin kelompok kecil atau KTB, seberapa serius kita sendiri percaya, memberitakan, dan menjalankan setiap pengajaran yang sehat? Apakah mereka yang diajar ataupun melihat hidup kita semakin terdorong untuk lebih mau hidup suci, lebih mau menjadi berkat, lebih mau memberitakan Injil?
Implikasi terakhir, memberitakan Injil sejati, hidup beribadah dalam Kristus Yesus tidak terhindarkan dari derita aniaya (3:12). Namun biarlah kita bersabar menanggungnya demi umat pilihan Allah (2:10) dan menderita sebagai prajurit yang baik dari Kristus Yesus (2:3). Baik kita sadari maupun tidak, bagaimana hidup dan respons kita dalam penderitaan akan bersaksi atas iman kepercayaan kita. Penulis beberapa kali mendengar kesaksian bahwa situasi-situasi ketika dipermalukan, direndahkan orang lain sewaktu berjalan bersama Tuhan, justru Tuhan pakai untuk menarik orang-orang datang kepada-Nya. Biarlah kita tidak kehilangan, digeser fokus hidup kita akan Dia dalam situasi-situasi sulit sekalipun.
Tidak hanya memberikan dan memelihara berita Injil, Allah pun juga memelihara kita yang percaya kepada-Nya. Allah kita adalah setia dan patut kita percaya akan janji-janji-Nya. Penulis terkesan sekali dalam perjalanan hidup nabi Yeremia yang menerima janji penyertaan Tuhan ketika menubuatkan isi hati Tuhan. Bacalah Yeremia 1:17-19 untuk mengetahui isi janji Allah itu dan baca terus kitab Yeremia dan temukanlah keindahan pemenuhan janji Allah atas hidup Yeremia. Meski ia dipenjara oleh Pasyhur, mau dibunuh oleh seluruh rakyat pada zaman raja Yoyakim, dilawan oleh nabi palsu Hananya, dan seterusnya, Allah terus bertindak memenuhi janji-Nya. Allah adalah Allah yang setia dan patut kita percayai.
Kiranya setiap nasihat, teguran, dorongan dari Paulus kepada Timotius boleh berbicara secara pribadi dalam hidup kita masing-masing. Dengan demikian kita melaksanakan saat teduh pribadi kita dengan berkualitas. Soli Deo Gloria.
Carlos Wiyono Kurniawan
Pemuda GRII Singapura