Sabar itu Subur?

Sewaktu saya menyambut anak-anak sekolah minggu ketika mereka berdatangan, ada seorang anak yang masuk dengan muka cembetut. Kemudian saya tersenyum kepadanya dan berkata, “Mengapa cembetut, hari ini hari minggu, senyum donk karena hari ini mau beribadah kepada Tuhan.” Anak itu memaksa senyumnya dalam sedetik lalu menekuk mukanya kembali. Yah, memang sedang ‘mood’-nya cembetut yah, mau bagaimana lagi, dipaksa senyum juga konyol. Ketika memimpin pujian, menyanyikan ‘Senyum dan Bermuka Gembira’, anak itu bernyanyi dengan senyum yang terpaksa, saya agak merasa terganggu dengan pemandangan itu.

Terus terang saja, saya kira tidak ada orang yang senang melihat orang cembetut, tetapi kita mau orang lain memaklumi kita ketika kita sedang cembetut. Saya memperhatikan bahwa orang cenderung untuk mengerumuni orang-orang yang membuat mereka senang. Jarang sekali orang bisa tahan berlama-lamaan dengan orang yang cembetut datang ke persekutuan atau gereja. Atau mendengar orang mengeluh terus-menerus. Mungkin pada awalnya kita bisa simpati, tapi lama kelamaan jadi jenuh sekali untuk mendengarkan.

Saya adalah salah satu orang yang tidak suka melihat film yang akhirnya itu sedih atau tidak ‘happy ending’ istilahnya. Ataupun jikalau menonton film yang ‘happy ending’, saya suka sekali melewati atau tidak terlalu suka atau maunya dipercepat saja bagian yang sangat sulit dan tidak tahu bagaimana ending-nya. Yah, kalau berupa film kita tentunya akan menebak-nebak, “Ah, pasti jagoannya tidak mati lah, atau ah, pasti mereka jadi deh”. Film-film tertentu yang menggunakan novel untuk dijadikan skrip film hampir-hampir selalu mengubah akhir cerita menjadi ‘happy’, karena jika ‘sad ending’, film itu tidak laku.

Terus terang saja, kebanyakan dari kita tidak suka kesedihan, cembetut, mood jelek, kejadian tidak menyenangkan, atau hal-hal yang tidak enak. Maka, iklan-iklan zaman sekarang selalu menawarkan hidup yang bahagia di akhir jika memakai produk mereka karena kita mau ‘cerita’ kita berakhir dengan bahagia atau kita mau cerita kita selalu bahagia. Pada kenyataannya mungkin sekali yang terjadi justru sebaliknya. Kita senang dengan ‘fairy tales’ karena selalu ‘happy ending’ atau ‘live happily ever after’, hidup bahagia untuk selama-lamanya. Inipun sepertinya saya bawa di dalam tuntutan kepada Tuhan terhadap cerita hidup. Kita haus akan kebahagiaan hidup untuk selama-lamanya.

Seorang mahasiswa pernah bercerita kepada saya, terkadang dia agak merasa sebal dengan facebook karena orang-orang cenderung memperlihatkan betapa banyak teman yang mereka punya dengan mencantumkan segudang foto, atau juga penghargaan untuk menunjukkan sukses mereka, dan lain sebagainya. Ajang facebook tanpa disadari telah membuat orang lain merasa gagal atau tidak sesukses teman-teman yang lain karena misalnya, ternyata belum punya anak atau malah belum menikah, dan sebagainya. Terus terang, memang kita tidak suka di dalam posisi yang tidak bahagia apalagi dalam perbandingan dengan hidup orang lain.

Sharing di persekutuan juga tidak kebal terhadap hal ini. Bahkan ketika kita share dengan teman-teman seiman kita, rasa syukur orang lain kepada Tuhan bisa membuat kita merasa ditarik ke dalam sebuah kompetisi yang mana yang lebih diberkati oleh Tuhan. Ini tergantung pada apa yang dijunjung tinggi oleh komunitas di mana kita berada.

Karena pada dasarnya kita tidak berani untuk menerima cerita sedih atau keluhan orang lain. Pdt. Billy Kristanto di dalam khotbahnya pernah berkata, “Apalah artinya mengatakan: ‘Saya akan mendoakan Anda’, jika pada saat itu orang tersebut butuh untuk didengarkan? Bukankah kalimat ‘Saya mendoakan Anda’ seperti sebuah slogan yang sebenarnya mengatakan, ‘Saya tidak mau tahu tentang cerita Anda, tolong simpan pada diri Anda saja, tapi jangan khawatir, saya akan mendoakan’”. Kita harus berterus terang seperti T. S. Elliot dengan jujur mengatakan,

“……man is curious about everything but is not strong enough to bear the burden of the reality of the truth. Isn’t church supposed to be the place where people can accept each other? We preach about sharing our burden together. We want everybody to share the burden, but are we prepared for the burden? Isn’t why we have to mask ourselves with happiness although there is much of sorrow inside?”

Saya tidak suka melihat ketidaksenyuman anak sekolah minggu yang saya sambut dengan senyum, karena dunia ini sudah cukup letih masakan mau ditambahkan dengan orang-orang di gereja yang mukanya juga ditekuk semua? Dan saya lebih cenderung menjawab dengan dua respons, seperti teman-teman Ayub saya cenderung memberikan jawaban penuh doktrin seharusnya begini, seharusnya begitu. Jika kita berada di dalam masalah, selalu kuat di dalam Kristus! Jangan khawatir, kita akan menjadi kuat, saya akan memberikan ayat favorit kita, Roma 8:28. Itu semua untuk kebaikan kamu. Respons yang satu lagi adalah jangan kira kamu saja yang punya masalah, semua orang juga mempunyai kesusahan.

Tetapi di dalam perjalanan hidup kita, ada beberapa hal yang membuat kita sangat terpukul sehingga kita tidak mampu untuk bahkan mengangkat wajah melihat matahari, dan ketika berusaha keras untuk keluar tapi tidak bisa lalu mengutuk-ngutuk diri untuk segera keluar dari keadaan ini, namun malah makin terpuruk karena dikejar rasa bersalah karena harus kembali pada keadaan yang optimis. Dan kita pun bertanya kepada Tuhan, “Kenapa?” tetapi segera mengutuk diri kembali karena kita ingat perkataan Martin Luther, “Tidak ada ‘Kenapa’ di dalam diri orang Kristen.” Tetapi di dalam hati yang paling dalam, kita jelas-jelas berteriak “Kenapa?”

Sebuah artikel dari Carl Trueman membuat saya berpikir sesaat. Judul artikel ini adalah “What Miserable Christians Can Sing?” Apa yang bisa dinyanyikan oleh orang Kristen yang sedang berantakan? Trueman bertanya apakah tidak ada tempat untuk tangisan, kesedihan, dan bahkan kita sebagai orang Kristen menganggap hal-hal tersebut sebagai kegagalan yang luar biasa. Saya pun pernah menganggap demikian sampai suatu ketika saya sendiri tidak mampu keluar dari kesedihan yang mendalam sampai beberapa waktu lamanya. Saya merasa sangat gagal menjadi orang Kristen.

Nicholas Wolterstorff ketika kehilangan anaknya pun merasakan hal yang sama. Kesedihan akan kehilangan anaknya tidak hilang-hilang. Dia menangis, lalu komunitas di mana dia berada menuntut bahwa laki laki tidak boleh menangis, harus kuat di dalam Tuhan, Tuhan di pihak kita. Trueman mengatakan bahwa sebagian besar lagu pujian kita tidak punya tempat untuk menangis, semua tentang kuat di dalam Tuhan, ceria di dalam Tuhan, dan tidak ada kesedihan. Apakah Kekristenan punya tempat untuk kesedihan pribadi? Lalu ia bertanya, “Lalu mengapa ada mazmur ratapan?”

Banyak sekali dari kita berusaha semaksimal mungkin supaya hidup itu bebas dari kesedihan dan kesusahan karena pada dasarnya kita menginginkan bahagia, happy all the time. Tetapi masalahnya, kesusahan dan penderitaan adalah bagian dari dunia berdosa ini. Derajat kesusahan mungkin tidak sama, tetapi tidak mungkin tidak susah. Sejauh ini ada dua kecenderungan bagaimana orang menghadapi kesusahan: (i) tenggelam dalam kesedihan dan tidak bisa bangkit lagi, self-pity, dan negatif. Tidak ada gunanya berusaha karena fakta realitas terlalu pahit, percuma. Lalu bertanya, “Mengapa Allah tidak menghancurkan dunia yang berdosa lalu menciptakan kembali dunia yang sempurna? Jadi kan, kita tidak susah”.

(ii) ‘Sudah, jalani saja hidup ini’, inilah respons kedua. Kita tahu bahwa kita tidak mungkin hidup enak tanpa kesedihan atau kegalauan. Bagaimana hidup supaya tidak terganggu masalah? Kita buat diri tidak terpengaruh dari apapun juga dan selalu kuat. Kita tidak boleh menjadi lemah apapun yang terjadi karena kita harus selalu kuat di dalam Tuhan, Tuhan kita mampu. Happiness is the Lord, isn’t it? Kita harus bersukacita senantiasa, kata Paulus di surat Filipi. Karakter yang kedua inilah yang dahulu saya anggap sebagai spiritualitas Kekristenan, tetapi ternyata tidak sepenuhnya benar.

Nicholas Wolterstorff di dalam menghadapi kesedihan menelusuri theologi Yohanes Calvin mengenai kesedihan. Dan apa yang dia temukan membuat saya sangat terharu. Biarkanlah saya membagikan kepada Anda semua. Saya akan menelusuri tulisan Calvin di Institutes of Christian Religion, Book III, Chapter VIII.

Jika C.H. Spurgeon pernah mengatakan, “Jikalau Anak Allah di dunia ini harus menderita, apa hak kita untuk tidak menderita di dalam dunia ini?” Maka pendekatan Calvin jauh lebih positif, yaitu: setiap murid Kristus masing-masing membawa salib masing-masing. Dengan kata lain, jangan bandingkan hidup kita dengan orang lain karena setiap orang diberikan salib yang berbeda. Dan kepada setiap orang yang terpanggil dan layak bersekutu dengan Allah kembali harus bersiap-siap dijepit dari sana sini di dalam segala kondisi. Sebuah kalimat yang baik sekali dari Calvin yang sebetulnya memberikan sebuah petunjuk kunci bagaimana menghadapi realitas hidup yang tidak enak adalah dengan membentuk kesabaran, seperti Kristus menjadi teladan kesabaran, ketika Dia di dunia Dia sabar menjalankan seluruh kehendak Allah Bapa sampai naik ke atas salib.

Calvin memberikan beberapa keuntungan dari salib yang harus kita jalani walaupun salib itu tidak sama beratnya dalam diri seorang dengan yang lain. Pertama, kesusahan yang dialami (Calvin selalu menggunakan kata salib) tidak pernah lepas dari providensia Allah, salib membuat kita rendah hati untuk percaya kepada kekuatan Allah saja.

Kedua, karakter salib memberikan kita pengalaman berjalan bersama Allah. Roma 5:3-4 adalah salah satu argumen terbaik dalam Alkitab. Penderitaan membuat topeng kemunafikan kita lepas dan kemudan justru melepaskan kita dari cinta diri. Jadi salib membuat kita mengenali siapa diri kita yang sebenarnya. 

Ketiga, salib memberikan dan melatih kita untuk bersabar dan lebih menghargai anugerah Tuhan karena kebaikan Tuhan kadang tersembunyi dari diri kita. Maka supaya kekuatan itu nyata di dalam hidup kita, penderitaan memberikan wajah asli dari Kekristenan seseorang, seperti emas murni yang dibakar dalam perapian yang menyala-nyala.

Lalu keempat, salib sebagai penyembuh yang sangat ampuh, karena pada dasarnya semua dari kita, manusia berdosa, seperti kata Calvin, kita itu sakit. Dan untuk menyembuhkan itu setiap orang punya derajat kesakitan masing-masing. Dengan itulah Tuhan Allah memberikan salib yang berbeda-beda sebagai ‘obat’ yang ampuh.

Dan terakhir, salib adalah kebaikan seorang Bapa yang mendisplinkan anak sendiri. Justru karena kita betul-betul anak-anak Allah maka waktu kita menderita kita menyadari bahwa kita berada di dalam providensia Allah; dan apapun yang datang di dalam hidup kita, kita justru mengenali kebaikan dan kemurahan Tuhan di dalam pengalaman-pengalaman yang sangat tidak menyenangkan itu.

Dan kemudian di sisi yang lain, Calvin justru sangat anti dengan ala Stoic yang seperti batu, tidak berperasaan, bahkan mungkin sebetulnya tidak mau merasakan apa-apa. Justru Calvin sangat tidak menghargai orang-orang yang selalu kuat, seperti topan badai apapun yang melanda, tidak akan memberikan efek apa-apa, tidak akan membuat orang itu galau, sedih atau berantakan. Dan sangat menarik, menurut Nicholas Wolterstorff dalam pencariannya, Calvin walaupun sangat menghormati dan mengagumi Agustinitus mengomentari bahwa pandangan Agustinitus mengenai ratapan adalah bentuk dari Stoic (yang punya hati batu itu). Dan justru Tuhan Yesus Kristus sendiri mengutuk sikap hati batu (atau tipe spiritualitas ‘besi’). Calvin mempunyai argumen bahwa Tuhan Yesus sendiri menghargai rasa kesedihan dan itu terlihat dari pengalaman hidup Tuhan Yesus sendiri dan juga khotbah di bukit, “Berbahagialah mereka yang berdukacita…”. Calvin juga menambahkan, “Jika kita tidak mengakui adanya kesedihan atau merasa berantakan di dalam diri orang Kristen, bagaimana menjelaskan bagian di mana Tuhan Yesus Kristus merasakan kesedihan sampai mau mati rasanya?”

Sebetulnya yang paling menyebalkan dari keadaan yang sedih adalah saya tidak efektif sama sekali untuk mengerjakan segala sesuatu. Segala hal menjadi terhambat dan juga tidak semangat. Profesor James Houston mengejutkan saya di dalam menganalisis zaman ini:

“The sickness of our culture today lies in our shallow, flippant and commercial way of dealing with the central question of humanity. ‘Our stainless steel civilization’, as it has been called, is sad and empty. The individual is doomed to live a life of quiet desperation…. Too many people today have to ‘sell things’ to have a job. They don’t believe in what they sell, but outward appearances have to be kept up. Busyness is the modern definition of blessedness.”

Lalu apa bedanya spiritualitas Kristen dan spiritualitas Stoic? Yang pasti Calvin mengatakan, “Waktu kita menderita, kita tidak berpura-pura bahwa kita tidak menderita. Bahkan Rasul Paulus pun mengakui dia menderita. Tidak ada yang perlu disembunyikan (atau jadi besi) ketika kepahitan itu datang. Kepahitan memang rasanya pahit. Kesedihan memang rasanya sedih”.

Calvin tidak anti sama sekali dengan kesedihan yang mendalam. Bukan hanya kesedihan eksternal (seperti menangisi jiwa atau menangisi dosa orang lain, dan lain sebagainya) tetapi kesedihan internal (kepahitan hidup pribadi, kekecewaan, dan kesedihan di dalam hidup pribadi). Tapi Calvin melihat kepahitan hidup pribadi sebagai fakta untuk membawa hasil yang positif. Fakta kesusahan hidup karena dosa bukan karena Allah sengaja membiarkan, bukan karena Allah tidak mau memberikan yang baik, tetapi justru karena keadaan kita Allah tahu bagaimana melatih kita untuk kebaikan kita.

Calvin mengatakan bahwa kita tidak dipanggil untuk membuang perasaan yang alami ketika menghadapi penderitaan tetapi untuk melatih kesabaran. Namun kemudian kita tidak bisa menyamakan antara kesabaran dan tidak punya perasaan sama sekali. Apa bedanya? Orang-orang kudus dalam Alkitab dipuji karena walaupun mereka dengan nyata mengalami kesakitan, kepedihan, kepahitan, dan betul-betul sangat terpukul tetapi dalam saat yang bersamaan ada kesukacitaan dari spiritualitas Kristen. Mereka akan selalu ditarik kepada dua kutub ini: perasaan natural seorang manusia berdosa (the Fall) terhadap kesusahan dan juga sukacita surgawi di satu sisi (Redemption).

Demikianlah kita tidak menjadi orang Kristen yang negatif, murung, tidak bisa melihat sinar matahari, mendung selalu, dalam arti, ‘ya sudah, jalani hidup ini’. Allah kita tahu yang terbaik buat kita. Toh Dia Allah, Dia berbuat segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, kita tidak bisa apa-apa lagi, dunia ini memang gelap. Kita cuma bisa menerima. Namun sebetulnya sikap ini adalah sikap yang justru belum menerima apa adanya. Atau mungkin, kita belum bisa menerima bahwa Allah itu memang baik bahkan dalam penderitaan yang kita alami.

Calvin memberikan perbedaan antara kesabaran orang Kristen dan kesabaran secara filosofis manusia. Filosofi mengatakan bahwa manusia harus bersabar karena memang perlu bersabar. Tetapi tidak pernah tahu mengapa harus bersabar, hanya suatu keperluan yang besar bahwa manusia harus sabar. Kecenderungan yang tidak baik adalah bisa menjadi manusia yang tidak melihat kepentingan mengapa harus bersabar. Kekristenan memberikan arti yang berbeda pada kesabaran karena ada referensinya. Berikut ini komentari Calvin yang sangat mengharukan,

“The man who measures the love of God from the state of things as presently existing, judges by a standard which must lead to a false conclusion; because the Lord disciplines those whom he loves (Hebrew 12:6). But as God is never so severe towards his own people as not to furnish them with actual experimental evidence of his grace, it stands always true that life is profitless to men, if they do not feel, while they live, that He is their Father.”

Kemudian Calvin menutup bagian ini dengan sebuah penjelasan yang menarik. Calvin berkata (diterjemahkan secara bebas), “Sangat menyenangkan sekali buat kita ketika kita mengenali, karena untuk keselamatan kita dan kebaikan kita, Allah Bapa kita yang sangat pemurah justru meyakinkan kita akan penebusan kita di dalam kesusahan yang Dia berikan melalui salib.” Wolterstorff di dalam pergumulannya mengatakan, “Allah bukan seorang Pribadi yang tidak bisa berbuat apa-apa tentang kesusahan hidup, tetapi kita beriman kepada Allah yang justru secara konstan berperang dengan apapun yang tidak sejalan dengan kehendak-Nya. Dan hal ini butuh pengalaman berjalan bersama Allah Bapa kita untuk mengerti.”

Soli Deo Gloria

 

Yenty Rahardjo Apandi

Pemudi GRII Singapura

 

 

 

Referensi:

1. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Buku I, Bab VIII, hlm. 702-712.

2. Billy Kristanto, khotbah di persekutuan doa GRII Singapura 2008.

3. Nicholas Wolterstorff, If God is Good and Sovereign, Why Lament? Calvin Theological Journal, 36/1-2(2001), hlm. 42-52.

4. Nicholas Wolterstorff, The Silence of the God Who Speaks, Yale University, New Haven. Connecticut, hlm. 13-32.

5. Carl Trueman, What Miserable Christian Can Sing, in The Wages of Spin: Critical Writings on Historical and Contemporary Evangelism (Christian Focus: 2004), hlm. 158-160.