Periode Abad Pertengahan (Middle Ages) atau yang juga dikenal sebagai Medieval Period merupakan periode dalam sejarah Gereja yang sepertinya terdengar asing di telinga kita. Kita sepertinya lebih familiar dengan periode-periode sejarah Gereja lainnya, sebut saja periode Gereja Kuno (Ancient Church) dan Reformasi (Reformation). Dari segi tokoh-tokoh Gereja yang kita ketahui, kita juga sepertinya lebih mengenal tokoh-tokoh yang dominan pada periode Gereja Kuno (para rasul, Athanasius, Agustinus) ataupun periode Reformasi (Martin Luther, John Calvin, Ulrich Zwingli, John Knox) daripada periode Abad Pertengahan.
Padahal, ada satu tokoh yang sangat dominan pada masa Gereja Abad Pertengahan dan yang sering kita dengar namanya sampai sekarang, yaitu Paus. Selain itu, sepertinya kita juga lebih akrab dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama periode Gereja Kuno (perjalanan misionaris Paulus, penderitaan para martir di Roma) ataupun Reformasi (Luther memakukan 95 tesisnya di depan gereja Wittenberg, Alkitab ‘King James Version’ pertama kali diterbitkan) daripada peristiwa-peristiwa yang terjadi selama Abad Pertengahan. Namun, jika kita tidak mengerti tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi selama periode Abad Pertengahan, khususnya sejarah kekuasaan Paus yang terus meningkat selama periode ini, kita tidak dapat melihat kesinambungan antara peristiwa yang terjadi pada masa Gereja Kuno dan Reformasi.
Artikel ini akan berkonsentrasi pada sejarah otoritas Paus yang menguat secara drastis selama periode ini. Secara lebih spesifik, artikel ini ingin membawa pembaca untuk melihat bahwa perbedaan yang sangat mendasar antara gereja Katolik dan gereja Protestan akan melahirkan perbedaan-perbedaan ekstrem lainnya di antara kedua belah pihak di kemudian hari. Pertama-tama, kita akan melihat gambaran umum dari Abad Pertengahan ini. Setelah itu, dasar untuk jabatan Paus menurut gereja Katolik akan sedikit dibahas sebelum kita melihat bagaimana perkembangan kekuatan dan kekuasaan Paus selama Abad Pertengahan ini. Kemudian, pandangan gereja Protestan tentang dasar dari jabatan Paus akan disajikan, berikut juga dengan beberapa pelajaran dan aplikasi yang bisa dipetik dari peristiwa ini.
Gambaran Umum Abad Pertengahan (600-1500)
Periode yang paling panjang dalam sejarah Gereja sampai sekarang ini (≈900 tahun), biasanya dibagi secara lebih jauh oleh para sejarawan menjadi tiga zaman, yaitu Benedictine era (600-1000), Scholastic era (1000-1300) dan Nominalist era (1300-1500). Benedictine era – yang berlangsung selama kurang lebih 400 tahun – disebut demikian oleh para sejarawan karena highlight dari masa ini adalah lahirnya kehidupan biara yang pada umumnya menggunakan “The Rule of Benedict” sebagai peraturan yang berlaku dalam biara.
Benedict (480-543) adalah pendiri biara pertama yang terletak di Monte Cassino (529-sekarang). Biara adalah tempat di mana orang-orang yang kesal dengan kebiadaban masyarakat saat itu berkumpul. Mereka berpendapat bahwa masyarakat Roma saat itu sudah rusak sekali, sehingga adalah hal yang tidak mungkin bagi orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh pada saat itu untuk mengaplikasikan ajaran Alkitab di tengah-tengah kondisi masyarakat yang seperti itu. Oleh sebab itu, mereka berpikir, “Kita membutuhkan lingkungan yang ideal!” Dan karena itu mereka berbondong-bondong meninggalkan kehidupan perkotaan dan memilih untuk hidup dalam biara-biara tertentu. Tiga sumpah biarawan yang terkenal adalah mereka harus: (1) Hidup miskin (Poverty), (2) Hidup Selibat (Chastity), dan (3) Hidup dengan kepatuhan penuh terhadap peraturan biara yang berlaku (Obedience).
Scholastic era – seperti namanya yang berbau-bau school atau scholar – diwarnai dengan bangkitnya peran rasio (reason) dan filsafat (philosophy), khususnya filsafat Aristoteles, dalam mempelajari kebenaran Alkitab dan kehidupan bergereja. Penemuan kembali tulisan-tulisan Aristoteles pada masa ini membangkitkan gairah para theolog zaman itu untuk menyintesis (atau menggabungkan) filsafat Artistoteles dengan kebenaran Alkitab. Dengan kata lain, mereka ingin ‘membaca’ Alkitab melalui ‘kacamata’ Aristoteles. Tokoh yang sangat penting dalam usaha ini adalah Thomas Aquinas. Selain itu, lahirnya universitas (University) pada masa ini mengokohkan bahwa periode ini layak untuk disebut sebagai ‘Scholastic era’.
Nominalist era – diberi nama demikian karena pada awal masa ini konsep Nominalism, yang akan memengaruhi baik filsafat maupun theologi zaman ini, mulai muncul ke permukaan. Di arena filsafat, konsep ini membangkitkan cara pandang skeptisisme (Skepticism) yang kemudian melemahkan pengaruh dan otoritas filsafat untuk menjelaskan segala sesuatu. Yang menarik, skeptisisme terhadap filsafat ini pada akhirnya menggelitik dan membantu orang-orang Kristen zaman itu untuk mempertanyakan otoritas filsafat Aristoteles yang digunakan untuk meneropong ajaran-ajaran kekristenan, sehingga pengaruhnya semakin berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini yang di kemudian hari membantu para Reformator untuk menekankan otoritas Alkitab saja dalam ajaran-ajaran kekristenan (Sola Scriptura).
Namun, dalam arena theologi, konsep ‘Nominalism’ ini membawa dampak yang kurang baik. Theologi yang mereka pegang dan ajarkan pada masa ini dapat dirangkum dalam kalimat, ‘Facientibus quod in se es, Deus non denegat gratiam’ atau ‘Kepada orang-orang yang berusaha dengan sebaik-baiknya, Tuhan tidak akan menahan kasih karunia’. Artinya, mereka percaya bahwa dengan berusaha untuk melakukan kebaikan sebaik-baiknya selama mereka hidup, mereka dapat memperoleh anugerah keselamatan dari Allah. Di sisi lain, aroma-aroma Reformasi sudah mulai tercium pada era terkahir dari Abad Pertengahan ini, sebut saja teriakan-teriakan dan ajaran-ajaran John Wycliffe yang mengkritik ajaran dan pemerintahan kepausan, serta tulisan-tulisan Jan Hus setelah ia terpengaruh oleh ajaran-ajaran John Wycliffe. Selain itu, semangat untuk menyediakan akses bagi masyarakat awam untuk dapat mempelajari Alkitab secara pribadi tercermin dalam usaha John Wycliffe dan teman-temannya yang menerjemahkan Alkitab bahasa Latin (Vulgate) ke dalam bahasa Inggris. Aroma Reformasi itu dapat mulai dirasakan karena semangat ‘ad fontes’ atau kembali ke mata air atau sumber asli dari suatu ajaran sedang merajalela di segala bidang kehidupan.
Dasar Kemunculan Jabatan Paus
Sebelum kita melihat perkembangan kekuasaan Paus dalam setiap era Abad Pertengahan, mari kita melihat sejenak dasar kemunculan jabatan Paus untuk Uskup Gereja Katolik di Roma. Dasar yang melahirkan jabatan Paus adalah tafsiran gereja Katolik terhadap Matius 16:13-20 (terutama 17-19). Sedangkan mengapa jabatan itu diperuntukkan bagi Uskup yang memimpin Gereja Katolik di Roma, dapat dijelaskan melalui konsep Gereja Katolik mengenai barang pusaka (relic).
Cerita dari Matius 16:13-20 bertempat di daerah Kaisarea, Filipi. Setibanya di sana, Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya, “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” (ay. 13). Lalu, para murid menjawab “Ada yang mengatakan” bahwa Ia adalah Yohanes Pembaptis, Elia, Yeremia, ataupun salah satu dari para nabi terdahulu (ay. 14). Kemudian, pertanyaan Yesus menjadi lebih pribadi, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (ay. 15). Para murid terdiam sejenak setelah mendapatkan pertanyaan seperti ini dari Yesus dan ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan tersebut karena mungkin saja mereka sendiri tidak tahu siapakah Yesus sebenarnya.
Namun, di tengah kecanggungan itu, Petrus, rasul yang paling blak-blakan itu menjawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (ay. 16). Maka, setelah mendengar jawaban Petrus itu, Yesus mengatakan, “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (ay. 17-19). Gereja Katolik menafsirkan ‘di atas batu karang ini’ sebagai ‘di atas Petrus’ karena memang secara literal nama Petrus berarti batu karang. Jadi, implikasi dari penafsiran seperti itu adalah, Yesus menjadikan Petrus sebagai fondasi Gereja-Nya dan ia juga diberikan kunci Kerajaan Sorga. Petrus seperti sedang didaulat untuk menjadi pemimpin dari para rasul. Ia seakan-akan adalah ‘Bapa’, ‘Papa’, atau ‘Paus’ bagi pengikut Kristus.
Dari penjelasan singkat di atas, kita dapat mengerti mengapa gereja Katolik mengklaim Paus, yang dianggap sebagai penerus Rasul Petrus, memegang kekuasaan tertinggi dalam gereja. Tapi pertanyaan berikutnya adalah, kenapa harus Uskup dari gereja Katolik di Roma? Gereja Katolik pada masa Gereja Kuno (Ancient Church) (dan sampai sekarang) sangat menghargai ‘barang-barang pusaka’ (relic), seperti bagian-bagian tubuh martir atau orang-orang suci yang diawetkan, baju atau potongan baju peninggalan para martir, kayu salib atau potongan kayu salib para martir, dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa barang-barang itu dapat memberikan mereka berkat dan kasih karunia. Di sisi lain, berdasarkan sejarah, Rasul Petrus mati syahid dan dikuburkan di Roma. Ini membuat Roma begitu spesial karena mereka memiliki ‘relic’ yang adalah sang pemimpin para rasul itu sendiri. Sang ‘batu karang’ atau ‘fondasi’ gereja, secara literal, seolah-olah menjadi ‘fondasi’ tanah Roma. Karena itu, setiap pemimpin gereja Katolik di Roma dianggap sebagai penerus sah dari kepemimpinan Rasul Petrus, yang mereka daulatkan sebagai Paus yang pertama.
Benedictine Era (600-1000) – Menguatnya Otoritas Paus
Walaupun kepausan sudah ada sejak abad pertama, otoritas dan kekuasaan Paus baru menguat secara drastis selama Abad Pertengahan ini. Setting dari masa awal Abad Pertengahan ini adalah Kerajaan Romawi baru saja runtuh (pada tahun 476) sehingga terjadi kekosongan dalam kursi kekuasaan tertinggi. Di masa-masa hilangnya kaisar Romawi, muncul dua dokumen yang menguatkan otoritas kepausan, yaitu ‘The Donation of Constantine’ dan ‘The Isidorean Decretals’.
Natur dari kedua dokumen itu sama karena keduanya, secara hukum, memberikan gereja kekuasaan duniawi dan gerejawi yang cukup besar. Sebagai contoh, kita akan melihat dokumen ‘The Donation of Constantine’ secara lebih detail. Nama Constantine pada dokumen ‘The Donation of Constantine’ merujuk pada Constantine the Great, kaisar Kerajaan Romawi yang memerintah sejak tahun 306 sampai 337 dan dikenal sebagai kaisar Romawi yang pertama kali bertobat menjadi seorang Kristen. Dokumen yang muncul pada abad ke-8 ini menceritakan tentang pertobatan, baptisan, dan permohonan sang kaisar kepada Paus Sylvester I (yang menjadi Paus dari 314-335) agar menyembuhkan penyakit kustanya. Menurut dokumen ini, sebagai balasan dari kesembuhannya, sang kaisar memberikan kepada Paus Sylvester I kota Vatikan, daerah-daerah kekuasaan kerajaan Romawi di sebelah barat, lambang keanggotaan Kerajaan Romawi dan kepemimpinan atas gereja-gereja lainnya (yang mengimplikasikan supremasi dari Uskup Gereja Roma).
Paus yang paling berpengaruh dalam era ini adalah Gregory the Great (540-604). Selama masa pemerintahannya, biarawan pertama yang menjadi Paus ini memiliki kontribusi yang cukup banyak. Di antaranya adalah dia mengklaim jabatan Paus sebagai “Uskup seluruh dunia” dan “Pelayan di atas segala pelayan Allah”. Selain itu, banyak dari pemikiran-pemikirannya yang menjadi dasar bagi doktrin Katolik pada Abad Pertengahan. Dari sisi theologis, sumbangsihnya terhadap gereja Katolik juga tidak kalah banyak. Mengenai doktrin keselamatan, ia mengatakan bahwa baptisan (baptism) itu diperlukan untuk menghapus dosa-dosa yang kita lakukan sebelum bertobat dan sakramen pengakuan dosa (penance) diperlukan untuk menghapus dosa-dosa yang dilakukan setelah pertobatan. Artinya, ia dan, sebagai implikasinya, gereja Katolik, menilai sakramen adalah mutlak diperlukan untuk keselamatan kita. Kita harus menerima baptisan dan melakukan sakramen pengakuan dosa untuk memperoleh keselamatan. Selain itu, ia juga menyetarakan otoritas ‘tradisi’ dengan otoritas Alkitab, sangat menekankan konsep kepenerusan rasul dan konsep ‘tidak ada keselamatan di luar gereja’ (secara literal) dan ia juga memaksa pendeta-pendeta untuk hidup selibat.
Scholastic Era (1000-1300) – Puncak dari Otoritas Paus
Kekuasaan Paus yang berkembang dengan sangat drastis selama periode pertama dari Abad Pertengahan mencapai puncaknya pada masa kepausan Paus Innocent III (1160-1216) di bagian kedua dari Abad Pertengahan ini. Ia sangat memegang teguh konsep Paus sebagai pemegang otoritas tertinggi, sehingga berpendapat bahwa sebagai penerus dari Rasul Petrus, Paus seharusnya memerintah seluruh dunia.
Dalam masa kepemimpinannya, Paus bahkan lebih berkuasa daripada pemimpin-pemimpin negara sekitar! Salah satu buktinya adalah dalam perselisihannya dengan raja Inggris yang memerintah pada saat itu, John. Mereka berdua bertentangan tentang siapa yang akan dipilih sebagai Uskup Agung Canterbury. Pertentangan semakin memanas dan sebagai akibatnya Paus Innocent III mengucilkan John dari gereja Katolik. Tentu saja King John tidak tinggal diam. Dalam aksi pembalasannya, King John mengusir semua uskup dari Inggris.
Pembalasan King John ini ditanggapi sang Paus dengan mengeluarkan ancaman ‘Interdict’ dan perang salib (Crusade) terhadap dia. Interdict adalah satu keputusan Paus yang menyatakan bahwa tidak ada jabatan pendeta yang sah di dalam negara yang terkena keputusan ini sampai pemimpin negara bersangkutan yang dicap ‘sesat’ (atau melawan Paus) ‘bertobat’ (atau tunduk kepada perintah Paus). Implikasinya adalah jika satu negara dikenakan titah ini oleh Paus, tidak ada keselamatan untuk seluruh masyarakat yang berada di dalam negara itu sampai sang pemimpin negara yang bersangkutan ‘bertobat’. Karena takut dengan ancaman Paus Innocent III ini, akhirnya King John ‘bertobat’ dan sebagai bentuk penyesalannya dia menyerahkan tanah miliknya kepada Paus dan membeli kembali tanah tersebut dari Paus dengan membayar biaya tahunan (jadi Paus memperoleh tanah + biaya tahunan).
Bukti lain dari kekuasaan Paus yang berada di puncaknya pada masa ini tercermin dalam ‘Pengumuman Paus’ (Bull) dari Paus Nicholas III tentang hukuman bagi semua aliran ‘sesat’ atau setiap orang yang menentang kepausan. Dalam dokumen itu dikatakan bahwa setiap orang yang dicap ‘sesat’ oleh kepausan bukan hanya akan dikucilkan dan dikutuk, tetapi juga akan dihancurkan. Selain itu, jika setelah ditangkap ada yang ingin ‘bertobat’, walaupun akan diampuni setelah melakukan sakramen pengakuan dosa yang diminta, mereka akan dipenjara seumur hidup.
Nominalist Era (1300-1500) – Melemahnya Otoritas Kepausan
Awal dari era ini masih ditandai oleh kekuasaan Paus yang begitu besar, bahkan pada tahun 1302, ‘Pengumuman Paus’ (Bull) berjudul Unam Sanctam (The One Holy, i.e. Church) yang dikeluarkan oleh Paus Boniface VIII memuat pernyataan tentang kekuasaan Paus yang bahkan melebihi pemimpin-pemimpin duniawi. Dalam dokumen itu, tertulis hal sebagai berikut, “Iman yang benar mendorong kami untuk percaya bahwa hanya ada satu gereja Katolik apostolik yang kudus, dan hal ini kami sungguh percaya dan akui dengan terus terang. Dan di luar dia tidak ada keselamatan atau pengampunan dosa… Di dalam gereja ini ada “satu Tuhan, satu iman, satu baptisan” [Ef. 4:5]… Oleh karena itu ada satu tubuh bagi satu-satunya gereja, dan satu kepala, bukan dua, seakan-akan gereja adalah seekor monster. Dan kepala ini adalah Kristus dan wakil-wakil-Nya, Petrus dan penerusnya…
Oleh kata-kata dari Injil kita diajarkan bahwa dua pedang, yaitu, otoritas spiritual dan yang duniawi berada dalam kekuasaan gereja [Lukas 22:38]… yang disebutkan pertama adalah untuk digunakan oleh gereja, dan yang disebutkan berikutnya adalah untuk gereja; satu oleh tangan pendeta, yang lainnya oleh tangan raja-raja dan para ksatria, namun berdasarkan perintah dan izin dari pendeta. Selain itu, adalah hal yang perlu bagi satu pedang untuk berada di bawah pedang yang lainnya, dan otoritas duniawi berada di bawah otoritas spiritual… Sekarang, otoritas ini, walaupun diberikan kepada manusia dan dijalankan melalui manusia, bukanlah manusiawi, melainkan bersifat ketuhanan. Karena itu diberikan oleh firman Tuhan kepada Petrus, dan landasan itu diteguhkan kepada dia dan para penerusnya, di dalam Kristus sendiri, yang Ia sudah akui… Kami, oleh karena itu menyatakan, mengatakan, dan menegaskan bahwa kepatuhan setiap jemaat kepada Uskup Roma (Paus) adalah sungguh dibutuhkan untuk memperoleh keselamatan.”
Namun, setelah itu, otoritas Paus mulai melemah. Hal ini diawali oleh peristiwa Avignon Papacy yang berlangsung dari tahun 1309-1377. Pada awalnya, pusat pemerintahan Paus dipindahkan dari Roma, Italia, ke Avignon, Perancis. Setelah itu, karena kepentingan politik beberapa negara, terjadi peristiwa-peristiwa yang membuat situasi menjadi rumit. Bahkan, pada tahun 1409, gereja memiliki tiga Paus! Masalah ini baru dapat diselesaikan secara total pada tahun 1455 (pusat kepausan kembali ke Roma dan hanya ada satu Paus). Tidak mengherankan jika orang-orang awam menjadi kurang hormat kepada Paus setelah konflik ini terjadi. Kalau begini, apa bedanya Paus dengan pemimpin-pemimpin duniawi lainnya?
Kenyataan ini diperparah dengan kualitas hidup spiritual Paus yang semakin menurun. Contoh yang paling parah adalah Paus Alexander VI yang memerintah dari tahun 1492-1503. Ia berasal dari sebuah keluarga yang kaya raya dan menggunakan kekayaannya itu untuk membeli jabatan Paus. Yang lebih parah lagi, dia juga memiliki banyak anak yang dilahirkan oleh gundiknya yang juga banyak. Masalah-masalah yang melemahkan otoritas kepausan tidak berhenti sampai di situ saja. Pada masa ini, Lorenzo Valla, yang memegang jabatan sebagai sekretaris dari Paus membuktikan bahwa dokumen ‘The Donation of Constantine’ adalah dokumen palsu (forged document). Selain itu, dokumen ‘The Isidorean Decretals’ juga dinyatakan palsu oleh Kardinal Nicholas of Cusa dan Juan de Torquemada. Hal ini menarik karena yang membuktikan dan membeberkan kepalsuan dari dokumen-dokumen yang menguatkan otoritas Paus itu adalah orang-orang dari kalangan Katolik Roma sendiri.
Hal lain yang juga berkontribusi adalah api-api Reformasi yang mulai dikobarkan. Hal ini terjadi karena semangat ‘ad fontes’ mendorong orang-orang seperti John Wycliffe dan Jan Hus kembali mempelajari Alkitab (yang merupakan sumber mata air satu-satunya dari ajaran Kristen) dan melakukan perlawanan terhadap ajaran-ajaran Paus yang bertentangan dengan ajaran Alkitab. John Wycliffe sendiri diakui sebagai ‘The Morning Star of Protestant Reformation’ atau ‘Bintang Fajar Reformasi’.
Matius 16:13-20 dalam Pandangan Protestan
Dalam pandangan Protestan, perkataan Yesus ‘di atas batu karang ini’ berarti ‘di atas pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias’. Ini berarti di atas pengakuan ‘Bahwa Yesus adalah Mesias’-lah Gereja Tuhan didirikan. Alam maut tidak dapat menguasai Gereja karena ia dilindungi oleh Yesus Kristus Sang Juruselamat yang sudah mengalahkan maut. Selain itu, pengakuan (atau iman) seseorang terhadap karya keselamatan yang dikerjakan oleh Yesuslah yang akan menentukan pintu sorga akan terbuka atau tertutup baginya.
Pandangan ini sepertinya didukung oleh sikap Petrus sendiri dalam surat 1 dan 2 Petrus. Ia membuka surat 1 Petrus dengan pengakuan sebagai berikut, “Dari Petrus, rasul Yesus Kristus…” bukan sebagai ‘pemimpin rasul Yesus Kristus’. Bahkan, lebih jauh lagi, ia menyebut dirinya dalam pembukaan surat 2 Petrus sebagai, “Dari Simon Petrus, hamba dan rasul Yesus Kristus…” Di sisi lain, dalam surat 1 Petrus pasal 2, ia mengatakan bahwa ‘batu yang hidup itu’ adalah Yesus sendiri (ay. 4) dan setiap orang Kristen juga merupakan ‘batu hidup’ (ay. 5). Kemudian, Petrus juga memberikan nasihat kepada para pembaca suratnya agar, “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik. Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh.” Tunduk kepada kuasa raja, bukan rebut kuasa raja adalah nasihat Rasul Petrus (tentunya selama mereka tidak bertentangan dengan ajaran Alkitab). Selain itu, bagaimana caranya untuk membungkam orang-orang picik? Petrus menasihatkan dengan cara berbuat baik, bukan dengan penindasan, ancaman, ataupun kekerasan.
Aplikasi
Seperti yang sudah kita lihat, perbedaan yang mendasar (tafsiran Matius 16:17-19) antara Katolik dan Protestan menghasilkan perbedaan yang sangat dalam antara kedua belah pihak seiring dengan berjalannya waktu. Sebagai contoh, akibat perkembangan dari perbedaan tersebut, Katolik memercayai bahwa otoritas perkataan Paus dalam fungsi ‘ex cathedra’ (from the chair)-nya adalah setara dengan otoritas Alkitab, sedangkan dalam konsep Protestan, yang mempunyai otoritas sempurna/mutlak (Infallible) hanyalah firman Tuhan yang Ia berikan melalui Alkitab. Bayangkan saja, berapa banyak perselisihan yang terjadi, darah yang tumpah, tubuh yang disiksa dan dibakar, jemaat yang tertipu sebagai hasil dari cara pandang Katolik terhadap Matius 16:17-19 ini? Mari kita berdoa agar Tuhan membukakan mata dan pengertian kita seperti Ia juga membukakan mata dan pengertian kedua murid yang sedang berjalan menuju ke Emaus (Luk. 24:13-35), supaya kita dapat mengerti firman Tuhan dengan benar sehingga hati kita berkobar-kobar untuk memuliakan nama-Nya.
Selain itu, ada beberapa aplikasi lainnya yang ingin dibagikan oleh artikel ini. Pertama, jabatan atau kekuasaan, khususnya gerejawi, harus digunakan dengan sangat hati-hati. Abraham Lincoln mengatakan, “Hampir semua orang dapat bertahan dalam kesengsaraan, namun jika engkau ingin menguji karakter seseorang, berikan dia kekuasaan.” Jangan kita menyalahgunakan pelayanan dan jabatan yang dipercayakan untuk pencitraan, menunjukkan kebolehan diri dan agenda-agenda pribadi lainnya. Sebaliknya, jika kita dipercaya Tuhan untuk memegang jabatan tertentu dalam tubuh Kristus ini, berdoalah baik-baik kepada sang empunya tubuh agar kita dapat menggunakan kuasa kita sejalan dengan kehendak-Nya.
Keselamatan itu bukan dari gereja. Keselamatan itu semata-mata ‘hadiah’ dari Allah (Rm. 6:23). Keanggotaan kita pada suatu gereja tertentu, sebenar apa pun ajarannya, tidak menjamin keselamatan kita. Implikasi yang jauh dari konsep ini adalah, walaupun keluarga kita sudah menjadi Kristen selama tujuh turunan, hal itu tetap saja tidak menjamin keselamatan kita. Hanya pertobatan pribadi kita yang sungguh-sungguh di hadapan Allah yang menandakan kita mengerti dan memperoleh ‘hadiah’ itu atau tidak. Hal yang perlu kita ingat adalah keselamatan itu tidak bersifat kolektif (bersama-sama), melainkan bersifat individual (sendiri-sendiri).
Jika kita melihat situasi gereja di Abad Pertengahan, di mana Paus memiliki otoritas yang sangat besar, bahkan bisa dikatakan mutlak dan luas, dan orang-orang yang menentang ajaran atau keputusan Paus akan dicap sesat, dikejar-kejar dan dihukum mati, tidak terbayang bahwa Reformasi dapat terjadi. Pada saat itu, orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh rindu untuk mengerti Alkitab secara benar, namun yang kebebasannya terkekang oleh kekuasaan Paus, tidak dapat membayangkan bahwa akan ada tokoh-tokoh seperti Martin Luther, Ulrich Zwingli, John Calvin, dan John Knox yang akan mengobarkan api Reformasi di daratan Eropa pada abad ke-16 untuk menentang ajaran-ajaran Katolik Roma yang menyimpang dari kebenaran Alkitab dan melahirkan Kristen Protestan dengan semangat ‘Back to the Bible’. Dengan mempelajari sejarah gereja di Abad Pertengahan, yang dalam kesempatan ini terkonsentrasi pada sejarah kepausan, kita dapat lebih menghayati dan menghargai peristiwa Reformasi dan ajaran-ajaran yang diteriakkan para Reformator. Yang lebih penting lagi, kita dapat melihat dengan jelas bahwa kekuasaan manusia sebesar apa pun tidak ada artinya di hadapan Allah karena Dialah Sang Penguasa di atas segala penguasa dan Sang Pemberi kuasa itu sendiri! Soli Deo Gloria!
Fabio Lumantau
Pemuda GRII Pusat