SARA, seperti manusia lain, dilahirkan di dunia ini di luar kemauannya sendiri. SARA tidak pernah meminta untuk dilahirkan di tempat tertentu, dengan warna tertentu, bentuk tertentu, atau kemampuan tertentu. SARA tidak mengerti mengapa ia sering menjadi masalah untuk banyak orang. SARA hanya mengerti bahwa yang menjadikannya masalah adalah PERBEDAAN yang dimilikinya. PERBEDAAN memang telah lama “dipandang” sebagai sumber kejahatan sampai TOLERANSI mengeluarkan sebuah kalimat cantik: Unity in Diversity. Akan tetapi, telah menjadi kebiasaan manusia untuk membenci apa yang mereka takuti, dan menakuti PERBEDAAN yang sulit mereka pahami. Seperti manusia lain, SARA tidak bisa membuang PERBEDAAN itu begitu saja. Maka, tak peduli apa kata TOLERANSI, SARA akan terus dijadikan masalah hingga kapan pun. Hingga suatu hari para alien mendarat di bumi untuk mempersatukan umat manusia.
Kalimat terakhir adalah sebuah ide yang dicetuskan dalam sebuah film Hollywood baru-baru ini. Film ini berusaha mengembalikan kondisi dunia di era Nimrod dengan menyatukan seluruh bangsa di bawah satu bahasa. Seperti peristiwa Menara Babel yang menjadi titik mula perpecahan lidah, film ini mencoba membuat titik baru peradaban manusia yang dimulai dari satu bahasa titisan makhluk luar angkasa. Dikatakan bahwa bahasa ini memberikan suatu “kebijaksanaan” baru yang mengubah persepsi manusia akan waktu. Tetapi ide ini tidak dibahas lebih lanjut karena apa yang akan diuraikan dalam artikel ini memuat kebijaksanaan yang lebih tinggi.
1. Satu Bahasa untuk Semua
Komunikasi sepertinya merupakan cara paling anggun dan tepat untuk menyelesaikan berbagai masalah. Banyaknya bahasa di dunia ini seolah mempersulit pembangunan relasi antarbangsa. Akan tetapi, bahasa secara umum (baik lisan maupun tulisan) hanyalah simbol yang menggambarkan suatu makna. Makna itulah yang lebih penting daripada sekadar kata-kata yang mewakilinya.
Dalam artikel lain, saya pernah sedikit menyinggung mengenai aksi, relasi, dan makna. Makna tidak bisa lepas dari relasi, dan relasi tidak bisa ada tanpa aksi. Ketika relasi terbentuk oleh aksi, maka relasi itu menghasilkan makna. Semakin limpah jaring-jaring relasi yang dibentuk, semakin dalam makna yang dihasilkan. Komunikasi baik dengan bahasa lisan maupun tulisan adalah satu dari sekian banyak aksi yang dapat membangun relasi, baik secara kognitif maupun emosional. Secara sederhana, kalimat (simbol) yang kita sampaikan (aksi) diolah dalam pikiran lawan bicara dengan mencari hubungan/relasi kata-kata itu dengan pengertian yang telah dimiliki sebelumnya. Relasi antarinformasi itulah yang menciptakan makna, sehingga kita mampu memahami sesuatu.
Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa yang berperan dalam memengaruhi makna yang dihasilkan bukanlah sekadar bahasa. Ketika seorang anak mulai belajar bicara, pertama-tama dia mengenal kata benda, lalu menemukan relasi di antara benda-benda itu melalui kata sifat dan kata kerja. Relasi-relasi ini menjadi perbendaharaan informasi yang dimiliki seseorang dan berkembang menjadi suatu kerangka pikir yang bekerja seperti mesin pemroses. Kerangka inilah yang akan memengaruhi hasil pemaknaan dari masing-masing pribadi dalam setiap proses pembangunan relasi. Maka, bayangkanlah jika sejak lahir seseorang belajar mengaitkan suatu objek dengan sifat-sifat yang salah. Semakin dewasa jaring-jaring informasi itu menjadi semakin kompleks. Konstruksi yang semakin solid akan memengaruhi pemikiran orang tersebut dan menjadi semakin sulit diubah.
Jika kita perhatikan, isu SARA (suku, agama, dan ras) tidak berakar dari PERBEDAAN corak kulit atau makanan favorit orang-orang tertentu. Bahasa juga tidak terlalu menolong dalam mengatasi isu perbedaan. Cara kita memaknai sesuatulah yang seharusnya dibereskan. Harus ada suatu kebijaksanaan tertinggi dan kebenaran yang mutlak yang mendasari semuanya. Dasar berpikir, cara memaknai, mesin pemroses, kerangka informasi, seluruhnya dirangkum dalam satu kata, worldview.
2. Satu Massa dari Semua
Ketika manusia berkumpul di satu tempat dan membangun Menara Babel yang “menyentuh langit”, Allah “turun” untuk menggagalkan rencana manusia. Saat itu Tuhan memecah belah bahasa manusia dan itu cukup untuk menyebarkan manusia ke seluruh penjuru bumi. Sebelum kita mencurigai Allah yang memecah belah, kita perlu mengetahui bahwa massa yang besar dapat dengan mudah mewujudkan perkara yang besar, termasuk perkara yang jahat. Massa kejahatan yang demikian besar akan semakin melemahkan umat Tuhan. Jika hal ini dilanjutkan, maka kita hanya bisa memprediksi musnahnya umat manusia karena dosanya sendiri. Campur tangan Allah dalam pemisahan terbesar dalam sejarah adalah untuk memelihara rencana penyelamatan manusia.
Perbedaan yang Tuhan sebabkan, meski dapat dimanipulasi menjadi sumber perpecahan, tidak menjadi dasar timbulnya perpecahan. Malahan dari perpecahan yang terlihat seperti malapetaka, kita dapat menikmati hikmat dari berbagai bahasa dan budaya yang menjadikannya kekayaan untuk umat manusia. Mungkin saat ini kita tidak bisa menikmati kedalaman arti dalam aksara Mandarin dan indahnya logat Prancis tanpa peristiwa Menara Babel. Keragaman ini tidak seharusnya menjadi masalah karena aspek yang terpenting tetap Tuhan jaga.
Meskipun banyak bangsa, budaya, dan bahasa, Tuhan tetap menjaga paham yang akan menjadi dasar persatuan yaitu firman-Nya. Ketika waktunya tepat, Roh Kudus—bukan alien—turun dan melimpahkan karunia bahasa lidah agar firman boleh diberitakan dalam segala bahasa. Inilah masa ketika segala bangsa dapat mendengar firman yang membentuk worldview yang beres dan komprehensif. Inilah yang akan menyatukan keberagaman, ketika semua orang memahami satu nilai yang mutlak karena berasal dari Sang Perancang manusia sendiri. Melalui firman-Nya kita memahami kemanusiaan yang sejati, mendapat pengharapan untuk perdamaian dunia, dan kita boleh mengenal cinta kasih di level paling puncak.
3. Satu Penguasa untuk Semua
Kumpulan yang jahat bukan satu-satunya alasan manusia harus diceraiberaikan. Kita dapat berasumsi dengan aman bahwa Nimrod bukanlah penguasa yang cukup baik untuk memegang kendali atas seluruh umat manusia. Kita ingin bangsa-bangsa bersatu, tetapi pertanyaannya, siapa yang akan menjadi pemimpin? Pada akhirnya, kita sadar bahwa tidak ada satu orang pun yang layak menjadi pemimpin atas seluruh umat manusia. Kemudian manusia mencoba membentuk suatu dewan yang mewakili berbagai kelompok manusia yang berjumlah besar. Tetapi faktanya kita tetap membutuhkan satu sosok, entah itu Raja, Ratu, Sultan, atau Presiden.
Sebuah komunitas percobaan di India bernama Auroville berusaha mewujudkan masyarakat utopis dari beragam etnis yang hidup harmonis tanpa pemerintah, uang, ataupun agama. Faktanya, segala omong kosong ini tetap ditopang oleh suatu badan administrasi yang membantu mengatur masyarakat ini. Dalam berbagai hal, masyarakat tetap membayar tanpa tahu bagaimana keuangan dijalankan di komunitas yang “tanpa uang” ini. Sementara penghuni-penghuninya mencari kepuasan spiritual, mereka sendiri mungkin tidak tahu apa yang mereka cari. Yang tampak ideal dari kota ini hanyalah beberapa penggal kalimat indah dalam piagam visi mula-mula Auroville.
Auroville belongs to nobody in particular. Auroville belongs to humanity as a whole. But to live in Auroville, one must be a willing servitor of the Divine Consciousness.
Auroville will be the place of an unending education, of constant progress, and a youth that never ages.
Auroville wants to be the bridge between the past and the future. Taking advantage of all discoveries from without and from within, Auroville will boldly spring towards future realizations.
Auroville will be a site of material and spiritual researches for a living embodiment of an actual Human Unity.
Semua mencari persatuan, keharmonisan, dan pencapaian puncak spiritual. Tetapi tidak ada yang bisa mencapainya. Sejarah membuktikan bahwa tidak pernah ada satu orang yang cukup hebat untuk mampu menguasai dunia. Ratu Inggris tidak, Tzar Rusia tidak, Presiden Amerika tidak. Sementara mereka yang berusaha menghilangkan pemerintah tetap tidak mampu mencapai masyarakat utopis, mendekati pun tidak. Mereka yang meyakini bahwa ada kesadaran ilahi yang menyatukan seluruh umat manusia, berusaha menyingkirkan pribadi ilahi itu dan tanpa sadar tetap menjadikan diri mereka Tuhan. Di tengah masalah perbedaan dan persatuan yang tanpa harapan ini, Tuhan terus bekerja di sepanjang sejarah untuk menyediakan sebuah jawaban.
4. Satu Kristus untuk Semua
“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya,” demikianlah tertulis di Yohanes 1:1-5.
“Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran,” dinyatakan di Yohanes 1:14.
Yohanes pasal pertama mengandung pengertian yang begitu dalam dan berharga sehingga seorang filsuf Platonis pernah mengatakan bahwa Injil ini layak untuk ditulis dalam tinta emas. Ini adalah pernyataan yang tajam mengenai Kristus, Sang Firman yang Hidup dan menjadi manusia. John Calvin dalam ulasannya menerjemahkan Logos sebagai speech (perkataan) dibandingkan terjemahan word (kata) yang pada umumnya terdapat pada terjemahan bahasa Inggris. Speech diartikan sebagai gambaran dari pikiran dan Kristus adalah Hikmat dan Kehendak kekal Allah, Kristuslah gambar yang hidup dari visi Allah. Dengan perkataan-Nya, Allah menyatakan diri-Nya, karena perkataan Allah menggambarkan tindakan-Nya. Di sepanjang Alkitab, Tuhan dan Firman Tuhan seolah menjadi satu subjek tetapi memiliki sisi yang berbeda. Apa yang dikerjakan di Perjanjian Lama oleh Tuhan disetarakan dengan apa yang dijadikan oleh Firman Tuhan. Maka, ajaran Yahudi pun mengajarkan bahwa Firman Tuhan adalah Tuhan sendiri. Yesus Kristus, Sang Firman yang menjadi daging, adalah Tuhan.
Firman (Yunani: Logos) atau Perkataan memiliki dua sisi, logos endiathetos (kata yang terkandung) dan logos prophorikos (kata yang diutarakan). Pengertian lain yang selaras yaitu, logos ho eso dan logos ho exo yang mengandung perbandingan antara pemikiran dan pengucapan, rasio, dan orasi. Kata yang terkandung, atau pikiran, adalah satu-satunya buah yang langsung dihasilkan oleh jiwa. Pikiran ini menjadi satu dengan jiwa tersebut. Kristus adalah yang tunggal dari Allah dan esensi hikmat kekal yang dimiliki Allah. Yesus Kristus adalah Logos, karena Dialah yang tunggal dari Allah dan Dia satu dengan Allah. Logos prophorikos, atau perkataan, merupakan bukti utama dan alamiah dari keberadaan pikiran. Hal ini menjadikan Firman sebagai pernyataan Allah yang sejati yang diwujudkan di dalam Kristus. Melalui Kristus pikiran Allah dinyatakan, melalui Dia kita mendengar Allah. Yohanes Pembaptis adalah suara, tetapi Kristus adalah Sang Firman yang sekaligus Kebenaran dan Saksi yang sejati atas pikiran Allah.
Matthew Henry mengatakan dalam ulasannya bahwa tidak ada yang lebih dapat kita pastikan daripada apa yang kita pikirkan. Tetapi tentang bagaimana kita berpikir adalah suatu hal yang tidak bisa kita pahami. Frasa terkenal “Cogito ergo sum”dari René Descartes diterjemahkan menjadi “I think, therefore I am”—aku berpikir, maka aku ada. Tetapi credo (aku percaya) melampaui scio (tahu) dan cogito (berpikir). Karena, tidak seperti tahu dan berpikir, iman melampaui batas dunia dan bergerak menjelajahi wilayah yang baru, yang bukan baru bagi Tuhan. Maka, kita akan dengan heran melihat bagaimana banyak hal dapat terjawab dalam Kristus yang kita imani sekaligus Kristus yang belum bisa kita pahami secara utuh.
Yesus Kristus, Sang Logos, adalah perwujudan nyata akan pikiran Tuhan. Ia bukan pemilik atau pengajar dari kebenaran Ilahi. Kristus sendiri adalah Sang Hikmat tertinggi, yang ideal, dan Kebenaran yang paling komprehensif untuk menyatukan berbagai budaya dan bahasa. Bagaimana kita dapat menjalani kehidupan tanpa hikmat dari pemilik kehidupan itu sendiri? Pada akhirnya kita, yang bergantung pada dua bongkah otak kita, hanya memiliki pengertian yang bisa saja indah namun sempit. Atau, kita hanya mencari hikmat dari usaha spiritual yang mengawang-awang, kosong, dan berpusat pada diri.
Sampai di titik ini, kita sudah tidak lagi berbicara mengenai masalah sesempit SARA. Perkara Kristus adalah tentang memperbaiki relasi manusia dengan alam, manusia dengan diri, manusia dengan manusia, serta manusia dengan Allah. Logos memastikan setiap bagian di seluruh alam semesta berelasi pada tempatnya. Dalam sebuah puisi berjudul Paradiso, Dante menawarkan sistem kosmis yang digerakkan oleh satu poros yang sekaligus dibungkus oleh cinta kasih yang menopang lapisan alam semesta. Dialah Logos, sang poros dan penggerak, sang penyatu dan penopang. “Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia,” demikian dinyatakan di Kolose 1:17. Sayangnya, hari ini kita melihat bahwa dosa telah membuat orang salah menempatkan poros kehidupan mereka. Dan para pencari kepuasan spiritual hanya menemukan kekosongan di dalam diri mereka sendiri.
Sebuah ironi pernah dicatat dalam Yohanes pasal 11, yaitu ketika Imam Besar Kayafas mengucapkan suatu pernyataan yang besar atas kematian Yesus. “Karena lebih baik satu orang mati (yaitu Yesus) daripada satu bangsa (Israel) binasa (oleh Romawi).” Kalimat manipulatif, yang menyembunyikan motif Kayafas untuk melindungi posisinya, justru Tuhan pakai untuk menyampaikan rencana Ilahi. Kristus memang harus mati untuk menyelamatkan suatu bangsa. Dan bukan hanya itu saja, Yohanes 11:52 menyatakan bahwa kematian-Nya akan menyatukan anak-anak Allah yang tersebar di penjuru bumi.
Kematian Kristus adalah kematian yang membawa umat pilihan-Nya hidup di dalam Dia dan menjadikan umat-Nya milik-Nya selamanya. Kehidupan Kristus merupakan teladan paling tinggi yang dapat dimiliki atas kemanusiaan. Pengorbanan Kristus merupakan wujud level kasih tertinggi yang menunjukkan bahwa Dialah satu-satunya manusia yang berhak memiliki kuasa mutlak seluruh makhluk. Kematian Kristus mengembalikan alam semesta ke dalam posisi yang semestinya. Malahan di dalam Dia, seluruh ciptaan akan mencapai konsumasi dan kesempurnaannya. Tidak akan ada lagi perpecahan ketika yang Ideal datang kembali dan menaiki takhta-Nya yang di bumi (Ef. 1:10). Betapa luasnya karya Kristus, sehingga baik yang hidup dan yang pernah mati disatukan kembali di dalam Dia. Kumpulan kejahatan yang pernah diceraiberaikan akan digantikan oleh kongregasi Gereja. Kristus akan menjadi Kepala atas Gereja, di mana umat-Nya, baik Yahudi maupun Yunani, dipanggil untuk mengerjakan pekerjaan yang baik dari Allah.
Semua orang mencari perdamaian, persatuan, utopia, pencerahan pikiran, cinta kasih, dan banyak hal lain yang menurut manusia menjawab segala permasalahan. Tetapi banyak orang menolak untuk meletakkan poros hidup mereka pada Kristus. Yesus yang telah direndahkan sebegitu rendah, adalah Sang Firman yang menjadi dasar keberadaan. Yesus yang datang ke dunia tanpa kuasa politik ataupun militer, adalah Raja yang akan mempersatukan umat-Nya dari seluruh bangsa. Yesus yang ditolak orang terdidik, adalah Sang Logos yang paling mampu membawa kita untuk mengerti pikiran Tuhan. Maukah kita mengimani Satu Kristus dan hidup di dalam-Nya?
Yinni Lauly
Pemudi GRII Bandung
Referensi:
1. https://thejesusquestion.org/2011/03/07/jesus-as-logos-or-cosmic-christ-part-1/.
2. http://www.iep.utm.edu/philo/#H11.
3. https://jaysanalysis.com/2016/11/15/arrival-2016-the-films-secret-meaning-explained/.
4. Matthew Henry’s Bible Commentary.
5. John Calvin’s Bible Commentary.