Sendu, Menjemukan, dan Membosankan

“Hari yang dingin dan memberikan suasana sendu,” pikirku tadi pagi ketika berada di tempat klien yang AC-nya sangat dingin, seraya memandang ke luar jendela melihat langit yang gelap disertai hujan deras. Beberapa hari ini aku menyeret langkah ke tempat klien setiap pagi karena masih mengantuk dan keletihan oleh berbagai aktivitas pekerjaan, teman, dan pelayanan. Ditemani sharing dan perbincangan dengan teman pada jam makan siang, maka aku melewatkan siang ini di tempat klien. Aku cukup bersyukur karena siang itu matahari bundar kuning terang benderang menyapaku dengan ramah ketika kami berjalan dari kantor polisi di Outram Park menuju Keppel Terminal di sebelah selatan Singapura. Siang itu lewat begitu saja dan sorenya aku bergegas kembali ke kantor di Ang Mo Kio dengan taksi untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa untuk hari itu.

Driver : Where do you want to go?

Me : Ang Mo Kio.

Driver : Today is a warm day.

Me : It is actually a hot day. (Meskipun aku merasa kedinginan setelah keluar dari tempat

full-AC dan masuk lagi ke taksi yang ber-AC).

Sebuah percakapan sederhana yang mencerminkan kehidupan seorang yang biasa di suatu sore yang cerah. Percakapan kedua orang ini mengalir begitu saja bahkan kembali teringat ketika artikel ini harus ditulis dan sekali lagi mengalir untuk dibaca oleh teman-teman pembaca Pillar sekalian.

Driver : Di mana kamu bekerja?

Me : Di perusahaan computer, nanti kamu juga tahu karena kita menuju ke sana sekarang.

Driver : Oh… saya tahu perusahaanmu itu. Memang banyak orang perusahaanmu yang memberikan servis untuk kantor polisi ini ‘kan?

Me : Hmm… kamu pasti pernah berbicara dengan rekan saya sebelumnya. Karena memang tim kami yang khusus memberikan servis di kantor polisi ini. Kamu sudah berapa lama jadi sopir taksi?

Driver : Kira-kira 3 tahun. Saya sekarang kerja sampingan sebagai sopir taksi selain pekerjaan saya di suatu perusahaan. Kamu di kantor polisi itu kerja di lantai berapa? 4 atau 5?

Me : Lima.

Driver : Oh, saya tahu divisi itu. Apakah orang yang bernama si A masih ada? Yang in-charge sekarang siapa? Orang-orang yang kerja di situ saya kenal. Saya dulu kerja di situ.

Me : Oh yah? Kamu kenal si A? Yang gemuk itu? Sekarang yang in-charge si B. Nama lengkapmu siapa?

Driver : Gemuk? Dulu memang dia gemuk, dua kali ukuranku, tapi dia sudah diet dan kurus seukuranmu ini kira-kira. Sekarang gemuk lagi yah dia? Wah, wah. Si B? Oh… orang yang suka complain dan cerewet itu yah?.

Me : HeheNggak tahu. Saya masih baru di sini, baru beberapa kali ke tempat klien dan baru beberapa bulan masuk perusahaan ini. Namamu siapa?

Driver : Ali (bukan nama sebenarnya).

Me : Oh, nama lengkapmu?

Driver : Kenapa?

Me : Siapa tahu saya bisa bertanya pada si A apakah dia masih ingat sama kamu.

Driver : Nggaklah, dia pasti nggak ingat saya karena kami beda divisi.

Me : Oh, okay… Kamu sudah berapa tahun kerja di sana? Kenapa akhirnya kok keluar?

Driver : Saya sudah 13 tahun di sana. Yah… karena mau cari kerjaan yang lebih baik supaya bisa menikmati hidup. Setiap orang berhak untuk mendapatkan kebahagiaannya.

Me : I see

Driver : Saya sekarang single dan menikmati hidup serta membiayai ibu saya yang sakit.

(Percakapan terus mengalir mulai dari umur, asal, logat, masjid dan pesantren, puasa di bulan Ramadan, dan seterusnya. Percakapan akhirnya kembali lagi mengenai pekerjaan dia yang dahulu di kantor polisi).

Me : Menikmati hidup ya? Sekarang sudah umur berapa?

Driver : Coba tebak?

Me : 35-36 tahun? Tapi kamu kelihatan seperti umur 27 tahun.

Driver : Iya, saya sudah 30 lebih, sekarang sekitar 35-36 tahun. Tahu nggak kalau cuma yang berumur 30 tahun ke atas yang boleh jadi supir taksi di Singapura.

Me : Oh… Apakah ada nasihat yang bisa dibagikan mengenai hidup yang pernah kamu lewati selama ini? Apakah ada penyesalan dalam hidup yang ingin coba diulangi lagi kalau bisa memutar waktu?

Driver : Yah… di dalam pekerjaan itu ada 3 tahap. Pertama, ketika kamu baru bergabung dan punya passion di dalamnya. Kedua, ketika kamu datang ke kantor tapi sudah jadi rutinitas dan tak memiliki passion lagi. Ketiga, ketika kamu datang ke kantor karena suatu keharusan dan perlu memaksa diri. Itu sudah saatnya kamu harus pindah pekerjaan. Saya sejak umur 20 tahun sudah kerja di sana. Saya punya berbagai keberhasilan untuk break berbagai kasus tapi saya juga telah break banyak muka orang. …

Me : I see

Driver: Saya dulu juga pernah punya tunangan tapi pada akhirnya juga nggak jadi. Sekarang saya single dan saya percaya semua itu takdir. Kita bisa bertemu orang di dalam waktu-waktu yang tak terduga dan bisa jadi. Yang penting kita bisa melihatnya secara positif.

Me : Oh… apa karena pekerjaanmu yang bahaya?

Driver : Iya, kadang saya berhari-hari tidak pulang ketika investigasi. Pernah suatu waktu ketika saya ambil hari off dan mengajaknya jalan ke Orchard, tiba-tiba bertemu dengan mantan kriminal yang pernah saya tangkap. Karena kejadian itu tunangan saya minta putus karena merasa tidak aman. Bagaimana dengan keluarga dan anak kelak yang terus dirongrong bahaya? Saya sudah menjelaskan ke dia bahwa ada code of honor bahwa kriminal tidak akan menyentuh keluarga, hanya deal orang per orang kalau ada dendam, kecuali kalau kriminal itu sudah kelewatan. Tetapi dia tidak mau mengerti. Ya sudah, saya anggap itu takdir.

Me : I see… berarti kejadian ini membuat kamu berpikir banyak dan akhirnya kamu berpikir untuk keluar?

Driver : Iya. Sejak saat itu saya berpikir dan saya juga pernah bertanya kepada atasan saya mengenai jaminan proteksi sebagai seorang polisi.

Hikmat dan Kehidupan

Maaf pembaca Pillar sekalian, sebenarnya ada banyak detail yang bisa diceritakan tetapi demi menghemat waktu dan ada beberapa hal yang tidak bisa diceritakan lewat buletin Pillar, maka percakapan dihentikan di sini. Begitu pula dengan percakapan makan siang dengan rekan kerja saya tadi mengenai hidup sekarang dan kaitannya dengan hidup akan datang dan kekekalan serta mengenai prinsip hidup dan penderitaan (anaknya terlahir dengan cacat kromosom), saya tidak sempat menceritakannya di sini tetapi kedua hal tersebut teringat di benak saya dan membuat saya menulis artikel seputar hal tersebut.

Refleksi saya terhadap kitab puisi dan hikmat belakangan ini juga membawa saya pada poin ini di mana kitab puisi dan hikmat lebih berbicara mengenai hidup sehari-hari yang berhikmat dan tidak terlalu terlihat koneksinya dengan sejarah keselamatan. Juga, keunikan kitab puisi dan hikmat yang membahas mengenai refleksi manusia akan Allah dan respons Allah, bukan mengenai Allah mencari manusia seperti tema-tema yang sering kita dengar pada umumnya. Jika kita membaca Pentateukh maka kita akan sulit melihat posisi kita dalam komunitas yang besar. Jika kita membaca kitab sejarah maka kita akan tenggelam oleh fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Sedangkan jika kita membaca kitab nabi maka kita melihat bahwa pusat perhatian hanya terletak pada masyarakat dan dunia mereka, tetapi lain halnya dengan kitab hikmat yang akan menyentuh kita di manapun kita berada. Karena itu, di sini kehidupan yang sehari-hari menjadi menarik bila kita melihat cinta kasih dan penyertaan Tuhan muncul di dalamnya. Juga, apa kaitannya dengan rencana Tuhan yang katanya kitab puisi dan hikmat jauh dari sejarah keselamatan? Kita dapat melihatnya di dalam hubungan Tuhan dengan kita, umat-Nya yang dikasihi-Nya, dalam keutuhan persekutuan yang indah termasuk di dalamnya keutuhan wahyu sebagai simbol kehadiran dan diri-Nya seutuhnya.

Helaan nafas, gambaran yang pesimis, ketakutan, dan ketidakpastian hidup mewarnai percakapan kami hari itu. Sesungguhnya, adakah yang bisa dipegang di dalam hidup ini? Ibu-ibu semakin banyak tahu menjadi semakin takut kalau anaknya salah sekolah dan salah menikah dibandingkan zaman mereka menjalaninya dahulu. Orang yang besar menggunakan kuasa untuk memanfaatkan orang kecil, dan yang kecil berusaha untuk paling tidak meminimalkan pemanfaatan orang besar terhadap dirinya. Setiap orang harus mengandalkan dirinya sendiri untuk berdikari dan mandiri di dunia yang jahat ini. Mereka harus mawas diri dan berjaga-jaga sendirian karena tidak akan ada yang menolongnya. Di dalam genre kitab puisi dan hikmat, terutama di dalam Kidung Agung dan Pengkhotbah, kita bahkan melihat gambaran kehidupan manusia sehari-hari yang seolah-olah jauh dari Tuhan di dalam tetek bengek-nya yang tidak kunjung habis serta kebahagiaan yang bisa didapatkan olehnya di bawah matahari. Pengkhotbah sendiri terlihat seperti monolog di mana Tuhan sangat asing dan bersifat impersonal yang dekat dengan gambaran takdir yang dipercaya oleh supir taksi tadi. Pernahkah teman-teman sekalian merasakan hal yang sama? Lantas bagaimana dengan cinta kasih mula-mula karya keselamatan yang Tuhan nyatakan di dalam pertobatan kita? Apakah itu hanya kebetulan dan terjadi karena memang logis dalam hubungan sebab akibat?

Ketika kita sedang tertekan, menghadapi masalah dan kosong, maka jiwa kita sewajarnya mencari pegangan hidup yang spiritual. Tetapi ketika seiring waktu berjalan, pengalaman bertambah, dan wawasan terbuka, seolah-olah semua itu menjadi jauh dan mereka dari berbagai belahan dunia, budaya, agama, dan pemikiran akhirnya memiliki jawaban yang hampir-hampir mirip di dalam dunia ini. Mengapa uluran tangan Tuhan seolah-olah tidak ada dan tangan kita sudah capek terulur berharap kepada-Nya, yang katanya sumber pengharapan yang pasti? Bagaimana juga dengan penyataan kuasa dan hadirat-Nya melalui firman Tuhan dan persekutuan yang kita rasakan setiap hari ketika saat teduh dan pergi ke gereja? Seolah-olah ada benang tipis yang tergantung tapi susah menemukan koneksi dan ujung pangkalnya. Pdt. Stephen Tong menggunakan ilustrasi layang-layang yang jauh sekali dan tidak terlihat dari pandangan yang hanya disambungkan oleh seutas benang. Tetapi kita tahu dan dapat merasakan tegangannya ketika layangan itu tertiup angin, yang berarti layangan itu masih di sana dan belum putus. Hubungan antara iman kehidupan Kristen dan nalar rasional kehidupan sehari-hari terlihat seolah-olah jauh sekali.i Pergumulan ini pun selalu ada dari waktu ke waktu di bawah matahari sejak dulu dengan tidak ada habis-habisnya seperti dunia orang mati yang tidak kunjung kenyang menerima anak manusia.

Ketakutan

Setiap tahap kehidupan memiliki ketakutannya sendiri. Remaja takut nggak naik kelas, pemuda takut salah jurusan dan universitas, professional muda takut salah profesi pekerjaan, takut patah hati, takut salah nikah, yang menikah takut tidak punya anak atau anaknya lahir cacat, yang anaknya sudah besar takut anaknya salah nikah lagi. Di antara semua itu, yang mencari kebenaran universal melampaui perubahan tahap kehidupan pun takut salah dan takut menyesatkan. Ibu-ibu yang sudah Reformed dan mendengar khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong pun takut anaknya tidak dapat orang Reformed yang baik-baik dan tidak mendengar khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong. Tambah tahu banyak malah tambah takut. Tetapi di dalam setiap tahap kehidupan itu, anak-anak yang paling banyak memiliki ketakutan. Takut gelap, takut cacing, takut ke toilet sendirian di malam hari, dan seterusnya. Tetapi sesudah mereka besar, mereka akan segera tahu bahwa itu tidak semenakutkan yang mereka kira. Tambah tahu dan terlepas dari kesempitan, mereka menjadi tidak takut.

Karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman seseorang bisa takut, kebanyakan pengetahuan dan pengalaman seseorang juga bisa takut. Jadi, permasalahannya bukan pada pengetahuan atau pengalaman belaka secara objektif, tetapi itu sangat subjektif berkait dengan diri orang tersebut dan bagaimana dia bereaksi kepada Tuhan. Seseorang dapat merasakan itu sebagai manifestasi dari revelation of wrath of God dan bukannya revelation of grace of God. Masalah yang sederhana sebenarnya terletak di dalam kesalahpahaman. Bukankah kita sering salah mengerti maksud orang tua kita bahkan Tuhan yang memberi kita telur ketika kita meminta kalajengking? Man is how he reacts before God. Bukankah seharusnya pengetahuan dan pengalaman itu menjadikan seseorang bertumbuh karena dia mengenal kebenaran dan bukankah kebenaran itu memerdekakan kita? Bukankah seharusnya kebenaran adalah wahyu umum Allah yang membawa kita untuk semakin mengenal Allah dan bertumbuh? Rupanya respons kita terhadap kebenaran itu yang salah. Respons kita yang salah pun akan menjadi budaya yang salah. Apakah teman-teman sering mendengar kalimat yang sudah menjadi tradisi: “Hussh.. jangan suka ngomong soal mati atau rugi, nanti mati sungguhan gimana?” Juga tahukah teman-teman dengan contoh dari Pdt. Stephen Tongii mengenai orang kaya di Jerman yang takut mati dan setiap kata “mati’ di surat kabar harus dicoret terlebih dahulu sebelum dia membaca?

Alkitab, wahyu khusus yang diberikan oleh Allah, menceritakan kepada kita bagaimana para murid ketakutan dan seperti kehilangan arah serta tercerai berai ketika Yesus hendak meninggalkan mereka. Yesus tidak menghardik mereka, sebaliknya Yesus dengan lembut menjanjikan Penghibur yaitu Roh Kudus kepada mereka, Roh Damai Sejahtera, Roh yang lebih besar dari apapun. Yesus menghibur mereka, Dia mengatakan bahwa Dia telah mengalahkan dunia. Dan Yesus memberikan perintah kepada mereka untuk saling mengasihi karena kasih itu melenyapkan ketakutan. Ada sumber yang mengalir tidak habis-habis dari suatu cinta kasih. Alkitab mengoreksi bagaimana kita seharusnya hidup dan hidup tidak takut lagi. Paulus mengatakan bahwa pedang, maut, penguasa di udara, ancaman apapun tidak dapat mengganggunya. Justru ketakutan kita harus diarahkan kepada yang benar yaitu takut kepada Allah saja. Pdt. Stephen Tongiii mengatakan bahwa orang Reformed seharusnya tidak takut kepada apapun selain Allah. Ketakutan terbesar orang Reformed seharusnya adalah ketakutan itu sendiri. Tuhan membimbing kita from strength to strength berdasarkan from faith to faith dengan from grace to grace menuju glory of glory. Mungkin ketakutan kita ada banyak, tapi Dialah yang menjamin kita.iv

Keutuhan Wahyu

Bagaimanakah seharusnya kita hidup di dunia ini? Dapatkah kita menyeimbangkan antara iman dan pengetahuan? Einstein berkata bahwa science without religion is lame and religion without science is blind. Demikian halnya di dalam kehidupan sehari-hari, iman tanpa pengetahuan itu buta dengan keberanian yang ngawur sedangkan pengetahuan tanpa iman itu hanya memberikan kekhawatiran dan ketakutan. Bagaimanakah seharusnya kita hidup di hadapan Tuhan dalam Kerajaan Allah? Bagaimana menyeimbangkan kedua hal ini? Melalui hidup yang bersandar kepada Tuhan hari lepas hari. Iman yang hidup nyata dan terus dipertebal hari demi hari.

Apa hubungan antara pekerjaan Tuhan di dalam Kerajaan Tuhan yang kita mengerti melalui Firman-Nya sebagai wahyu khusus dan juga kehidupan keseharian kita yang mendasar, di mana kita berespons terhadap pikiran, emosi, kemauan, teman, pekerjaan, pertumbuhan, pembelajaran, dan seterusnya, yang mewakili respons kita terhadap wahyu umum? Dan bukankah kebiasaan, tindakan, keseharian kita itulah yang nantinya akan sangat menentukan relasi kita dengan Tuhan di dalam kerajaan-Nya, mendengar firman-Nya, berespon pada wahyu khusus-Nya? Wahyu umum berperan sangat krusial sebagai fungsinya di sini yang tidak dapat ditolak bahwa wahyu umum adalah platform dari wahyu khusus.v

Mampukah kita me-redeem semua penggunaan di dalam respons manusia terhadap wahyu umum yaitu kebudayaan dari kacamata wahyu khusus? Google yang juga sangat menghargai simplicity dan mengerti natur kerja e-mail di zaman sekarang yang perlu efisien dan cepat membuat Gmail sangat berhasil termasuk dengan integrasi fungsi kontaknya. Bahkan sekarang kontaknya akan diintegrasi dengan Google Voice yang sangat murah dan mengancam keberadaan Skype. Dan mengapa iPhone dan iPad sangat nge-trend dewasa ini? Karena mereka mengerti natur dan ritme gerakan hidup manusia. Sensor touchscreen yang menggunakan panas tubuh manusia sangat alamiah daripada yang menggunakan tekanan. Begitu pula dengan kehalusan tampilan gerakannya yang sangat estetis dan alamiah. Jika seseorang berbijaksana dan dapat mengamati dengan benar tentang kebenaran yang ada di dalam alam ini yaitu wahyu umum, maka dia akan menghasilkan kebudayaan yang begitu maju dan menerobos. Itu memang adalah anugerah umum yang diberikan oleh Tuhan. Ada seorang nenek tua yang ahli di dalam literatur, suka membaca, dan berotak pandai; tetapi sekarang dia sudah pikun dan ada di panti jompo. Sejak dia menerima iPad yang dapat mendeteksi tulisan tangan manusia secara alami, nenek ini kembali terangsang dan dapat melakukan baca tulis serta memiliki hidupnya kembali. Saya takjub membaca berita tersebut, tetapi saya bertanya bagaimana dengan keselamatannya. Apakah dia mengenal Tuhan yang menciptakannya dan yang memberikannya hidup? Apakah seseorang berbijaksana menurut dunia ini dan menghasilkan kebudayaan yang maju sudah cukup? Alkitab mengoreksi kita dan memberikan standar bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat dan pengetahuan, yang oleh Calvin dilanjutkan bahwa itu akan menghasilkan kesalehan sebagai syarat dari agama. Manusia Kristen baru menjadi utuh ketika respons internalnya kepada wahyu umum Allah yaitu agama dan respons eksternalnya kepada wahyu umum Allah yaitu budaya diterangi oleh firman Tuhan. Kita harus mengingat bahwa semuanya itu terkait dengan karya keselamatan yang membawa seluruh jerih payah dan hasil kebudayaan kita masuk ke dalam kekekalan yang kekal bukan kekekalan yang sementara. Kita haru mengingat hal tersebut agar tidak jatuh ke dalam ilusi sesaat. When men dream dreams of a paradise regained by means of common grace, they only manifest the “strong delusion” that falls as punishment of God upon those that abuse his natural revelationvi.

Tetapi haruskah kita selalu melihatnya secara negatif dan bersifat penyerangan? Ada poin menarik dari Pdt. Billy Kristanto bahwa respons yang benar kepada wahyu umum di dalam anugerah umum walaupun seolah-olah tidak terlihat kaitannya dengan wahyu khusus dan anugerah khusus di dalam kehidupan mereka yang tidak percaya, tetapi itu sudah mempersiapkan wadah, framework¸ kebiasaan baik, tanah hati yang gembur untuk menerima dan menghidupi anugerah keselamatan ketika Injil dan waktu Tuhan tiba atas orang tersebut.

Bagaimanakah iman dan pengetahuan tersebut dikaitkan di dalam pelayanan? Kita tidak hidup sendiri dan berespons terhadap achievement diri untuk kemajuan diri sendiri, tetapi kita dipanggil untuk melayani sesama kita dan dunia di sekitar kita. Adakah kita membagikan kebudayaan yang baik bagi mereka yang barbarian, perhatian bagi mereka yang kesepian, cinta kasih bagi mereka yang terluka, makanan bagi mereka yang haus, pakaian bagi mereka yang telanjang, uang bagi mereka yang miskin dan ini semua sebenarnya hanyalah manifestasi dan bahasa theologi dari Matius 25 di mana yang paling hina adalah Kristus. Jangan lupa kalau Tuhan mungkin mengizinkan kita sakit, tidak tahan, lemah, dan miskin agar kita berelasi satu dengan yang lain di dalam tubuh Kristus sehingga yang banyak tidak kelebihan dan yang kurang tidak kekurangan, sehingga anugerah Tuhan dan ucapan syukur berlimpah-limpah menjadi nyata baik dari yang memberi dan menerima. Karena Tuhan rindu kita terus bertumbuh untuk saling melayani di dalam keutuhan.

Pdt. Stephen Tong sering mengatakan kalau kita harus memberikan jantung hati kita yang menjadi pusat hidup kita setuntasnya untuk Tuhan dan pelayanan. Sudahkah kita hidup di dalam pengharapan dan sukacita atas kasih mula-mula dari Tuhanlah yang mendorong kita untuk tidak henti-hentinya optimis dan berbijaksana dalam menghadapi kesulitan dan realitas yang ada di depan kita? Hal ini sejalan dengan pemikiran: “Optimism in God’s grace and pessimism in human nature.” Dan sudahkah telinga kita peka terhadap erangan dan suara-suara rintihan yang siap menerima pelayanan kasih dan saluran berkat dari Tuhan melalui kita? Sesungguhnya, seutas benang layangan itu mengajarkan kita untuk belajar percaya dan bersandar kepada-Nya, dan itu juga yang menjadi simbol cinta Tuhan bahwa Tuhan masih mencintai kita dan terus akan mencintai kita sama seperti Dia mencintai kita sejak dari semula ketika kita masih menjadi seteru-Nya bahkan sebelum kita ada sekalipun. Karena benang itu masih ada dan tidak mungkin putus karena Tuhan yang menjamin, kita masih boleh terus berharap. Dan akhirnya tinggal ketiga hal ini yaitu kekuatan untuk beriman, keberanian untuk berharap, dan cinta kasih yang terus mengalir melenyapkan ketakutan. Kiranya kasih Allah yang berlimpah-limpah menaungi kita sekalian untuk menghadirkan wahyu khusus Allah – Firman-Nya – di dalam setiap aspek kehidupan kita.

Lukas Yuan

Redaksi Bahasa PILLAR

i Pdt. Stephen Tong mengaku bahwa beliau memikirkan hubungan ini terus-menerus selama 35 tahun di dalam SPIK Iman, Rasio & Kebenaran.
ii Diambil dari Paskah Nasional 2005 di Monas.
iii Diambil dari sharing
Pdt. Stephen Tong pada ultah 80 tahun Westminster Theological Seminary dan ketika beliau menerima gelar Doctor of Divinity (D.D.)
iv Sebuah trauma dari seorang perempuan tentang kemungkinannya mempunyai anak diwakili oleh perempuan Sunem di dalam 2Raj. 4:8 dst. Sangat baik bila ada kesempatan membahas hal ini lebih dalam di mana Tuhan menyatakan Diri-Nya layak menjadi sumber pengharapan, layak disandari, dan bekerja menyembuhkan dan menguji perempuan itu melalui traumanya.
v Saya harap artikel-artikel lain dapat mengisi pengertian teman-teman akan kalimat ini.
vi Diambil dari wall post Facebook
Hans Yulizar Sebastian.