Teladan Sempurna

Penghujung tahun 2016 menjadi titik memanasnya situasi politik di tanah air. Isu soal perbedaan menjadi hal yang begitu sensitif untuk dibicarakan. Bagi segelintir orang, mengambil tindakan untuk angkat kaki dari negeri Indonesia merupakan keputusan yang paling tepat. Namun banyak juga yang acuh tak acuh dengan keadaan sekitarnya. Selama keadaan itu tidak mengganggu ketenteramannya, itu hanyalah angin numpanglewat. Tetapi jika menyangkut soal keamanan dan kenyamanan dirinya, lebih baik menghindar dan mencari pertolongan.

Respons melarikan diri dari pergumulan atau masalah bukanlah pilihan yang selayaknya bagi orang Kristen. Kita percaya bagaimana intervensi Allah selalu ada di dalam peperangan dan kehidupan umat-Nya. Bahkan penyertaan Allah tidak pernah mengecewakan dan Ia memiliki rancangan yang baik bagi umat-Nya. Sebagai bukti, saat Ia menyertai, umat-Nya selalu menang dalam peperangan, khususnya peperangan terbesar dalam sejarah manusia, yaitu melawan dosa dan natur keberdosaan. Allah sendiri yang berperang dalam peperangan yang satu ini. Allah mengetahui bagaimana tidak ada seorang pun yang dapat menyelesaikan masalah ini. Karena itu, Ia sendiri yang merencanakan keselamatan bagi manusia melalui Yesus Kristus.

Yesus Kristus datang ke dunia berarti kegagalan manusia dalam mencari Allah. Hati manusia yang kecenderungannya berbuat dosa, tidak sanggup bahkan untuk sekali pun dengan motivasi yang murni, datang kepada Allah. Yang diinginkan manusia berdosa sebetulnya hanyalah kenyamanan, berkat, dan bukan pribadi Allah sendiri. Apa yang akan kita rasakan sekiranya sahabat kita hanya menginginkan keuntungan dari diri kita? Tentu sedih, kecewa, dan marah, bukan? Memang benar, Allah yang begitu suci tidak menerima sedikit pun kecacatan dalam diri ciptaan-Nya, maka sejak dosa awal manusia pertama, hubungan manusia dengan Allah terputus, yang berarti maut bagi manusia. Namun karena Allah begitu mengasihi ciptaan-Nya, Allah sendiri yang bekerja menyelamatkan ciptaan-Nya, karena Ia tahu bahwa manusia tidak akan memiliki kerinduan dan motivasi untuk kembali menikmati Penciptanya, sebagaimana harusnya pada awalnya.

Karya keselamatan Allah ini dikerjakan dan digenapi oleh Anak Tunggal-Nya, Yesus Kristus. Dalam mengerjakan karya penebusan Allah, Kristus menyelesaikannya dengan sempurna. Cinta, penyangkalan diri, dan teladan telah dengan sempurna dinyatakan melalui kedatangan dan kelahiran-Nya ke dalam dunia. Beberapa hal yang dapat kita refleksikan melalui teladan Kristus:

1. Cinta kasih
Manusia bukan diselamatkan karena pantas diselamatkan, bukan juga akibat amal perbuatan baik yang pernah dilakukannya, namun semata-mata karena cinta kasih Allah. Usaha manusia berbuat baik itu seperti membersihkan piring dengan kain dan air kotor. Semakin dibersihkan, semakin kotor piring itu. Bukankah kita telah menghasut Allah untuk membalas kebaikan kita, ketika mencoba berbuat kebaikan kepada orang lain? Berarti kita telah kembali kepada motivasi awal mula hati kita yang jahat. Kita sebenarnya tidak menginginkan Allah atau mengasihi sesama kita, tetapi berbalik mencari keuntungan bagi diri sendiri. Cinta yang tulus telah dinyatakan oleh Yesus Kristus melalui kedatangan-Nya ke dalam dunia. Yesus menunjukkan cinta kasih-Nya mulai dari kelahiran-Nya di palungan.

Beberapa tahun lalu, bayi dari Duke of Cambridge yang bernama George dilahirkan. Sorotan media massa tidak boleh lengah untuk mendapatkan berita sukacita bagi warga Inggris ini. Tidak seharusnya seorang calon raja lahir di mana hewan ternak tinggal di dalamnya, bukan? Seorang raja bahkan memiliki keinginan agar sebisa mungkin kelahiran sang anak dirayakan dengan meriah. Tidak ada seorang pun yang berhak menyatakan bahwa ia tidak layak mendapatkannya. Itu memang sudah sepantasnya menjadi haknya. Namun, cinta kasih Allah memutarbalikkan fakta tersebut. Justru Yesus Kristus datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. Allah sendiri yang berinisiatif menyerahkan Anak-Nya ke tangan ciptaan-Nya, agar kita dapat terlepas dari murka-Nya. Kristus melewati masa kanak-kanak sampai dewasa, dan rela mati di atas kayu salib hanya karena Ia mengasihi ciptaan-Nya dan tidak berharap akan suatu balasan. Kalaupun Ia dimuliakan, itu adalah hak-Nya sedari awal, karena Ia adalah Allah, Sang Pencipta. Kasih Kristus menjadi teladan bagi setiap kita. Kita dapat mengasihi Allah dan sesama sebagai respons ucapan syukur kepada Kristus yang telah terlebih dahulu mengasihi kita, dan menunjukkan teladan sempurna di dalam mengasihi.

2. Penyangkalan diri
Cinta kasih yang sempurna tidak dapat terlepas dari penyangkalan diri. Di dalam mengasihi, selalu ada hal yang perlu dikorbankan: waktu, uang, perasaan, bahkan nyawa. Ketika kita benar-benar berkomitmen untuk mengasihi seseorang, tidak sedikit hal yang kita ingin berikan baginya. Jangan berani berkata bahwa kita mengasihi, jikalau tidak berani berkorban baginya. Tanpa harus dipaksa pun, secara tidak sadar kita terkadang telah rela berkorban untuk orang yang kita kasihi.

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah melihat video bagaimana suatu pasangan pergi bersama ke tempat wahana bermain roller coaster dan semacamnya. Saat itu, sang pria dengan seratus persen keyakinan berjanji untuk menemani sang kekasih menaiki wahana apa pun yang ada. Sayangnya, kelemahannya terbuka di saat menaiki wahana. Sang pria yang tadinya terlihat gagah berani, jatuh pingsan di atas wahana bermain. Seperti yang kita lihat, karena kasih orang rela berkorban. Namun di waktu yang bersamaan, sebenarnya kita juga menuntut akan pengorbanan dari orang yang kita kasihi. “Karena aku sudah banyak berkorban bagimu, di manakah pengorbananmu bagiku?“

Kasih Allah yang dinyatakan melalui Yesus Kristus tidak hanya sempurna, namun juga penuh dengan pengorbanan. Kasih Allah melebihi kasih orang tua, keluarga, sahabat, bahkan kekasih mana pun. Ia rela mengorbankan bukan hanya waktu, harta, hak, namun juga kemuliaan-Nya dan nyawa-Nya. Tidak ada seorang pun manusia yang memiliki hal ini. Allah Anak yang berinkarnasi menjadi manusia, Ia rela mengorbankan takhta-Nya untuk sementara dan lebih menderita dibandingkan ciptaan selama hidup-Nya di dalam dunia. Ia bahkan rela sebagai permulaan menjadi seorang bayi mungil yang lemah tak berdaya. Bukan hanya itu, Allah bangsa Israel yang membawa mereka keluar dari tanah Mesir, yang memberikan kemenangan atas bangsa-bangsa yang menduduki Tanah Perjanjian, menyangkal diri-Nya dan rela dihakimi oleh bangsa itu. Walau demikian, Allah tidak pernah menuntut suatu hal yang besar dari kita. Ia hanya ingin diri kita diserahkan ke dalam tangan-Nya dan dipakai oleh-Nya, sesuai rencana penciptaan-Nya. Bagaimanapun, hal itu juga merupakan keuntungan bagi kita.

Kristus kembali menjadi teladan dalam penyangkalan diri yang sempurna di dalam mengasihi. Ia menekankan bahwa barang siapa yang tidak memikul salibnya, maka ia tidak layak mengikut Kristus. Hidup yang telah ditebus seharusnya berani dan mampu untuk melewati batas kenyamanan. Dalam mengikut Kristus, kita harus berani mengorbankan banyak hal. Pertanyaan terlontar kembali, “Apakah kita telah betul-betul mengasihi Pencipta kita?” Jika jawabannya ya, maka berkorban demi Kristus seharusnya menjadi sukacita tersendiri untuk kita.

Melihat kasih dan pengorbanan-Nya, apakah kita tidak malu jikalau kita terus berlari dari hadapan Allah? Ia mengorbankan Anak-Nya yang tunggal, agar kita dapat kembali kepada-Nya, menikmati-Nya, dan memuliakan Dia. Allah tidak pernah melupakan anak-anak-Nya yang terhilang. Ia akan menjamu kedatangan mereka kembali, di saat mereka bertobat meminta ampun dan mengakui pemberontakannya. Apakah kita justru terus mengeraskan hati kita dan merasa bahwa kerohanian kita sudah cukup untuk membawa kita dekat kepada Allah?

Saat ini, peperangan utama telah dimenangkan oleh Kristus bagi umat yang percaya kepada Dia. Di lain sisi, pergumulan setiap harinya dengan dosa terus berlanjut di dalam diri setiap orang percaya. Karena itu, kita memerlukan teladan kasih dan pengorbanan dari Kristus. Tanpa mengenal Kristus, tidak ada kasih dan pengorbanan yang sejati. Bagi banyak orang, mengorbankan hidup untuk Allah memang tidak mudah. Namun kita seharusnya yakin dapat berusaha memperjuangkan hidup yang berkenan di hadapan Allah karena Kristus telah terlebih dahulu membawa kemenangan bagi kita.

Kasih Allah dan pengorbanan-Nya bagi kita begitu besar. Kata-kata tidak akan pernah cukup untuk dapat mendeskripsikannya. Momen Natal menjadi waktu yang tepat untuk merasakan kasih Allah yang secara sempurna terpancarkan melalui kelahiran Yesus Kristus. Mari kita mengucap syukur dan bersukacita atas kedatangan Sang Mesias. Karena Kristus lahir, kita yang berdosa berpengharapan. Marilah kita bersukacita, sebab kematian tidak lagi menjadi opsi satu-satunya bagi kita di dunia ini, karena Kristus telah lahir!

Edwin Tjokro
Pemuda MRII Berlin