,

The Bible and Me

The Bible and Self

Agustinus pernah memohon kepada Tuhan, ”O God, let me know you. Let me know myself. That is all.”[1] Ini adalah suatu permohonan tulus yang tidak akan pernah mendapat jawaban langsung dari Tuhan, memerlukan proses yang panjang bahkan seumur hidup, karena terdapat misteri yang begitu besar di dalam pribadi Allah dan manusia itu sendiri. Proses pengenalan diri dalam hidup seseorang adalah proses yang sangat penting karena ketika seseorang mencoba mengenal dirinya melalui sarana atau sumber yang salah, orang tersebut akan menderita selama dia hidup. “What I have determines who I am”-salah satu prinsip yang keliru ini akan membuat seseorang selalu sibuk dan menghabiskan seumur hidupnya untuk menggapai hal yang fana, sampai suatu ketika dia sadar bahwa dia sedang berjalan tanpa arah dan kosong. Satu-satunya sumber pengenalan diri yang sejati adalah Alkitab, melaluinya Pencipta mewahyukan tujuan penciptaan kepada ciptaan-Nya.

Pembacaan Alkitab seharusnya membawa kita semakin mengenal diri – pengenalan diri sebagai umat pilihan yang dianugerahkan keselamatan dan sangat berharga di mata-Nya, juga pengenalan diri sebagai manusia berdosa yang najis dan kotor di hadapan Allah yang kudus. Kita adalah pendosa yang dikasihi (beloved sinners). Pengenalan diri ini terjadi ketika kita membaca Alkitab, karena sebenarnya saat itu juga kita sedang dibaca oleh Alkitab. Proses ini bukan suatu proses yang nyaman, karena semakin ditelanjangi oleh Alkitab semakin pula seseorang akan menyadari betapa buruk dirinya, sedangkan manusia cenderung ingin menutupi hal tersebut bahkan kalau bisa dari dirinya sendiri. Proses ini membutuhkan kerendahan hati seseorang di hadapan Tuhan dan manusia. James Houston menulis, “Physics and chemistry may be the appropriate disciplines for understanding matter, but humility is the appropriate way for anyone to understand themselves.”[2]

Anselm, the great medieval scholar, menulis sebuah puisi yang menggambarkan kerendahan hati yang dialami ketika menyadari dilema di dalam dirinya.

Oh painful dilemma!

If I look into myself, I cannot endure myself.

If I look not into myself, I cannot face myself.

If I consider myself, my own face appalls me.

If I consider not myself, my damnation deceives me.

If I see myself, the horror is intolerable.

If I see not myself, death is unavoidable.[3]

The Bible and Mine

Wonder, which is the beginning of all deeper understanding, is an equivocal passion, involving both fear and happiness.”[4] Rasa takut yang dialami ketika kita sadar akan keberdosaan dan kenajisan diri di hadapan Allah yang Maha Suci, serta rasa sukacita ketika kita menyadari bahwa kita telah diberikan anugerah dan rahmat Allah yang tidak terbatas adalah dua sikap hati yang seharusnya tidak boleh terpisahkan di dalam hati anak-anak Tuhan. Rasa takut yang tidak dibarengi dengan sukacita akan mengakibatkan kita hidup di dalam keputusasaan dan beban berat, sedangkan sukacita yang tidak dibarengi dengan rasa takut akan mengakibatkan kita hidup sembarangan dan kompromi terhadap perintah Tuhan.

Di dalam pergumulan pembacaan Alkitab, sering saya jatuh ke dalam dua respon yang salah. Respon pertama adalah menghakimi diri (self-condemnation) yaitu saat di mana saya menyadari betapa berdosanya diri saya dan terus menerus menghakimi diri sendiri sehingga membuat saya hidup di dalam ketakutan dan tidak ada sukacita yang sejati. Dan di saat seperti ini, malahan saya masih dapat berbangga diri dan berpikir bahwa saya telah semakin dekat kepada pengalaman Paulus ketika dia mengatakan bahwa di antara orang percaya, dialah yang paling berdosa. Tetapi sebenarnya saat itu saya sedang sombong dan telah gagal mencicipi kebaikan dan rahmat Tuhan yang kekal dan abadi. Saya lebih memilih untuk hidup sebagai budak daripada sebagai anak.

Respon kedua adalah membenarkan diri (self-made righteousness) yaitu saat di mana saya merasa diri baik bahkan lebih baik atau lebih rohani dibanding orang lain dan lebih parah lagi ketika saya berpura-pura rendah hati di dalam kesombongan hati ini. Saat itu saya bersukacita karena kebaikan atau tingkat kerohanian yang saya pikir telah berhasil saya capai tetapi sebenarnya saya telah gagal memiliki hati yang takut akan Tuhan.

Kedua respon ini adalah respon yang salah di hadapan Tuhan – respon yang berakar dari kesombongan diri. “When a man is alone and silent before God, he becomes a sinner! Learn first to be alone, thus you will learn true worship which is to think highly of God and humbly of yourself – not more humbly of your neighbor, as if it lent you distinction, but remember you are in the presence of God – not more humbly than of your enemy, as if that made you better, for remember, you are before God.”[5] Ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain tanpa motivasi yang benar, kita akan jatuh ke dalam kesombongan. Datanglah ke hadapan Tuhan dengan seorang diri dan meminta anugerah untuk memampukan kita menempatkan diri di posisi yang seharusnya.  

The Bible and I

Pembacaan Alkitab yang seharusnya God-centered dapat membuat kita semakin self-centered tanpa kita sadari. Saya akan mencoba memberikan dua contoh kasus yang pernah terjadi dalam pergumulan saya. Saat saya bergumul dengan perintah Tuhan, standar hukum yang begitu tinggi dan radikal membuat saya terus menerus kecewa dan putus asa. Pergumulan ini tanpa saya sadari telah mengakibatkan saya semakin melihat pada diri (self-centered) dan lupa mengarahkan pandangan saya kembali kepada Kristus (God-centered).

Saat mata saya hanya menuju kepada diri saya sendiri, yang terlihat hanyalah kebobrokan dan kerusakan diri, tetapi ketika saya mengembalikan pandangan saya kepada Kristus, saat itulah saya kembali dapat melihat adanya pengharapan, pengampunan, serta pemulihan diri yang sejati. Ketika kita menginstropeksi diri dan menemukan cacat-catat diri, biarlah proses ini membuat kita semakin menyadari bahwa kita membutuhkan Kristus dan belas kasihan Tuhan setiap saat. Perintah Kristus memang sangat radikal, tetapi kasih Kristus juga tidak kurang amat sangat radikal.

Kasus kedua bersangkutan dengan pemilihan bacaan Alkitab, misalnya ketika saya sedih saya cenderung memilih kitab Mazmur. Saya akui bahwa Tuhan selalu kembali mengingatkan saya akan penyertaan-Nya dan membawa saya kembali memuji and bersyukur kepada Tuhan melalui kitab Mazmur. Firman adalah untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang di dalam kebenaran (2 Tim 3:16). Tetapi saya menyadari bahwa saya sering membaca Alkitab untuk kepentingan saya sendiri dan bukan karena kecintaan akan Firman itu sendiri. Kecintaan terhadap diri masih lebih besar dibanding kecintaan terhadap Firman. Ketika ditanya, “Kenapa Anda mencintai Firman Tuhan dan membacanya setiap hari?” Beberapa jawaban yang mungkin muncul di pikiran kita adalah, “Karena saya membutuhkan Firman untuk membimbing saya, memberikan saya kekuatan dan penghiburan di saat saya jatuh, dan membentuk karakter saya.” Dengan kata lain saya mencintai dan membaca Firman untuk kepentingan diri saya sendiri. Bahkan ketika kita menjawab bahwa kita membaca Alkitab untuk mengenal pribadi Allah lebih dalam, kita harus jujur apakah pengenalan akan Allah adalah hanya untuk memuaskan kebutuhan intelektual kita?

Cintailah Firman karena Firman itu adalah perkataan Tuhan yang hidup dan yang kita kasihi. Saya bukan mengatakan kalau jawaban-jawaban di atas tidak benar. Tetapi jika kita membaca Alkitab sebatas untuk kemajuan atau kepentingan diri saja maka kecintaan kita akan Firman masih dangkal. Maka tidak heran jika kita sering menjadi enggan dan malas membaca Alkitab saat kita merasa kebutuhan emosi dan intelektual kita tidak dipenuhi, bahkan kita tidak pernah membaca sebagian dari Alkitab karena menganggap itu tidak relevan atau berguna untuk hidup kita. Jadi, sungguhkah kita mencintai Firman Tuhan?

The Bible and Me

Seorang teman kerja saya yang suka sekali membaca novel pernah mengatakan, ”The reality is so painful and novels help me to create another world that I dream of.” Dan seorang teman lain yang keluarganya mengalami kesulitan keuangan pernah mengatakan, “I do not dare to call my parents because I am too scared to face the reality.” Life is difficult! Hidup di dalam realita yang tidak gampang cenderung membuat manusia ingin  menghindar dan bahkan menyembunyikan diri di dalam dunia impian mereka sendiri. 

Kejadian-kejadian yang penuh dengan kemenangan dan janji-janji Tuhan di dalam Alkitab juga sering diperalat oleh umat Kristiani untuk membius diri mereka dari realita yang sesungguhnya. Tidaklah salah apabila kejadian-kejadian kemenangan umat Kristen yang tercatat di Alkitab dan janji-janji penyertaan Tuhan selalu memberikan kekuatan dan pengharapan bagi kita, tetapi apabila kita sampai selalu berfokus pada hasil akhir dan melupakan proses yang harus dilalui maka kita sedang melarikan diri dari perjuangan hidup.

Alkitab seharusnya menyadarkan dan mempersiapkan umat Kristen untuk menghadapi tantangan dan realita hidup, bukannya malah melarikan diri. Salib yang harus ditanggung oleh Kristus karena dosa manusia, penjualan Yusuf oleh saudaranya sendiri, perzinahan yang dilakukan oleh Daud, dan mati martir yang dialami oleh banyak pengikut Kristus bukanlah realita yang menyenangkan, tetapi itulah realita. Kemenangan yang diterima oleh umat Kristen bukanlah kemenangan yang melupakan tanggung jawab, tetapi kemenangan yang dilalui dengan perjuangan dan air mata di dalam terang Firman Tuhan.

Pergumulan yang kita hadapi dalam membaca dan mentaati Firman Tuhan adalah pergumulan sepanjang hidup dan pergumulan yang tidak gampang dalam dunia berdosa ini. Semakin kita bergumul dengan Firman, semakin kita sadar bahwa diri kita tidak mampu menjalankan Firman itu dengan kekuatan sendiri. Hal inilah yang seharusnya semakin menyadarkan kita bahwa kita membutuhkan anugerah Tuhan dan tidak ada tempat untuk kesombongan diri. Semakin kita bergumul dengan Firman, semakin kita akan disadarkan bahwa kita hidup hanya karena anugerah, dan seharusnya kita juga hidup di dalam anugerah dan bukan lagi di bawah hukum, hidup yang dipenuhi cinta kasih Allah yang telah memilih untuk mengasihi kita bahkan saat kita masih berdosa.

Finally, bacalah Firman agar kita dibaca oleh Firman! Itulah pergumulan yang seharusnya terus-menerus kita jalankan dalam hidup ini – suatu pergumulan rela dibongkar, ditelanjangi, ditundukkan, dan diubahkan oleh Firman seturut kerelaan kehendak Sang Pemberi Firman. Soli Deo Gloria!

Sofia Tioanda

Pemudi GRII Singapura


[1] John Chong Ser Choon, On The Cross Road. Armour, 2006. Hal. 6.

[2] James Houston, The Transforming Power of Prayer. Navpress, 1996. Hal. 30.

[3] Ibid. Hal. 29-30.

[4] Kierkegaard, Thoughts on crucial situations in human life. Augsburg Publishing House, 1941. Hal. 20.

[5] Ibid. Hal. 30.