Tradisi memberikan hadiah ulang tahun untuk teman di lingkaran terdekat kita adalah hal yang tidak asing untuk dilakukan. Kita memberikan hadiah karena mereka adalah teman-teman yang kita anggap spesial dan layak mendapatkan hadiah. Dengan kata lain, hadiah itu merupakan ekspresi kedekatan dalam kita berelasi. Saking spesialnya, saking dekatnya, kita bisa patungan dengan teman-teman yang lain untuk memberikan kado yang mahal. Hal demikian kita lakukan berulang dan sudah menjadi sebuah tradisi dalam keseharian kita. Dari sebuah tindakan kasih, kemudian berkembang menjadi sebuah kebiasaan hingga akhirnya menjadi sebuah budaya atau tradisi.
Pada awalnya, hal ini memang menyenangkan. Kita bisa mewarnai kalender kita dengan tanggal ulang tahun teman-teman kita, agar tidak lupa membeli hadiah dan memberikannya tepat waktu. Kita bungkus seindah mungkin. Bahkan kita tidak akan ragu mengeluarkan uang, tenaga, dan waktu yang kita punya. Semua ini kita lakukan untuk mengekspresikan kasih kepada teman kita ini. Akan tetapi setelah beberapa tahun, kita mungkin akan merasa jenuh dan bosan dengan aktivitas tersebut, dan lama-kelamaan seolah menjadi sebuah kewajiban. Ketika hal ini terjadi, bukankah itu berarti relasi kita mulai memudar? Ada orang yang berusaha untuk terus melakukannya demi mempertahankan relasi, sehingga aktivitas yang tadinya merupakan sebuah ekspresi atau manifestasi kasih akhirnya hanya tersisa sebagai aktivitas tanpa esensi, tanpa kasih.
Dalam 1 Korintus 13:1, Paulus mengatakan, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.” Rasul Paulus ingin mengatakan bahwa saat kita melakukan sesuatu tanpa didasarkan pada kasih, kita sedang melakukan tindakan yang kosong dan tak bermakna.
Bukankah hal serupa terjadi di dalam relasi kita dengan Tuhan? Ketika kita baru bertobat, relasi kita dengan Tuhan terasa begitu dekat, kita sangat rajin berdoa, membaca Alkitab, dan melayani. Semua hal itu kita lakukan dengan sungguh-sungguh sebagai ungkapan kasih kita kepada Tuhan. Namun, lambat laun semuanya itu jadi membosankan, dan akhirnya relasi kita dengan Allah menjadi superfisial, bagaikan orang yang bekerja di dalam korporasi besar. Kita melayani di gereja dengan alasan bahwa itu adalah sebuah kewajiban. Bahkan ada juga yang berpikir bahwa dengan melakukan semua aktivitas rohani ini, kita bisa diselamatkan. Kita berbuat baik sebanyak mungkin demi membangun relasi yang membawa kepada keselamatan. Namun, semua itu hanyalah aktivitas demi [keselamatan] diri daripada membangun relasi yang sungguh-sungguh dengan Allah. Seperti Yudas yang memperlihatkan aksi kasih “mencium” Yesus, tetapi sesungguhnya itu adalah simbol penjualan gurunya, Tuhan Yesus, demi mendapatkan keuntungan 30 keping perak. Semua hanya facade saja.
Situasi seperti ini adalah hal yang hampir tidak terhindarkan di dalam kehidupan berelasi kita. Alkitab menyatakan bahwa orang demikian adalah orang-orang yang sudah melupakan kasih mula-mula. Relasi mereka dengan Allah tidak jauh berbeda dari relasi dengan teman-teman mereka. Relasi dengan Allah yang seharusnya kudus, tidak jauh berbeda dari relasi dengan teman-teman mereka yang dinodai oleh dosa dan keegoisan serta kebosanan. Sebagai orang Kristen, kita perlu dengan tepat menyikapi hal ini, bukan dengan cara dunia tetapi dengan ajaran Alkitab. Mari kita melihat bahwa satu-satunya cara membangun relasi yang benar adalah dengan menaruh fondasi relasi kita di atas relasi kita dengan Allah, bukan sebaliknya.
Esensi dari Relasi
Pada zaman digital ini, kita mengukur besarnya kasih yang kita peroleh dengan jumlah jempol dan hati digital. Makin banyak jempol dan hati yang kita peroleh di media sosial, makin kita merasa bahwa orang-orang di sekitar kita suka dan mengasihi diri kita. Cara pandang seperti ini adalah cara pandang materialistis karena ukuran kasih atau relasi dengan teman kita adalah respons orang lain terhadap aksi kita. Maka tidaklah mengherankan jikalau kita menganggap baik atau tidaknya kemampuan seseorang di dalam relasi itu diukur dari jumlah teman atau kenalannya. Bukan hanya itu, kedekatan relasi dengan seseorang pun dihitung dari jumlah waktu atau lamanya kita berelasi dengan orang tersebut. Kuantitas relasi dengan seseorang menjadi ukuran bagi kualitas relasi kita dengan orang itu.
Pada kenyataannya, kualitas tidak dapat digantikan dengan kuantitas. Karena kuantitas relasi yang banyak tidak menjamin relasi yang baik. Lebih baik mempunyai satu teman yang setia dan sungguh, di mana kita bisa saling terbuka, menerima, dan membangun, daripada memiliki 100 teman yang menyukai facade kita saja. Lebih baik mempunyai teman yang bisa berbincang secara mendalam meskipun tidak bertemu beberapa tahun daripada teman yang kita temui setiap hari tetapi tetap canggung. Ini adalah sebuah kenyataan yang harus diakui oleh semua orang di dunia ini, baik orang percaya maupun tidak percaya. Namun, kekristenan tidak berhenti pada poin membangun pertemanan saja, tetapi kita perlu mengerti apa yang menjadi esensi dalam berelasi. Semua orang mengetahuinya, esensi dalam berelasi adalah kasih.
Paulus mengatakan,
“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” (1Kor. 13:4-7)
Di dalam bagian ini, kita dapat melihat banyak istilah yang berkaitan dengan relasi yang dituliskan oleh Rasul Paulus. Dengan jelas dinyatakan bahwa seluruh kualitas relasi terkandung di dalam kualitas utama dari sebuah relasi, yaitu kasih. Karena itu, relasi yang kehilangan kasih adalah relasi yang juga kehilangan seluruh kualitas lainnya. Masihkah relasi yang kehilangan kasih dapat dikatakan sebagai relasi sejati?
Distorsi di dalam Relasi
Sebagai keturunan Adam yang pertama, seluruh manusia telah jatuh ke dalam dosa. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah telah rusak di dalam seluruh aspek kehidupannya, termasuk di dalam relasi. Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa kerusakan relasi pertama kali terjadi ketika manusia pertama memutuskan untuk memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat, lalu Tuhan bertanya mengenai apa yang telah mereka perbuat (Kej. 3:11-13). Di dalam bagian ini, jelas tercatatkan bahwa Adam menuduh Allah dan juga Hawa terkait kejatuhan dalam dosa.
Seluruh relasi kita, baik terhadap Allah maupun sesama telah didistorsi oleh dosa. Seperti yang sudah disinggung pada bagian awal, bahwa di dalam relasi, manusia cenderung menggeser esensi relasi dan menggantikannya dengan hal-hal yang seharusnya menjadi ekspresi atau manifestasi. Kita tidak lagi dapat mempertahankan relasi yang sejati. Relasi yang terdistorsi menggeser fokus kita ke dalam diri. Kita memilih untuk hidup demi diri sendiri sehingga mengasihi yang lain dengan kemurnian hati menjadi hal yang tidak mungkin dilakukan. Selalu terdapat motivasi yang egois dalam keberdosaan di balik relasi kita dengan siapa pun.
Kita dapat melihat adanya sekelompok orang yang sangat mementingkan budaya atau tata krama. Budaya atau tata krama ini dilihat sebagai penjaga relasi. Pelanggaran tata krama diidentikkan dengan perusakan relasi. Aktivitas dalam hal ini menjadi esensi untuk menentukan relasi. Padahal tata krama ini adalah ekspresi dari esensi relasi yang sesungguhnya, yaitu kasih. Namun, aktivitasnya sering kali dihadirkan tanpa ada esensinya. Tata krama bukan untuk memperjuangkan esensi dan tujuan awal dari tradisi tersebut tetapi bergeser kepada aktivitas belaka itu saja. Kita sering melakukannya, kita mengejar ekspresi tanpa menginginkan esensi. Kita mengabsolutkan ekspresi tanpa memperjuangkan esensi. Kita mengejar sesuatu yang bukan kita butuhkan dan pengejaran demikian tidak akan pernah cukup. Kita mengejar ekspresi untuk mengisi kekosongan esensi, kita mengejar aktivitas untuk mengisi kekosongan hati, kita mengejar aktivitas untuk mengisi kekosongan relasi. Yang kita butuhkan sesungguhnya bukan aktivitas, tetapi kasih.
Kita juga sering “mempercantik” pertemanan kita tanpa memperdalam relasi itu sendiri. Kita mengejar penampakan relasi kita agar terlihat begitu ideal dan sempurna. Kita bangga ketika ada yang iri dan ingin memiliki relasi seperti kita. Kita mungkin saja dapat membuat orang kagum akan relasi yang terlihat dekat, tetapi pada kenyataannya relasi ini tidak memiliki kedalaman, atau hanya bersifat superfisial. Akibatnya, saat masalah tiba, orang-orang yang dianggap sebagai teman dekat ini bisa dengan cepat meninggalkan kita atau kita meninggalkan mereka, karena dari awalnya memang relasi ini dibangun tanpa esensi. Inilah distorsi di dalam relasi yang kehilangan kasih yang sejati.
Kasih yang Sejati
Di sepanjang sejarah umat manusia, kita hanya bisa menemukan kasih yang sejati di Golgota, yaitu di dalam diri Yesus Kristus. Tuhan Yesus mengorbankan diri-Nya di atas kayu salib, supaya mereka yang percaya kepada-Nya boleh diselamatkan dan lepas dari hukuman dosa. Dia tidak pernah sekali pun berdosa. Dialah manusia sempurna yang mengasihi Allah dan sesama. Kasih inilah yang merupakan kasih sejati. Yohanes 15:13 mengatakan, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Oleh karena itu, kasih sejati adalah kasih yang Tuhan Yesus nyatakan bagi umat tebusan-Nya. Kasih yang mengorbankan diri bagi umat-Nya yang sudah mengkhianati-Nya dan juga sering kali mendukakan hati-Nya.
Di dalam belas kasihan-Nya, Dia memanggil kita untuk kembali dan berekonsiliasi dengan Allah dengan menanggung hukuman dosa kita di atas salib. Allah telah menunjukkan bukti kasih tak bersyarat-Nya yang sempurna kepada kita. Allah memanggil umat-Nya kembali kepada-Nya. Inilah fondasi paling dasar di dalam kita membangun relasi yang sejati. Allah yang telah terlebih dahulu mengasihi dan berekonsiliasi dengan manusia. Kasih sejati bukan lagi hanya ilusi, kasih sejati adalah fakta. Dengan demikian, relasi yang sejati dimungkinkan di dalam Kristus yang telah mati dan bangkit bagi kita.
Rasul Paulus juga berkata bahwa kita harus mengejar kasih dan mengusahakan diri kita untuk memperoleh karunia-karunia Roh (1Kor. 14:1). “Mengejar dan mengusahakan diri” ini berarti kita bukan menjadi penumpang yang berasumsi bahwa Allah akan menyetir kita menjadi orang yang mampu mengasihi sesama secara otomatis dan instan. Kita harus penuh kesadaran menjalankan bagian kita dalam membangun diri supaya kita mampu mengasihi Allah dan sesama lebih lagi.
Kasih Allah merupakan motor penggerak dalam menyatakan kasih kepada sesama, termasuk juga mengasihi Allah itu sendiri. Dengan kasih Allah sebagai fondasi dan sumber di dalam kita mengasihi sesama, maka kita dipimpin dan dimampukan oleh Allah untuk kembali membangun esensi yang sejati di dalam berelasi, yaitu kasih. Kasih yang demikian adalah kasih yang rela mengorbankan diri bagi orang lain dan yang dimanifestasikan di dalam perbuatan bagi kebaikan orang lain.
Kita tidak diciptakan dan dikasihi agar hadir sebagai penampung kasih belaka, namun kita diciptakan dan dikasihi agar kita mampu menjadi saluran kasih melalui relasi-relasi kita di dunia ini. Kasih tidak pernah egois, kasih tidak pernah hanya untuk diri; kasih selalu untuk sesama. Dengan kasih Allah inilah kita juga menjalankan ibadah dan pelayanan kita. Bukan dengan motivasi untuk mengaktualisasikan diri atau membangun image diri, tetapi sebagai ucapan syukur atas anugerah keselamatan yang Tuhan berikan, serta kasih dan kepedulian kita kepada sesama yang dinyatakan melalui pelayanan. Inilah relasi sejati kita dengan Allah yang diekspresikan melalui kasih kepada sesama.
Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa mengasihi sesama artinya memberikan hidup kita, bukan demi diri, melainkan untuk menyempurnakan hidup orang lain. Mari kita bersandar kepada Tuhan, yang dengan kasih-Nya boleh mendorong kita makin mengasihi sesama kita dengan sungguh-sungguh. Mari kita belajar menuntut diri untuk menjadi wadah kebenaran Allah yang makin luas, dan menuntut diri untuk menjadi saluran berkat bagi orang lain, menyatakan kasih sejati kepada orang-orang di dunia ini. Kiranya Tuhan menolong kita!
Samuel Christopher Ng
Pemuda FIRES