The Marks And Source Of Biblical Boldness

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan gereja hari ini adalah hanya sedikit orang Kristen yang berani menyatakan kebenaran. Kebanyakan orang Kristen lupa bahwa Allah yang mengutusnya adalah Allah yang besar. Orang Kristen pada umumnya masih kagum akan kebesaran Tuhan di dalam alam semesta, khususnya ketika melihat hal-hal yang menakjubkan, misalnya ketika sedang travel ke suatu tempat. Namun kebesaran Allah di dalam penginjilan sudah tidak menarik lagi dan mungkin percaya hanya setengah-setengah. Padahal pola penyataan kebesaran Allah di dalam menciptakan dunia ini dan di dalam menyelamatkan orang-orang yang dikasihi-Nya tidaklah berbeda.

Allah sendiri memiliki komitmen total akan penginjilan melalui Kristus yang telah taat menjalankannya. Namun persetujuan kita akan fakta ini jika tidak diikuti aplikasi praktis dalam hidup, kita sudah dipastikan kalah sebelum peperangan dimulai. Ketakutan dan keraguan mengenai pekerjaan penginjilan sering kali menghilangkan dampak fakta-fakta yang kita imani. Kita tidak sadar bahwa kita gagal bersaksi ketika waktunya harus bersaksi. Hal ini terus-menerus terulang. Adanya ketakutan yang besar terjadi di saat-saat seperti itu. Ketakutan yang demikian seharusnya tidak ada ketika kita ingat bahwa Ia telah memberi kita kuasa sebagai anak-anak Allah yang memperanakkan kita bukan dari darah dan daging tetapi dari Roh. Dalam konteks ini, penginjilan pun bukanlah tugas yang asing, pilihan, atau tambahan.

Orang-orang percaya memiliki identitas baru karena Roh Kristus hidup dan bekerja di dalam mereka. Identitas baru ini pasti memimpinnya kepada hidup yang bersaksi karena the Spirit has been commissioned by Christ to bring the gospel to the world. Setelah Pentakosta, the Spirit became Christ’s missionary presence in the world. Dalam Kisah Para Rasul 1:8 Ia hidup di dalam setiap orang percaya sebagai the Spirit of witness. Dalam 1 Yohanes 5:7 dikatakan And the Spirit is the witness because the Spirit is the truth. Roh Kudus memiliki perhatian yang paling penting di dalam hidup orang Kristen untuk memberi kesaksian tentang penebusan yang bersifat subtitusi akan orang berdosa melalui darah Kristus.

Pemahaman mengenai doktrin Roh Kudus akan menolong kita sebagai gereja untuk mengubah sikap kita terhadap tugas penginjilan. Penginjilan di dalam gereja kita sudah terlalu sering disebutkan dan diperintahkan supaya kita sebagai jemaat harus menginjili. Namun hal yang mendasar ini sering kali hanya diingat sebagai salah satu dari tugas gereja selain mengajar dan menggembala. Lalu ayat yang diingat biasanya adalah Matius 28. Ini tidak salah, namun kegagalan dalam mengaitkannya dengan Roh Kudus dan hubungannya dengan hidup orang percaya akan mematikan kita di dalam penginjilan. Kita hanya tahu harus menginjili, tetapi adanya ketakutan dan tidak menemukan kesaksian pribadi kita sebagai bagian dalam tugas yang sedang berlangsung dalam kerajaan Kristus. Jika benar bahwa kita menjadi takut karena tidak memiliki kesaksian pribadi yang cukup berarti fokus kita telah salah karena kita mengandalkan rasa percaya diri kita dan bukan percaya bahwa kekuatan untuk berani bersaksi adalah berasal dari Roh Kudus.

Keberanian (boldness) memiliki tiga karakter: contrition, certainty, dan confrontation. Kesakian yang berani yang kurang memiliki karakter yang benar hanya akan menjadi sekadar agresif dan sangat lancang dengan kata-kata yang berasal dari kedagingan dan bukan dari Roh Kudus. Namun, ketika orang percaya meminta Roh Kudus memberikan keberanian yang Alkitabiah akan menjamin bukan hanya mengalahkan ketakutan yang berada dalam diri kita, tetapi juga pertobatan akan jiwa-jiwa ketika kesaksian itu memiliki tanda akan realitas ilahi.

Contrition atau kesedihan akan dosa, mungkin sedikit sekali hubungannya dengan keberanian dalam bersaksi, tetapi Alkitab mengindikasikan bahwa mereka yang bersaksi dengan kekuatan dari Roh Kudus didahului dengan kesedihan akan dosa. Air mata pahit akan pertobatan Petrus mendahului transformasi hidupnya. Paulus mendeskripsikan dirinya sebagai the chief of sinners dan a wretched man. Orang Kristen di Yerusalem mengatakan hati mereka tertusuk. Ini juga yang terjadi ketika jiwa-jiwa yang melihat penyaliban Kristus dan juga khotbah Petrus di Pentakosta. Suatu kesedihan yang tidak biasanya ini telah dinubuatkan sebelumnya oleh Zakharia. Kristus yang tersalib dan kesedihan yang mendalam tidaklah terpisahkan.

Banyak yang menilai bahwa penekanan kepada kesedihan memiliki dampak yang tidak sehat bagi jiwa yang terus menolak dirinya sendiri. Namun kesedihan terhadap dosa yang dihasilkan oleh pekerjaan Roh Kudus bukanlah kesedihan yang membawa kepada niat untuk bunuh diri. Kesedihan yang terjadi dalam pertobatan justru memiliki arah yang berbeda yaitu  menyembuhkan, membebaskan, dan membersihkan. Keyakinan ini membawa kita terhindar dari kesaksian diri yang self-righteous.

Pertobatan Alkitabiah adalah kesedihan yang menjadi pintu masuk kepada jaminan total akan pengampunan, devosi pada Kristus, hidup dalam puji-pujian kepada Tuhan, doa, dan kesaksian tanpa takut. Yesaya yang melihat kemuliaan dan kekudusan Allah memiliki keyakinan mendalam akan keberdosaan diri namun langsung diikuti dengan beban akan sesamanya. Ia bukan saja mengaku dirinya najis bibir, tetapi juga hidup di tengah bangsa yang najis bibir. Bukan sekadar rasa takut akan Tuhan yang muncul dalam pertobatan, tetapi juga kasih akan sesama.

Karakter kedua dalam keberanian yang Alkitabiah adalah certainty. Dalam kehidupan sehari-hari saja orang tidak mau percaya kepada orang lain yang ragu-ragu dan tidak memiliki jawaban yang pasti. Perlunya otoritas dan jaminan menjadi kebutuhan yang lebih serius di dalam masalah iman. Kita tidak bisa mengajak orang untuk percaya kepada hal yang kita sendiri hanya setengah percaya (half-believe). Kita bisa bersaksi dengan efektif ketika kata-kata kita mengalir dari kepastian iman yang Allah berikan kepada orang yang rendah hati dan sedih terhadap dosanya.

Roh Kudus memiliki hasrat untuk memberikan kita jaminan yang tak tergoyahkan. Sebagai anak-anak Allah kita diberikan kepastian akan realitas Kristus yang hidup sebagai the Lord of glory. Kita bisa memegangnya dengan dua alasan, yaitu kepastian akan keotentikan kehadiran Roh Kudus dan kepastian fakta akan kesaksian para rasul. Kedua hal ini ternyatakan di dalam pernyataan dari Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya, “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku. Tetapi kamu juga harus bersaksi, karena kamu dari semula bersama-sama dengan Aku” (Yoh. 15:26-27). Roh Kebenaran memimpin iman para rasul untuk setia kepada fakta yang mereka lihat dan terus memberitakannya. Maka Roh Kudus yang adalah Saksi utama akan pekerjaan Kristus bertindak melalui kesaksian para rasul yang pesannya telah dicantumkan dalam Alkitab yang sempurna.

Message yang tidak bersalah tersebut harus memimpin kita kepada keyakinan yang kuat dalam kesaksian kita. Mengapa banyak orang Kristen yang memegang Alkitab namun kurang percaya? Mungkin sekali segala kebenaran dalam Alkitab hanya sekadar disetujui dengan mental yang sederhana. Kristus tidak menjadi realitas yang menarik bagi mereka. Tidak heran mereka takut bersaksi.

Ketiga adalah confrontation. Keyakinan akan salib memberikan jalan menuju mahkota, kita didorong untuk menghadapi orang dengan Injil. Karena Kristus sebagai Raja berhak mendapatkan tekuk lutut dari manusia. Penginjilan bukanlah pekerjaan manusia, tetapi Kristuslah pemimpin missionary movement dan Ia memiliki segala kuasa di surga dan di bumi. Konfrontasi membutuhkan pesan yang jelas karena pertobatan yang sungguh-sungguh memerlukan pengertian yang jelas juga. Paulus menyatakan keberanian (Ef. 6:20) dan kejelasan (Kol. 4:4) dalam berbicara. “Bold” dan “Clear” dipakai bergantian oleh Paulus yang mengingatkan kita bahwa konfrontasi bukanlah dominasi psikologis yang tricky,tetapi presentasi akan kebenaran yang membawa pribadi menghadap Kristus. Dalam Kisah Para Rasul, karakter yang dinyatakan adalah kejelasan, spesifik, dan konfrontasional. Mereka menyentuh hati orang dengan poin-poin yang sangat rentan bagi mereka. Dalam Pentakosta Petrus menegur pendengarnya sebagai pembunuh Anak Allah. Di Atena Paulus menegur penyembahan berhala orang-orang Yunani.

Konfrontasi demikian bukan berarti kita mengabaikan sikap yang baik dan memaksakan kebenaran kepada orang yang tidak siap menerimanya. Kita tetap harus menghormati dignitas manusia dan penuh dengan kesabaran. Tetapi kita juga harus menerima bahwa konfrontasi adalah norma yang Allah berikan yang dibutuhkan dalam pekerjaan penginjilan.

Ada hal lain yang disediakan Allah sebagai alat-Nya bagi kita untuk mempersiapkan orang bisa menerima pemberitaan kita, yaitu doa. Ini membongkar akan perasaan bahwa diri kita cukup. Roh Kudus jugalah yang membawa doa kita kepada Bapa. Doa-doa kita yang dipimpin oleh Roh Kudus mungkin sering kali terdengar begitu lemah dan tak berdaya, namun di sana membawa nama Kristus yang berotoritas yang dibawa oleh syafaat dari Roh Kudus. Kedatangan Roh Kudus dan doa orang percaya memberikan perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru karena bukan saja kita diperintahkan untuk berdoa, tetapi adanya Roh Kudus yang sudah dikirim diam bersama kita dan menggairahkan hati kita untuk berdoa kepada Allah agar doa kita didengar. Tanpa urapan surgawi, pekerjaan kita hanyalah pekerjaan duniawi. Perkataan kita tidak akan memiliki kuasa jika Roh Kudus tidak berbicara melalui kita, dan orang yang mendengar tidak akan bereaksi apa-apa kalau Roh Kudus tidak menyentuh hati mereka. John Piper mengatakan “God has made the spread of his fame hang on the preaching of his Word; and he has made the preaching of his Word hang on the prayers of the saints.”

Hari ini banyak orang Kristen lebih sensitif terhadap isu doktrinal daripada link antara doa dan penginjilan. Sangat fokus dan berjuang demi kebenaran yang tertulis tetapi tidak peduli bagaimana bersekutu dan berdoa agar Allah menghantar Firman-Nya kepada hati orang berdosa melalui Roh Kudus. Umumnya orang Kristen demikian tidak suka ikut persekutuan doa yang ramai-ramai dan kalau ingat berdoa pun hanya dilakukan secara pribadi di mana orang lain tidak melihat, hanya dirinya dan Tuhan yang tahu sebenarnya apa yang ia lakukan. Di sisi lain ada juga golongan Kristen yang mementingkan doa, namun hanya sebagai komoditas untuk kegiatan-kegiatan gerejawi selanjutnya, khususnya dalam hal fasilitas-fasilitas yang diperlukan.

Mementingkan kebenaran dan kurang doa, dan banyak berdoa tetapi kehilangan esensi akan kehendak Allah kehilangan link antara doa dan kehendak-Nya. Doa memulai jalan penggenapanjanji Allah. Dalam doa, Allah mengizinkan kita untuk memegang visi-Nya sesuai janji yang Ia berikan. Dengan mengklaim janji Allah di dalam doa, kita mengatur pekerjaan Allah untuk bergerak. Sepertinya tidak bisa dipercaya, bahwa Allah yang maha kuasa memakai permohonan kita untuk mengaktifkan penggenapan janji-Nya yang besar dalam sejarah.

Jonathan Edwards sangat mengerti hal ini. Dalam essay “An Humble Attempt to Promote Explicit Agreement in Prayer”  di mana kebangunan dan pekerjaan misionari akan berhasil ketika orang percaya komit untuk sama-sama berdoa syafaat terus menerus. Di tahun 1700-an benar-benar terjadi kebangunan yang berseri. Menurut Edwin Orr, “concert of prayer” ini menjadi sumber yang dinamis di dalam keberanian penginjilan di Amerika Serikat sampai tahun 1858. Begitu juga dalam kehidupan pribadi. Doa syafaat dengan berani mengklaim janji Allah menjadi sumber kekuatan kita bekerja. Ketika kita terlebih dahulu berbicara dengan Allah, kita tidak akan diam di hadapan manusia.

Maka hal yang perlu mulai kita lakukan adalah mendoakan untuk keselamatan orang-orang tertentu tanpa bergantung kepada perasaan kita seperti apa dan tidak bergantung kepada hasilnya yang terlihat atau tidak. Doa-doa demikian bisa terus dilakukan jika kita mengerti dan terus merenungkan pekerjaan Kristus bagi kita, yang telah memberi kita akses kepada Bapa. Kita tidak bisa melakukan aktivitas doa tanpa kesadaran yang jelas. Kita tidak bisa berdoa jika kita menyimpan kegelapan-kegelapan di hadapan-Nya. Kita bukan orphan lagi tetapi sudah diangkat sebagai anak-anak-Nya Allah yang penuh anugerah sehingga tidak ada yang perlu kita sembunyikan. Basis ini tidak berubah, namun pembaruan dan pembersihan diri setiap hari harus dilakukan. Di sini kita menikmati apa itu kebebasan yang sejati di hadapan Allah.

Rasa takut untuk bersaksi tampaknya masih menjadi masalah yang belum dibebaskan dari spiritualitas mayoritas orang Kristen. Jack Miller berkata, “Following Christ into the harvest field is not an enterprise for the faint-hearted or the half-persuaded.”

Chias Wuysang
Pemuda FIRES

Referensi:
John C. Miller, Powerful Evangelism for the Powerless, Publisher: Presbyterian & Reformed, 1980.