The Two Towers

Berbicara mengenai teknologi dalam abad ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing bagi kita. Teknologi telah berkembang dengan sedemikian pesat dan telah menjadi bagian dalam kehidupan kita, khususnya bagi setiap generasi muda pada zaman ini. Hari ini, dapat kita jumpai banyak anak-anak sekolah yang sudah sedemikian mahirnya dalam menggunakan gadget-gadget canggih yang dimilikinya. Bahkan anak balita pun ada yang sudah memiliki iPad sebagai mainannya sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa ini merupakan salah satu gejala dan arus zaman yang sangat signifikan dalam kebudayaan manusia saat ini.

Kecanggihan teknologi pada masa ini telah sedemikian memukau sehingga banyak dari kita yang terpana dan mungkin tidak lagi sadar, apa yang sebenarnya terjadi. Dalam salah satu seminar untuk mahasiswa, Pdt. Dr. Stephen Tong pernah melukiskan abad ke-20 ini sebagai abad yang bodoh. Dengan dasar pemikiran evolusi, teknologi berkembang dengan optimisme yang naïf untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Namun, apa itu “baik” dan “baik” menurut siapa? Kehadiran teknologi seringkali dipuja-puja bagaikan juruselamat dan solusi bagi permasalahan umat manusia. Namun kenyataannya, apa yang manusia idolakan itu justru seringkali membawa kepada malapetaka yang makin besar.

Hari ini kita dapat melihat, negara yang makin maju teknologinya sekaligus menjadi negara yang makin canggih kriminalitasnya. Kemudahan pencarian informasi melalui media internet, dihantui dengan penyebarluasan konten pornografi secara global tanpa bisa dibendung. Meningkatnya permainan komputer dengan grafik yang menakjubkan, disertai dengan isu semakin cepat pula seseorang anak merasa bosan dan kesulitan dalam berkonsentrasi. Ketika I-Thou relationship digantikan dengan I-Phone relationship, tidak sedikit orang yang menjadi ter-alienasi, kesulitan bergaul dan munculnya semangat individualitas yang tinggi. Belum lagi kemajuan teknologi juga tidak lepas dari isu lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.

Inilah suatu realita bahwa kecanggihan teknologi memang berkembang, tetapi seiiring dengan berkembangnya teknologi, justru manusia beserta kebudayaannya menjadi rusak. Seiring dengan canggihnya peradaban manusia, justru kehampaan dan kesia-siaan yang seringkali diperoleh. Seorang yang bernama Paul Tillich pernah mengatakan, “Yang aku lihat bukan reruntuhan jatuhnya bangunan yang indah. Yang aku lihat adalah hancurnya kebudayaan manusia karena kecongkakan filsafat yang salah.”

Dalam pembahasan kali ini saya tidak sedang membawa kita untuk melihat teknologi sebagai suatu hal yang jahat dan harus dibuang dalam kehidupan Kristen. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa teknologi adalah anugerah yang besar bagi umat manusia. Namun bagaimana kita seharusnya ber-teknologi? Bagaimana kita sebagai pemuda mahasiswa yang belajar di universitas berespons terhadap hal ini? Apakah kita mengikuti arus dengan melanjutkan rantai kematian dalam dunia berdosa ini? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sungguh-sungguh harus dipikirkan dan dijawab oleh setiap kita.

STARTING POINT

Dari manakah seharusnya kita memulai seluruh pengetahuan kita, termasuk dalam hal sains dan teknologi? Di dalam Amsal 1:7, dikatakan: “The fear of the LORD is the beginning of knowledge.” Kalau kita teliti lebih dalam lagi, kata “fear” (takut) di sini bukan menunjuk kepada “dread” (kengerian), melainkan “reverence” (takjub/hormat) yang berakhir kepada “worship” (penyembahan/ibadah). Inilah starting point yang penting ketika kita mengatakan diri sebagai seorang pelajar Kristen, bahwa seluruh pencarian kebenaran (pengetahuan) akan dunia ini adalah bentuk ibadah di hadapan Tuhan dan haruenar ketika ia bers terkait dengan Allah. Seorang theolog abad ke-20 bernama Cornelius Van Til mengatakan bahwa seluruh pengetahuan harus dimulai dari Allah. Allah kita adalah Allah Sang Pencipta seluruh alam semesta dan oleh karena itu, seluruh pengetahuan itu adalah bsesuaian atau terkait dengan Allah dan kehendak-Nya. Dengan begitu, barulah kita dapat mengerti ciptaan ini dan menjalani hidup dengan benar-benar benar seperti maksud kita diciptakan.

Kesalahan starting point dalam mengejar pengetahuan akan berakibat fatal. Kebahayaan besar ketika kita tidak mempresaposisikan Allah sebagai dasar kebenaran dari seluruh tatanan dunia ini adalah kita akan terbawa kepada keberdosaan demi keberdosaan yang mungkin tidak kita sadari sama sekali. Banyak dari kita yang pergi ke kampus dengan semangat ingin mengejar kebenaran ilmu pengetahuan. Namun ketika Allah tidak lagi menjadi Raja yang berotoritas atas seluruh mata kuliah yang kita pelajari, benarkah bahwa kita sedang mengejar kebenaran? Tanpa Allah di dalam setiap perkuliahan kita, tidaklah heran jika muncul mahasiswa-mahasiswa yang berkata: “The one best thing that university has done for me is I became an intellectual atheist.”

Mungkin ada sebagian orang yang berpikir, apa hubungannya mata kuliah saya dengan Allah Tritunggal yang dinyatakan oleh Alkitab? Tanpa kenal Allah pun saya bisa mendapatkan nilai A di kampus. Tanpa belajar theologi pun, saya bisa cepat lulus dan gampang dapat kerja. Inilah keterpecahan hidup yang kerap kali terjadi dalam hidup anak-anak Tuhan sekalipun, bahwa sains dan teknologi itu tidak ada hubungannya dengan pribadi Sang Kebenaran yang Alkitab nyatakan. Ditambah dengan semangat zaman postmodern yang cenderung hanya melihat segala sesuatu: apabila bisa berjalan (“it works”) maka sesuatu itu adalah benar, tidak terlalu peduli dengan prinsip/ideologi apa yang ada di baliknya. Sikap tidak peduli terhadap ideologi yang menjadi dasar hidup seseorang justru malah menunjukkan bahwa itulah “ideologi” dari postmodernisme yang sedang mempengaruhi dirinya. Manusia tidak pernah lepas daripada ideologi yang diimaninya, entah ideologinya itu tertuju kepada Allah atau kepada yang bukan Allah.

Peperangan ideologi dalam bidang ilmu itu sangat real meski kadang tidak kita sadari dan telah merasuki pikiran kita (Efesus 6:12). Tidak sebatas hanya dalam bidang ilmu, ideologi dunia ini juga sangat mungkin menyusup dan memperngaruhi manusia dalam menggunakan teknologi. Banyak orang yang melihat cyberspace (dunia cyber) saat ini dengan filosofi monisme di belakangnya. Berbagai aplikasi/game yang ada telah menarik manusia untuk meleburkan diri dan menjadi satu ke dalam hal-hal seperti itu. Bahkan tidak sedikit orang yang pada akhirnya menemukan identitas dirinya di dalam hal-hal seperti account Facebook mereka, karakter game online yang dimiliki, dan sebagainya. Mempunyai 1.000 teman di account Facebook akan membuatnya merasa lebih berarti daripada mengenal teman-teman di persekutuan gerejanya. Sedemikian “melebur” dan menjadi satunya dengan dunia cyber, berbagai kasus mengerikan seperti pembunuhan, pelecehan, bunuh diri, perkelahian gara-gara dunia cyber bukanlah sesuatu hal yang baru di zaman ini.

Demikian sekilas relasi antara sains, teknologi, hidup kita, dan Allah yang kita imani. Berikutnya saya mengajak kita untuk menggumuli bagaimana firman Tuhan seharusnya menjadi pedoman dalam kita berbudaya, khususnya berteknologi dengan benar. Saya akan mencoba mengaplikasikan suatu metode (Implication Method) yang diajarkan oleh Cornelius Van Til dalam bukunya Survey of Christian Epistemology. Saudara dapat membaca buku tersebut untuk lebih memahami metode implikasi Van Til.

INDUKSI

Teknologi merupakan sesuatu yang berbeda dengan sains walaupun terdapat hubungan yang sangat erat di antara keduanya. Sains adalah hasil usaha manusia dalam mengerti/menganalisa hukum-hukum (Law of Creation) atau kebenaran yang Allah tanamkan di dalam seluruh ciptaan ini. Sedangkan teknologi adalah aplikasi manusia terhadap law of creation dalam upaya mengelola alam ini. Oleh karena itu, teknologi dapat dikatakan sebagai anak dari sains, atau sering disebut juga sebagai applied science.

Berbicara tentang teknologi, kita dapat melihatnya dari dua definisi dengan cakupan yang berbeda. Dari cakupannya secara sempit, teknologi dapat kita mengerti sebagai alat (artifact) produksi manusia yang dibuat dari bahan-bahan alam (natural material), contoh: tombak, mobil, pesawat. Sedangkan dalam cakupan luasnya, teknologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem buatan manusia yang mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat, contohnya internet. Dalam arti yang luas ini, teknologi bukan lagi berbicara sekedar alat hasil karya manusia saja (artifact), melainkan sudah merupakan suatu sistem yang terkait langsung dengan kehidupan sosial (social-technology).

Ketika menyangkut kehidupan sosial masyarakat, berarti teknologi tidak lepas dari perkembangan umat manusia. Manusia dirancang oleh Tuhan untuk bertumbuh dan berkembang. Hal ini nampak jelas ketika Tuhan menempatkan manusia sebagai Image of God yang diciptakan untuk menaklukan dan membudidayakan alam ini (Kejadian 1:28). Dalam ordo yang sudah Tuhan tetapkan, jelas manusia adalah Raja atas alam (Crown of Creation) yang menerima mandat dari Allah (sebagai Nabi) dan harus mengembalikan seluruh hasil budidaya ini kembali kepada Allah (sebagai Imam). Ordo ini tidak boleh dibalik atau dikacaukan oleh siapa pun. Jangan sampai alam yang menguasai/menaklukkan kita. Jangan sampai teknologi yang justru mendefinisikan kita – Tech is a good tool, but a bad master.

Dengan semakin bertumbuh dan berkembangnya manusia, teknologi sebagai wujud manusia berkuasa atas alam ini akan semakin nyata. Dalam konteks Fall (setelah manusia jatuh dalam dosa), perkembangan itu dicampuri dengan fakta kejatuhan (dosa) yang terjadi, sehingga kemunculan teknologi sendiri tidak lepas dari pengaruh dosa dan sekaligus menjadi sesuatu yang dibutuhkan dan Tuhan pakai untuk menahan kerusakan yang terjadi. Hingga kini, menjadi suatu tantangan bagi para teknologist untuk semakin memaksimalkan kuasa manusia atas alam dan meminimalkan keterbatasan manusia dalam menguasai alam. Contoh: Manusia zaman sekarang tidak perlu jalan jauh berpuluh-puluh kilometer untuk memberikan surat kepada raja negeri seberang. Setelah terjadinya revolusi industri manusia semakin efektif dan efisien dalam membuat barang produksi. Aplikasi chatting, telepon, video conference yang membuat manusia dapat melampaui keterbatasan ruang dalam berkomunikasi. Contoh lainnya, robot lengan (arm robot) dapat menggantikan tangan manusia yang putus akibat kecelakan.

Teknologi itu hadir sedemikian canggihnya sehingga manusia benar-benar mampu menjalankan kekuasaannya atas alam ini. Dalam hal ini, Vern. S. Poythress memberikan gambaran yang cukup menarik tentang sains dan teknologi, ia menuliskan: “I love science, because it displays God’s wisdom (Proverbs 8:22-31). I love technology, because it shows what great gifts God has given to us, and what great human capacity God has given us to exercise dominion (Genesis 1:28-30). But I see hopes placed in science and technology that they cannot fulfill.”

Melihat perkembangan teknologi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali kecanggihan teknologi begitu memukau dan mengagumkan. Kebudayaan umat manusia nampak begitu hebat, seakan manusia makin mampu berkuasa dan menaklukan alam ini; dari kuda, sepeda, mobil hingga pesawat jet; dari kemah, rumah, hingga gedung pencakar langit. Namun, kenapa hadirnya kecanggihan teknologi ini tetap tidak memberikan kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia? Dalam hal ini perlu ada satu sisi lagi dalam metode implikasi Van Til yang harus melengkapi pembahasan sebelumnya agar kita dapat melihat teknologi secara lebih menyeluruh dan utuh, yaitu jalur deduksi (bagaimana prinsip Alkitab melihat budaya manusia khususnya teknologi).

DEDUKSI

Dalam kitab Perjanjian Lama dicatat ada dua bangunan yang pernah didirikan sebagai wujud dari kebudayaan umat manusia. Dua bangunan yang akan kita bahas di sini ini adalah Menara Babel dan Bait Allah.

Jika kita bandingkan, kedua bangunan ini sama-sama merupakan hasil kebudayaan manusia dalam upaya menaklukan dan mengelola alam. Namun apa yang menjadi perbedaan di antara keduanya? Mengapa bangunan yang satu Tuhan kacau-balaukan, dan yang lainnya Tuhan perkenan bahkan hadir di dalamnya? Bukankah keduanya sama-sama menunjukkan bentuk kebudayaan manusia yang amat mengagumkan?

Inilah poin penting ketika kita hendak berbicara mengenai mandat budaya. Kita tidak dapat memisahkan budaya dari mandat dan Sang Pemberi mandat. Inilah poin yang seringkali dilupakan manusia. Mandat ini di dalam Perjanjian Lama dikaitkan dengan relasi perjanjian (covenantal relationship) dengan Sang Pemberi Mandat. Perjanjian yang menyatakan bahwa Allah adalah Allah kita dan kita adalah umat-Nya (I am your God and you are My people). Di dalam relasi perjanjian ini, kita diberikan anugerah bermandat budaya, artinya kita diberikan kesempatan untuk melakukan kehendak-Nya berkenaan dengan penaklukkan alam di dunia ini. Tanpa terkait dengan kehendak-Nya, seluruh pekerjaan tangan kita hanyalah akan menimbulkan murka Allah (Ulangan 31:29).

Van Til melihat bahwa manusia berdosa selalu ingin menjadi creatively constructive, sementara orang Kristen harus sadar bahwa ia hanyalah seorang yang receptively reconstructive. Sebagai creatively constructive, manusia berdosa akan menggunakan otonomi dirinya secara mutlak untuk secara kreatif membangun segala sesuatu berdasarkan keinginan hatinya. Manusia menjadi sumber, penentu segala sesuatu dengan semangat ingin lepas dari Allah. Sedangkan sebagai receptively reconstructive, manusia hanyalah menerima Kebenaran Allah dan membangun apa yang telah dikehendaki oleh Allah yang berotoritas. Dengan begitu, ia berperan sebagai representatif atau wakil yang menyatakan Allah dan menggenapi rencana kekal-Nya. Di sini kita melihat perbedaan mutlak bagaimana orang Kristen melihat dan menggarap seluruh bidang kultural yang Tuhan percayakan kepada-Nya. Bagaimana merealisasikannya?

Dalam kitab Kejadian dicatat ketika manusia telah jatuh dalam dosa, Tuhan memakai seorang bernama Nuh dengan teknologi bahteranya yang diterima dari Allah (receptively reconstructive) untuk menjalankan kisah keselamatan (redemptive history) Allah. Inilah makna bagi seorang scientist/technologist Kristen di tengah-tengah dunia ini, bahwa ia ikut berbagian dalam redemptive history Allah. Itulah berteknologi yang seharusnya. Makna hidup bukan diperoleh ketika kita mampu menghasilkan teknologi yang super canggih, bukan ketika kita mendapat nilai A di universitas, ataupun ketika kita mampu menghasilkan banyak uang dari kehebatan teknologi yang ada, melainkan makna itu diperoleh ketika pengetahuan yang kita peroleh berelasi dengan Allah dan kita aplikasikan untuk menggenapi rencana kekal-Nya. Karena di situlah kita memanusiakan sebagai manusia. Karena di situlah, covenantal relationship “Allah menjadi Allah kita dan kita menjadi umat-Nya” tergenapi.

Kegagalan kita sebagai kaum intelektual Kristen di tengah-tengah zaman ini mungkin adalah karena dalam menggapai ilmu kita tidak lagi mempresaposisikan Allah sebagai Pencipta, dan dalam berteknologi kita tidak lagi menempatkan panggilan atau kehendak Allah sebagai starting point. Kita seringkali mengatakan segala sesuatu adalah untuk kemuliaan Tuhan. Hidup, kuliah, pekerjaan, ilmu pengetahuan, teknologi harus dikembalikan seluruhnya untuk kemuliaan Tuhan. Kalimat ini sudah kerap kali kita dengar, biarlah kalimat ini boleh sungguh-sungguh kita hidupi sebelum kalimat itu menjadi hambar dan kita menjadi bebal. Maka, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak belajar dengan sungguh-sungguh kedalaman ilmu pengetahuan, sekaligus mengejar pengertian theologi sedalam-dalamnya, dan menghidupi Kebenaran seutuh-utuhnya. Sebagai kaum intelektual Kristen, apa yang kita ingin bangun, Bait Allah atau Menara Babel?

Semoga artikel singkat ini bisa menjadi dorongan dan berkat bagi kita semua untuk hidup sebagai manusia yang benar di hadapan Allah, sampai Sang Raja datang kembali. Pro Rege!

 

Andre Winoto

Pemuda FIRES

Referensi

Seminar Abad yang bodoh – Pdt. Dr. Stephen Tong

A Survey of Christian Epistemology – Cornellius Van Til.

Philosophical Frameworks for Understanding Information Systems – Andrew Basden

In Search of an Integrative Vision for Technology Interdisciplinary Studies in Information Systems (Contemporary Systems Thinking).

Café chat FIRES – www.fires-grii.org