,

Uang, Kekayaan, dan Keuntungan

“Apa yang dicari orang? Uang! Uang! Uang!” Demikianlah penggalan lirik sebuah lagu anak-anak yang sering dinyanyikan di Sekolah Minggu. Lagu ini mendendangkan apa yang terjadi di kehidupan sehari-hari hampir semua orang dewasa di muka bumi ini. Sebuah fenomena nyata yang terus berulang-ulang menggambarkan apa yang tertulis di surat Roma 3:11, “Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah.”

Dari kecil, anak-anak sudah dididik untuk belajar dengan rajin agar memperoleh pekerjaan yang baik dan menghasilkan banyak uang. Sebelum masuk kuliah, anak-anak juga sudah dinasehati untuk memilih jurusan pendidikan yang dapat menghasilkan gaji yang besar. Setiap hari ratusan juta orang berusaha mati-matian untuk mendapatkan lebih banyak uang, untuk menjadi kaya. Uang sudah menjadi sangat penting sehingga saat ini hampir tidak ada orang yang dapat membayangkan hidup tanpa uang. Hidup tanpa uang mungkin menjadi lebih menakutkan daripada kematian. Sebuah rahasia umum dari abad ke abad yang dihidupi jutaan manusia tanpa bertanya kenapa! Mengapakah manusia mencari uang? Mungkin pertanyaan yang lebih tepat, “Mengapakah uang menjadi fokus hidup seseorang?”

Dari sudut pandang ekonomi, uang adalah hasil dari perkembangan peradaban manusia yang menciptakannya sebagai alat tukar dan standar penilaian yang efektif dan efisien. Sebelum ditemukannya uang, manusia menggunakan sistem barter atau tukar-menukar langsung yang seringkali melibatkan barang atau komoditas (kebanyakan hasil alam) yang sulit untuk dipindahtempatkan. Sehingga penemuan uang ini mengakibatkan berkembang pesatnya aktifitas tukar-menukar yang semula hanyalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, menjadi usaha tukar-menukar untuk meningkatkan kekayaan (kemampuan beli) melalui usaha pengambilan keuntungan. Fungsi uang pun kemudian berkembang dari hanya sekedar alat tukar menjadi komoditas. Dunia pun akhirnya ‘berputar’ karena uang, karena dengan uanglah manusia membeli kebutuhan dasar hidupnya dan dengan uanglah barang-barang dasar itu bisa diadakan.

Namun demikian, jawaban ekonomis tidaklah menjelaskan mengapa uang yang tadinya hanyalah alat bantu tukar-menukar akhirnya memperoleh posisi yang begitu tinggi—menjadi pusat perhatian dan bahkan kehidupan seseorang. Jawaban sesungguhnya terdapat di dalam firman Tuhan. Pada awal mula sejarah umat manusia tercatat bahwa manusia ingin menjadi (seperti) Allah yang Mahatahu dan tidak lagi mau diperintah oleh Allah yang benar dan hidup, Sang Khalik alam semesta (Kej. 3). Seperti daya pikat buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat, uang adalah buah dari pohon peradaban manusia yang diyakini dapat membuat manusia menjadi seperti Allah yang Maha Kuasa.

Dengan uang dan kekayaan, manusia mengira dapat memiliki dan menikmati segala hal yang ada di dunia. Dengan uang dan kekayaan, manusia mengira dapat menghindarkan dirinya dari ketidakberdayaan, ketidakamanan, dan kerapuhan hidup manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa dengan kematian sebagai penantinya. Manusia tidak ingin tunduk dan bersandar pada Tuhan atau siapapun selain dirinya sendiri. Tanpa disadari manusia, akhirnya si uang ‘sang penyelamat’ itulah yang menguasai dan membelenggu manusia. Inilah awal mula dan sumber pemberhalaan uang.

Alkitab (1 Tim. 6:10) mencatat bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan. Bahkan karena pemburuan akan kekayaan inilah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. Ia menjadi orang yang kuatir akan kekuasaannya yang diukur oleh uang. Hatinya menjadi seperti tanah yang bersemak-duri (Mrk. 4:18-19). Firman Tuhan yang ditabur tidak pernah berbuah karena ia terhimpit dan tercekik oleh keinginan-keinginan dunia. Oh, sebuah kehidupan yang hampa dan sia-sia!

Karena cinta uang yang didasari oleh keserakahan dan sifat mengingini (covetousness), manusia bertindak tidak adil terhadap sesama manusia agar menjadi tetap atau lebih kaya (Mat. 16:26). Saudara bahkan membenci dan membunuh saudara demi memperoleh kekayaan yang diperebutkan. Majikan atau pemilik usaha mengeksploitasi (kalau bukan memperbudak) pekerja yang dibayarnya tanpa mempedulikan hak-hak dan kebaikan mereka. Pedagang mematok keuntungan setinggi-tingginya tanpa peduli keseimbangan pasar dan dampak negatifnya kepada daya beli barang-barang kebutuhan dasar bagi segmen pasar kalangan bawah. Perusahaan-perusahaan multi-nasional juga hanya peduli mengeruk keuntungan dan bukan meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan tempat sumber penghasilan mereka. Dengan suap mereka menipu dan memperalat aparat pemerintah lokal untuk menguntungkan mereka dan merugikan rakyat setempat. Negara kaya menindas negara miskin melalui peraturan perdagangan internasional yang tidak adil, maupun proyek-proyek penghancur ekonomi dengan kedok proyek bantuan (lihat buku “The Economic Hitman”). Negara juga berperang melawan negara untuk memperoleh sumber kekayaan alam.

Karena pengejaran kekayaan ini pun, alam dirusak dan dieksploitasi seenaknya tanpa memikirkan generasi berikutnya. Bencana alam dan anomali alam pun kian berdatangan. Manusia menuai kelalimannya atas alam. Cinta uang (semakin) merusak relasi manusia dengan Pencipta, sesama, dan alam. Lalu bagaimanakah pandangan yang benar tentang uang, kekayaan, dan keuntungan?

Harus kita sadari bahwa uang yang sudah dianggap sangat penting itu tidak akan ada arti apa-apa tanpa alam yang Tuhan anugerahkan kepada umat manusia. Walaupun sejak penciptaan, manusia diberikan keagungan dan mandat sebagai wakil Sang Pencipta di muka bumi untuk menguasai alam dan ciptaan lainnya (Kej. 1:28-29), Tuhan juga berkehendak agar manusia bukan hanya mengusahakan (âbad) saja namun juga memelihara (shâmar) alam itu (Kej. 2:15). Kedua kata kerja atau mandat yang dipakai di sini adalah dua kata yang harmonis di mana terdapat keseimbangan antara pengelolaan dan pencagaran, serta antara kebebasan dan tanggung jawab. Hal ini menempatkan manusia sebagai penatalayan (steward) yang bekerja dalam bentuk ibadah dan pelayanan mereka kepada Sang Pencipta.

Jelas di sini bahwa uang seharusnya hanyalah alat bantu manusia dalam mengelola bumi untuk kemuliaan Tuhan, kebaikan manusia, dan pemeliharaan alam. Bukan sebaliknya! Betapa seringnya kita membenci Tuhan dan mencintai uang, memperalat manusia dan melayani uang!

Lalu apakah menginginkan kekayaan merupakan suatu dosa? Jawabannya adalah hampir selalu YA! Keinginan seseorang untuk menjadi kaya hampir selalu berasal dari dosa manusia yang tidak ingin tunduk dan bersandar kepada Tuhan. Alkitab juga menulis mereka yang ingin cepat menjadi kaya, tidak akan luput dari hukuman (Ams. 28:20b). Di Amsal 23:4-5 juga dituliskan agar kita meninggalkan niat kita untuk menjadi kaya karena kekayaan itu akan lenyap ketika kita masih menginginkannya. Kita tidak akan pernah mendapatkan kekayaan sejati yang sesungguhnya. Rasul Paulus di suratnya yang pertama kepada Timotius memberikan peringatan yang lebih tajam, “… mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan” (1 Tim. 6:9) seperti yang dipaparkan secara singkat di paragraf-paragraf sebelumnya. Pencarian kekayaan sebagai tujuan tunggal dan utama serta untuk memenuhi kenikmatan-kenikmatan duniawi adalah sesungguhnya pemberhalaan nafsu duniawi manusia.

Puji syukur ada kekayaan yang bukanlah hasil dari hati yang berdosa melainkan datangnya dari Tuhan sebagai berkat bagi orang-orang yang Dia perkenan (Mzm. 112, Ams. 10:22, Ams. 28:20a). Mazmur 112 menuliskan bahwa orang-orang ini adalah orang yang takut akan Tuhan dan sangat suka kepada segala perintah Tuhan (ay. 1); mereka adalah orang-orang benar yang mengasihi orang-orang adil (ay. 2); mereka juga adalah orang yang menaruh belas kasihan dan membantu orang miskin (ay. 3, 9) serta melakukan bisnisnya dengan wajar (ay. 3); dan terakhir, ia adalah orang yang tidak takut dan memiliki kepercayaan penuh kepada Tuhan (ay. 7). Ini semua merupakan karakter dan sikap hati yang sungguh sangat mulia dan patut diteladani. Namun waspadalah apabila kita begitu ingin meneladaninya karena berkat-berkat serta kekayaan yang diterimanya. Jangan-jangan kita lebih berfokus kepada keinginan-keinginan hampa yang mencelakakan dan bukan kepada Tuhan sang pemilik hidup dan sumber kesukaan kita. Sangatlah mudah bagi kita untuk bergeser dari pencarian Sumber Berkat kepada berkat yang dijanjikan.

Lalu apakah pencarian keuntungan yang dikerjakan tanpa berasal dari keinginan akan kekayaan yang salah itu memungkinan? Jawabannya adalah juga memungkinkan! Max Weber dalam “Etika Protestan”-nya mengutip Richard Baxter, tokoh Puritan yang terkenal itu, “If God shows you a way in which you may, in accord with His laws, acquire more profit than in another way, without wrong to your soul or to any other and if you refuse this, choosing the less profitable course, you then cross one of the purpose of your calling. You are refusing to be God’s steward and to accept his gifts and to use them for His purposes when He requires it. You may labour to be rich for God, though not for the flesh and sin.”

Di sini jelas bahwa pencarian keuntungan yang benar itu bukan saja sebuah kemungkinan tetapi juga suatu kewajiban. Pengusahaan keuntungan berkaitan erat dengan tugas dan panggilan kita sebagai penatalayan akan harta yang Tuhan percayakan kepada kita untuk maksud dan rencana Tuhan yang baik nantinya. Baxter bahkan mengatakan bahwa kita sedang menolak panggilan dan berkat Tuhan apabila kita menolak untuk mengerjakan atau mendapatkan keuntungan itu. Hal ini serupa dengan kisah hamba yang menolak perintah, kepercayaan, dan berkat dari tuannya yang menugaskannya untuk mengusahakan keuntungan (berdagang) sampai ia kembali (Luk. 19:11-27). Hamba yang membangkang dan tidak produktif seperti ini tidaklah berkenan dan tidaklah dapat dipakai oleh Tuhan sebagai alat penggenapan kerajaan-Nya!

Baxter juga mengungkapkan pagar-pagar batasan dalam mencari keuntungan ini, yaitu bukan saja hal itu tidak melanggar hukum, tetapi yang lebih utama adalah hal itu tidak melanggar hati nurani maupun orang lain. Di kedua syarat terakhir inilah kita, sebagai orang-orang beriman, seringkali jatuh. Hati nurani kita telah menjadi tumpul karena sudah tercemar dan terpengaruh oleh kebiasaan-kebiasaan duniawi. Seringkali gaya hidup kita sebagai orang percaya tidaklah lebih baik daripada orang-orang di sekitar kita yang selalu menginginkan dan menumpuk kenikmatan, kenyamanan, dan kepenuhan duniawi (Luk. 12:16-21). Gaya hidup ini pun kemudian akan merongrong dan melumpuhkan kita dari rencana luhur kita untuk mengusahakan keuntungan yang mulia. Tujuan mulia kita seringkali gugur oleh kenikmatan dan kenyamanan yang ditawarkan dunia.

Hati nurani yang tumpul ini pun kemudian memberi dampak kepada relasi kita dengan sesama manusia. Kita seringkali gagal untuk menunjukkan kasih dan kepedulian kepada berlaksa-laksa manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan yang menghidupi kematian setiap harinya. Jangankan untuk memperhatikan para pengungsi korban perang atau bencana alam, seringkali kita menutup mata pada penderitaan orang-orang di sekeliling kita. Ironisnya seringkali kita lebih mirip seperti orang kaya yang Tuhan benci dalam kisah Lazarus si pengemis itu (Luk. 16:19-31). Orang lain seringkali lebih menunjukan keseriusan mereka dalam mengambil bagian dalam problema manusia ini, sedangkan kita hanya sibuk berapologetika dengan alasan-alasan kita.

Jadi, bagaimanakah kita dapat menghidupi panggilan untuk menjadi penatalayan dunia demi kepentingan Allah, khususnya dalam kaitannya dengan uang, kekayaan, dan keuntungan? Mulailah dengan menekuk lutut dan berdoa: memohon ampun akan kecintaan kita akan uang dan segala hidup nyaman yang dapat dimiliki dengannya. Ambillah komitmen untuk hanya men-Tuhan-kan Kristus dalam segala aspek kehidupan kita, khususnya yang berhubungan dengan uang yang Tuhan percayakan. Itu berarti mengubah paradigma kita terhadap uang, bukan lagi sebagai permata tujuan hidup, namun sebagai alat bantu kita yang baik dan yang dibutuhkan dalam mengelola dan memelihara alam untuk kemuliaan Tuhan.

Perubahan paradigma itu harus kita aplikasikan ke dalam kehidupan. Kekayaan harus kita peroleh dengan cara-cara yang jujur dan terutama tidak melanggar hati nurani dan merugikan orang lain. Lebih dari itu kekayaan ini harus dikuduskan dan dikembalikan kepada Pemilik Tunggal Alam Semesta untuk dipakai seturut kehendak-Nya. Kita yang adalah hamba-Nya harus dengan setia mengelola dan mengembangkannya sesuai dengan talenta dan kesempatan yang Tuhan berikan. Pada saat-Nya uang itu harus dengan syukur diserahkan atau disalurkan untuk menggenapi rencana-rencana baik-Nya.

Sebagai umat pilihan-Nya, kita pun dipanggil sebagai garam dan terang dunia. Itu berarti kita harus mewarnai dan menyinari sistem perekonomian dunia yang tidak ber-Tuhan dan yang mempromosikan pentuhanan manusia serta segala kenyamanannya. Ini berarti kita harus menolak dan melawan gaya hidup yang mendewakan nafsu manusia yang serakah tidak habis-habisnya. Mulailah dengan kehidupan kita sendiri, nyatakanlah ketidakterikatan hidup yang sudah dibebaskan oleh Kristus dari dosa maupun belenggu lainnya. Pedulilah akan orang-orang yang ditindas dan ditelantarkan si kaya. Ketahuilah bahwa banyak dari mereka miskin karena ketidakadilan sistem perekonomian dunia. Gereja harus sekali lagi meneladani Kristus, menjadi mercusuar yang mengumandangkan tahun pembebasan bagi yang terbelenggu (Yes. 61:1-2).

Sudah saatnya manusia kembali kepada firman Tuhan, berdamai dengan Allah, dengan sesama, dan alam semesta. Sudah saatnya gereja berhenti dari kemunafikan dan menjawab panggilan Tuhan menjadi komunitas yang sungguh-sungguh menghidupi iman dan memuliakan nama Allahnya yang hidup. Sudah saatnya setiap orang Kristen melaksanakan panggilannya sebagai seorang penatalayan yang setia bagi kemuliaan Tuhan.  

Cahyadi Tjokro

Pemuda GRII Singapura