Banyak hal dalam kehidupan kita yang akan menjadi ujian bagi kesetiaan kita kepada Tuhan. Hal itu bisa datang baik dari masalah maupun hadiah, baik saat sakit maupun sehat, baik di dalam kesendirian maupun kebersamaan. Maka, konteks COVID-19 yang kita hadapi bisa jadi merupakan ujian bagi kesetiaan kita kepada Tuhan. Bukan hanya masalah penyakit saja, masalah kita saat ini sudah melebar hingga ke dalam aspek sosial atau relasi, ekonomi, keamanan, bahkan hingga ke harapan hidup. Di dalam kondisi yang mendesak ini, kita diuji apakah kita benar-benar setia kepada Allah, atau justru selama ini hanya sekadar ikut-ikutan saja.
Ketika bangsa Israel dibuang ke Babel, Daniel dan kawan-kawannya menjadi terisolasi dari komunitas mereka. Mereka bukan saja tidak bisa beribadah, budaya mereka dirampas dan digantikan dengan budaya kafir, dan nama mereka diganti dengan nama kafir. “Daniel” yang artinya adalah “Tuhan adalah hakimku” menjadi “Beltsazar” yang artinya adalah “disukai oleh dewa Bel” atau “dewa Bel melindungi raja”. “Hananya” yang artinya “Yahweh berbelaskasihan” menjadi “Sadrakh” yang artinya “perintah Aku (nama dewa Babel)”. “Misael” yang artinya adalah “Siapakah seperti Allah?” menjadi “Mesakh” yang artinya “Siapakah seperti Aku?”. “Azarya” yang artinya adalah “Yahweh adalah penolongku” menjadi “Abednego” yaitu “hamba dewa Nebo”. Pada zaman itu, nama bukan sekadar kata untuk memanggil seseorang. Nama menunjukkan kepada siapa hidup seorang manusia tunduk, kepada siapa manusia itu bergantung. Ketika Allah menyatakan diri-Nya kepada Musa, Allah menyatakan diri-Nya sebagai YHWH, “Aku adalah Aku”, yang menunjukkan ketidakbergantungan Allah kepada entitas yang lain. Allah tidak dapat didefinisikan oleh hal yang lain karena Allah adalah otoritas yang tertinggi, yang tidak bergantung pada apa pun, dan yang cukup pada diri-Nya sendiri. Dengan demikian nama menunjukkan siapakah tuan atas diri kita. Nama-nama Daniel dan teman-temannya diganti menjadi nama-nama yang menunjukkan bahwa mereka adalah hamba dewa orang kafir. Ketika ibadah, komunitas, dan identitas mereka direnggut, seharusnya pengharapan Daniel dan teman-temannya akan Tuhan Allah patah. Tetapi justru di dalam pembuangan, mereka tetap setia beribadah kepada Tuhan dan tidak takut menyatakan iman mereka di tengah-tengah orang kafir. Apa yang membuat mereka begitu setia dan berani?
Ketika kita telusuri, kita dapat melihat bahwa Daniel sangat mementingkan relasinya dengan Allah. Hal ini paling tampak ketika para pejabat tinggi dan wakil raja membuat Raja Darius menetapkan larangan untuk menyembah dewa atau manusia lain. Ketika hal ini ditetapkan, Daniel bukan malah ketakutan dan berdoa diam-diam kepada Tuhan. Daniel malah cepat-cepat pulang dan berdoa di tempat terbuka ke arah Yerusalem, di mana banyak orang dapat melihatnya dan melaporkannya. Keberanian ini hanya dapat bersumber dari suatu relasi yang erat dengan Tuhan. J. I. Packer dalam bukunya yang terkenal Knowing God membedakan mengenal Allah secara pribadi (knowing God), dan mengetahui akan Allah (knowledge of God). Ketika hidup kita sebatas mengetahui Allah (knowledge of God), maka hidup akan menjadi kering, kita bahkan dapat menjadi muak dengan Tuhan dan firman-Nya. Namun kehidupan yang sungguh mengenal Allah adalah kehidupan yang rindu dan ingin terus menggumulkan Allah (meditate). Sebaliknya, kehidupan tanpa pengenalan akan Allah adalah kehidupan tanpa keinginan akan Allah. Kita tidak benar-benar rindu Allah dan firman-Nya. Bahkan, sebenarnya kita pun tak yakin akan kebenaran firman-Nya serta tidak berani untuk membela dan menunjukkan Allah dalam hidup kita. Namun di saat kelam, Allah menjadi tempat perhentian dan perdamaian kita. Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya sangat memahami hal ini sehingga mereka tidak takut dan tidak putus harapan kepada Tuhan meski mereka berada di dalam pembuangan. Justru Allah dipermuliakan di dalam keberanian dan kesetiaan mereka ketika mereka di dalam perapian, atau di dalam gua singa, atau di dalam kejadian yang lainnya.
Di dalam beberapa bulan terakhir pandemi ini, mungkin kita menjadi sendirian dan lesu. Bahkan ada yang berduka karena kerabatnya meninggal. Namun melalui pandemi ini, kita dapat sekali lagi merefleksikan seberapa banyak kita sungguh mengenal Allah secara pribadi. Di dalam keterpurukan kita, justru kita dapat membangun relasi kita secara pribadi dengan Tuhan sehingga Tuhan menjadi pengharapan, kekuatan, keberanian, dan tempat perhentian kita. Mari kita merefleksikan sekali lagi sejauh mana kita sungguh mengenal Allah secara pribadi melalui kerinduan kita akan Dia dan firman-Nya, serta keberanian menghadirkan Dia dan kebenaran-Nya dalam kehidupan kita setiap hari.
Hadassah Sharon
Pemudi FIRES