We are Priests: Do We Realize It?

Apa yang terbayang di pikiranmu ketika kamu mendengar kata ‘imam’? Mungkin kamu langsung teringat imam-imam dari suku Lewi di Perjanjian Lama. Mungkin kamu membayangkan orang-orang yang sangat kudus, jauh dari manusia ‘normal’, kerjaannya tiap hari cuma sembelih korban, sembelih korban, sembelih korban…. Wah, kalau begitu menjadi imam itu boring sekali! Lah, kok judul artikel ini bilang bahwa kita semua adalah imam? Apa maksudnya kita harus menghidupi hidup yang membosankan, jauh dari manusia ‘normal’, dan seterusnya?

Ok, ok… sebelum terjadi kesalahpahaman, mari kita membahas pengertian dari kata imam itu terlebih dahulu. Dari pandangan umum kita tentang imam, memang ada konsep-konsep yang benar, misalnya bahwa imam itu kudus. Memang imam itu berkait dengan kekudusan. Salah satu perspektif dari arti kata kudus adalah dipisahkan atau dikhususkan oleh Allah untuk tujuan-Nya. Contohnya adalah tanah tempat Musa menginjakkan kaki ketika Allah menampakkan diri kepada Musa dalam semak belukar (Kel. 3:5). Tanah yang diinjak oleh Musa itu sebenarnya tanah biasa. Tetapi ketika TUHAN menampakkan diri kepada Musa, tanah itu menjadi kudus, dalam pengertian dikhususkan untuk Allah. Tanpa kehadiran Allah di sana, tanah itu adalah tanah biasa. Perspektif lain dari arti kata kudus adalah morally sacred, secara moral mirip dengan moral Allah yang suci. Arti ini yang biasa kita mengerti ketika kita mendengar kata kudus. Jadi, ingat kata kunci pertama: kudus, artinya dipisahkan secara khusus oleh Allah untuk tujuan-Nya.

Kata kunci kedua ketika kita berbicara mengenai imam adalah “mediator” atau pengantara. Imam-imam dari suku Lewi di Perjanjian Lama bertugas menjadi pengantara antara Allah yang kudus dengan manusia yang berdosa. Mereka ditunjuk secara khusus oleh Allah untuk menyampaikan anugerah pengampunan-Nya, yang dilambangkan melalui pengorbanan binatang. Orang Israel yang mengaku diri berdosa dan mau menerima belas kasihan Allah, boleh datang kepada imam dalam segala keberdosaannya, untuk memperoleh pengampunan Allah. Upah dosa adalah maut; seharusnya orang Israel yang berdosa itu yang mati karena dosanya, tetapi binatang itu menggantikan (substitusi) kematian yang seharusnya ditanggung orang Israel. Imam-imam itulah yang menjadi petugas ceremony tersebut, mengantarai Allah yang kudus dengan manusia yang berdosa, menjadi sarana Allah untuk menyampaikan belas kasihan-Nya kepada manusia yang berdosa. Dan kita tahu bahwa ceremony itu melambangkan pengorbanan Kristus yang genap bagi umat-Nya. Hal itu akan kita bicarakan lebih lanjut di bagian selanjutnya. Sekarang, kita simpan dulu di hati kita dua kata kunci yang penting ini mengenai imam: kudus dan mediator.

Manusia Diciptakan Sebagai Imam (Sebelum Kejatuhan Manusia dalam Dosa)

Manusia diciptakan sebagai imam. Seperti orang Kristen di Berea yang dipuji oleh Paulus, kita harus mempertanyakan terlebih dahulu: Apa dasar Alkitabnya? Jangan telan setiap ajaran dengan bulat-bulat; kita harus cek apakah ajaran itu diajarkan oleh Alkitab. Pernyataan ini didasari dengan kebenaran bahwa manusia diciptakan dalam image and likeness of God (Kej. 1:28). Manusia diciptakan mirip Allah. Karena Allah itu kudus, maka manusia yang diciptakan dalam gambar-Nya adalah kudus. Kekudusan manusia di sini bisa dilihat dari dua perspektif: pertama, kekudusan (kekhususan) manusia dari ciptaan-ciptaan yang lain; kedua, kemiripan moral manusia dengan moral Allah.

Allah itu kudus dalam arti bahwa Allah itu transcends, berbeda secara kualitatif dari manusia. Karena manusia diciptakan dalam image and likeness of God, maka manusia sangat berbeda dari ciptaan-ciptaan lain, sekalipun tentu saja tetap berbeda secara kualitatif dengan Tuhan Allah. Allah berada di atas segala ciptaan, dan manusia sebagai ciptaan tertinggi berada di atas ciptaan-ciptaan lainnya.

Allah itu kudus juga mempunyai arti bahwa Allah itu sempurna secara moral. Hal ini tentu saja sangat logis, karena Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Karena Allah adalah Pribadi yang absolut, maka sifat kepribadian-Nya adalah mutlak dan harus menjadi reference bagi sifat pribadi-pribadi yang lain yang diciptakan oleh Allah. Karena Allah adalah Pribadi yang absolut, maka Dialah yang menentukan apa itu sempurna dan tidak ada yang disebut sempurna kecuali Allah, Pribadi yang absolut itu sendiri. Jadi, pasti moral Allah adalah moral yang sempurna. Nah, karena manusia diciptakan mirip Allah, maka manusia mempunyai nilai moral yang mirip dengan Allah.

Kalau kita mengerti status dan moral manusia yang tinggi seperti ini, kita seharusnya sedih melihat keadaan sekitar kita. Kita bisa melihat dari sejarah bahwa ketika manusia meninggikan dirinya sendiri melalui rasionya untuk otonomi dari Allah, justru manusia sebenarnya sedang merendahkan diri dari status tingginya yang seharusnya, sampai-sampai menyamakan dirinya dengan ciptaan lain (misalnya monyet). Sungguh ironis! Sekarang kita juga melihat banyak artis-artis yang sangat tidak bermoral, yang kehidupan moralnya jauh lebih rendah dari binatang. Alangkah beruntungnya kalau kita betul-betul sadar siapa diri kita di dalam status yang diberikan Allah kepada kita!

Fungsi manusia sebagai imam ketika pertama kali Adam diciptakan sangat berkait dengan fungsinya sebagai nabi dan raja. Sebagai perantara antara Allah dan ciptaan Allah yang lain (posisi imam), kita harus belajar mengerti Allah, mengerti diri, dan mengerti ciptaan-ciptaan lain (fungsi nabi), mengusahakan dan memimpin ciptaan-ciptaan lain sesuai dengan mandat yang diberikan Allah (fungsi raja), dengan kekudusan moral yang memperkenankan hati Allah (fungsi imam).

G. I. Williamson menjelaskan tentang manusia yang diciptakan sebagai imam dengan sangat indah dalam pembahasannya akan Katekismus Singkat Westminster:

Katekismus juga menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya dalam hal kekudusan. Ini berarti bahwa Adam, sebelum kejatuhannya ke dalam dosa, seutuhnya dikuduskan bagi Allah. Dalam Perjanjian Lama, kita akan menemukan bagaimana konsep ini telah dikembangkan secara saksama di dalam sistem penyembahan yang dititahkan Allah dengan perantaraan Musa. Di sana kita melihat adanya imam besar, tabut perjanjian, serta berbagai jenis persembahan …. Kekudusan berarti “dipisahkan bagi Tuhan.” Dalam kasus Adam, masalahnya bukanlah pada hal penyembahan ataupun persembahan korban, melainkan lebih kepada hal devosi hati. Adam kudus karena ia menikmati sukacita utamanya di dalam Tuhan sendiri. Bukannya merasa takut (sebelum kejatuhannya dalam dosa), Adam justru merasa damai di dalam hadirat Allah. Ia “dipisahkan” bagi Allah dalam segala hal, dengan suatu kerinduan yang diliputi oleh kerendahan hati. Dalam pengertian ini, ia benar-benar menjadi seorang imam.

Kondisi Manusia sebagai Imam Setelah Kejatuhan Manusia dalam Dosa

Setelah peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa di Kejadian 3, image and likeness of God dalam diri manusia tidak hilang, tetapi rusak. Walaupun manusia sudah mati secara rohani (Ef. 2:1-2), tetapi masih sedikit tersisa kepingan-kepingan image of God dalam diri manusia. Sebagai nabi, manusia masih dapat mengerti “kebenaran-kebenaran kecil”. Sebagai raja, manusia masih dapat sedikit mengusahakan alam sekalipun bukan dalam interpretasi yang sesuai dengan interpretasi ultimat Allah. Bagaimana dengan keadaan manusia sebagai imam setelah kejatuhan?

Walaupun manusia sudah mati secara rohani, di dalam diri manusia masih terdapat sense of divinity, kesadaran akan eksistensi Allah. Kesadaran ini merupakan penyataan diri Allah (God’s revelation) kepada setiap orang. Paulus mengatakan bahwa setiap manusia mengenal Allah yang benar secara jelas melalui penyataan umum Allah, tetapi manusia menekan pengenalan itu sehingga Allah membiarkan mereka terus jatuh di dalam keberdosaan mereka (Rm. 1:19-32).

Kesadaran ini membuat manusia tidak bisa melarikan diri dari Allah, sekalipun manusia berdosa membenci Allah. Akibatnya, manusia membuat allah-allah palsu yang mereka sembah untuk sedikit menghibur jiwa mereka, karena jiwa mereka yang diciptakan dalam image and likeness of God tidak mungkin hidup tanpa penyembahan kepada Allah yang benar. Allah-allah palsu itu adalah allah-allah yang mereka buat sesuai dengan kemauan mereka masing-masing. Allah-allah itu belum tentu berbentuk patung, tapi bisa juga ide-ide, uang, gengsi, dan lain-lain. Di belakang allah-allah buatan manusia itu, sebenarnya diri manusia itu sendirilah yang ingin menjadi allah.

Keinginan hati untuk menyembah ini merupakan sisa dari sifat imam dalam image and likeness of God. Manusia berdosa sebagai imam masih mempunyai keinginan hati untuk menyembah, mengabdi, atau memuliakan sesuatu.

Karena manusia sebagai imam diciptakan dalam posisi antara Allah dan ciptaan-ciptaan lain, maka manusia berdosa mempunyai kecenderungan untuk jatuh ke dalam dua ekstrim: menganggap diri sebagai allah, atau menyejajarkan diri dengan ciptaan lain. Bahkan secara paradoks, manusia bisa jatuh ke dalam dua ekstrim tersebut secara bersamaan. Kita dapat melihat dalam zaman kita spiritualitas New Age yang menganggap bahwa setiap kita adalah allah dan seluruh alam semesta adalah allah—semua adalah allah. Orang Kristen pun tidak kebal untuk jatuh ke dalam salah satu ekstrim ini, karena kita juga adalah manusia berdosa yang berada dalam proses pengudusan. Kita mungkin masih menghidupi konsep-konsep yang terlalu meninggikan manusia atau terlalu merendahkan manusia. Sesuai tesis John Calvin tentang hubungan knowledge of God dengan knowledge of self, maka ketika kita punya konsep yang salah mengenai diri, implikasinya adalah kita punya konsep yang salah juga mengenai Allah, demikian juga sebaliknya. Ketika kita tidak melihat kemuliaan (dignity) yang tinggi dalam diri kita, kita akan sulit mengenal sifat Allah yang imanen (Allah yang dekat dengan kita). Ketika kita menghidupi konsep yang terlalu meninggikan diri, kita akan sulit melihat Allah kita sebagai Allah yang transenden (Allah yang tinggi, berbeda jauh dengan diri kita). Maka kita perlu berhati-hati dalam hal ini.

Umat Tebusan Allah sebagai Imam

Puji syukur kepada Allah yang mengutus Anak-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus, untuk menebus kita dari kondisi kejatuhan kita! Kita yang ditebus telah ditetapkan untuk menjadi serupa dengan Tuhan Yesus (Rm. 8:29), untuk mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung (II Kor. 3:18), untuk menjadi bangsa yang kudus, imamat yang rajani, umat kepunyaan Allah sendiri (I Pet. 2:9).

Tuhan Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Sebagai manusia sejati, Tuhan Yesus menjadi teladan manusia, yang sempurna bagi umat tebusan Allah. Sebagai manusia sempurna, Tuhan Yesus menjalankan ketiga fungsi manusia yang telah ditetapkan pada waktu penciptaan: sebagai nabi, imam, dan raja.

Penulis kitab Ibrani banyak menjelaskan tentang Tuhan Yesus sebagai Imam Besar kita. Di dalam menjalankan fungsinya sebagai Imam Besar, Tuhan Yesus menjadi mediator antara Allah yang kudus dengan umat-Nya yang berdosa. Bahkan penulis Ibrani berkata bahwa kita bisa dengan berani menghadap Allah yang kudus, karena kita punya Imam Besar yang telah membuka jalan bagi kita melalui darah-Nya. Tuhan Yesus sebagai Imam Besar tidak mengorbankan domba, melainkan mengorbankan diri-Nya sendiri sebagai substitusi bagi penghukuman dosa yang seharusnya ditanggung oleh umat Allah. Selain itu, sebagai Imam Besar Tuhan Yesus juga menghidupi kehidupan yang kudus dan sempurna. Tanpa kesempurnaan hidup, Tuhan Yesus tidak bisa menggantikan manusia yang berdosa. Ia adalah Anak Domba Allah yang tidak bercacat namun dipaku, yang mulia namun dihina. Tuhan Yesus yang mulia rela menjadi hina untuk mengangkat kita yang hina. Tuhan Yesus yang tidak berdosa rela ditumpahi murka Allah terhadap dosa untuk menyucikan kita yang berdosa.

Ketika kita melihat realita adanya kasih karunia Allah bagi umat-Nya dan adanya orang-orang yang masih dibelenggu oleh dosa, maka tugas orang Kristen sebagai imam bukan saja mengantarai Allah dan ciptaan lain, tapi juga mengantarai Allah dengan orang-orang yang belum diselamatkan. Dan uniknya, Petrus mengatakan bahwa keimaman kita adalah keimaman yang kolektif (bangsa yang kudus). Hal ini konsisten dengan keimaman orang Israel di Perjanjian Lama yang seharusnya membawa pengenalan akan Allah yang benar ke seluruh bangsa. Ketika kita menjalankan fungsi kita untuk mengabarkan Injil Tuhan, apakah kita melakukannya sebagai satu komunitas, atau hanya sebagai individu? Kesaksian orang Kristen akan powerful jika orang Kristen bergerak secara komunitas. Apalagi dalam zaman postmodern saat ini (yang sangat menekankan komunitas), kesaksian komunitas Kristen akan menjadi sangat powerful.

Banyak sekali aplikasi yang menjadi PR kita masing-masing untuk bergumul ketika kita melihat keimaman Kristus. Adalah tugas kita untuk merenungkan inkarnasi Kristus, semangat pengorbanan diri Kristus, integritas Kristus, kekudusan Kristus, kematian Kristus, dan kebangkitan-Nya, lalu mengaplikasikannya dalam kita menjalankan hidup kita sebagai imam-imam Allah; baik dalam pengabaran Injil maupun dalam mandat budaya—yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apakah kita sudah berusaha mempersembahkan studi dan pekerjaan “sekuler” kita kepada Allah sebagai fungsi keimaman kita dalam dunia studi dan pekerjaan? Apakah kita sudah menggumuli interpretasi Allah terhadap bagian studi dan pekerjaan yang sedang kita jalani? Apakah kita sudah menggumuli apa kaitan studi dan pekerjaan kita dengan Kerajaan Allah? Apakah kita punya semangat inkarnasi dan pengorbanan diri dalam kehidupan rohani kita sehari-hari? Apakah kita terus rindu mengabarkan Injil Tuhan Yesus yang mulia dalam kehidupan sehari-hari kita? Apakah kita sudah menjadi mediator yang baik dalam relasi persahabatan kita, atau jangan-jangan malah menjadi pemecah belah dan memusuhi banyak orang? Apakah kita berdoa syafaat bagi Gereja Tuhan seperti Tuhan Yesus sebagai Imam mendoakan Gereja-Nya? Apakah kita menjalankan fungsi imam kita dalam suatu komunitas atau secara individual saja? Sudahkah kita memperhatikan ekologi sebagai tugas kita sebagai pengantara antara Allah dan ciptaan lain? Aplikasi-aplikasi ini akan menjadi sangat panjang jika diteruskan. ‘Apa’ atau ‘siapa’ lebih penting dari ‘bagaimana’. Ketika kita sudah mengerti ‘siapa’ diri kita (dalam konteks ini sebagai imam), maka adalah bagian kita untuk menggumulkan ribuan bahkan jutaan aplikasi yang dapat kita lakukan, sesuai dengan tempat dan panggilan Tuhan bagi kita masing-masing.

Keyakinan Eskatologis: Menjadi Imam yang Disempurnakan

Dalam kita menjalani kehidupan kita sebagai imam, kita perlu mempunyai mata yang terarah kepada waktu kita disempurnakan nanti, ketika Tuhan Yesus datang kedua kali, karena di sinilah letak pengharapan kita. Mungkin kita seringkali lelah bergumul untuk hidup kudus, seringkali pesimis melihat keadaan dunia yang semakin lama semakin jahat, putus asa dalam melihat penolakan-penolakan dalam pekabaran Injil kita. Paulus pun pernah mengalami hal-hal ini, bahkan jauh lebih sulit dari kita. Tapi, apa yang membuat Paulus terus bekerja dengan giat sampai dia mati? Saya yakin salah satu sebabnya adalah pandangannya yang tertuju kepada akhir. Ketika dia bergumul melawan dosa, dia ingat bahwa pada akhirnya dia pasti menang, karena Allah telah menentukan dia menjadi serupa dengan Kristus (Rm. 8:29). Ketika dia mengalami banyak penolakan dalam pengabaran Injil, dia melihat bahwa di akhir zaman nanti, dia akan melihat bahwa setiap benih yang ditabur di dalam Tuhan tidak menjadi sia-sia. Apabila kita memfokuskan pikiran kita kepada kerajaan Allah yang akan sepenuhnya nyata waktu Tuhan Yesus datang kembali nanti, maka kita akan dapat terus giat berjuang bagi kerajaan Allah sekalipun kita tidak melihat buah yang jelas—for we walk by faith, not by sight.

Masih banyak yang dapat dituliskan, tetapi biarlah melalui penjelasan singkat ini kita boleh semakin menyadari keberadaan kita sebagai imam: mengantarai Allah dengan ciptaan lain, mengantarai Allah dengan orang-orang di luar Kristus, menjalankan semangat hidup Kristus dalam kita menjalankan fungsi kita sebagai imam-imam Allah di dunia ini, dan terus memandang our consummation pada hari Tuhan Yesus Kristus ketika kita menikmati segala jerih payah kita bersama dengan Tuhan kita yang mulia di langit dan bumi yang baru. Soli Deo Gloria!

Andi Soemarli Rasak

Pemuda GRII Singapura