“Carilah dahulu kekayaan dan kenikmatan dirimu maka semuanya itu akan membuat dirimu selamat”. Kira-kira begitulah kalimat yang menjadi silent scream dalam hati manusia dari zaman ke zaman. Kegelisahan selalu menghantui emosi manusia yang pada saat melihat diri kurang memiliki ‘segala sesuatu’ dibandingkan dengan orang yang memiliki lebih banyak darinya. Juga ditambah dengan nafsu manusia yang tidak pernah tercukupi oleh apapun juga di dunia ini sehingga segala usaha untuk memenuhi keinginan manusia itu selalu menjadi target utama dalam perilaku manusia sehari-hari.
Konsep yang sama itu sudah ada sejak zaman Yunani kuno ketika Aristippus mengatakan: ”Kenikmatan adalah tujuan yang paling mulia dari umat manusia”. Memang kita semua tidak pernah sama-sama duduk di ruang kelas Aristippus untuk belajar materi yang disampaikan apalagi mengeksposisi perkataan-perkataannya, khususnya kalimat di atas tadi. Tetapi mengapa spirit dari orang yang sudah ribuan tahun yang lalu ini masih menjadi sesuatu yang mengontrol pikiran kita hari ini? Apakah ini adalah kebenaran sejati karena tidak digeser oleh waktu?
Kenyamanan diri, rasa enak, cocok dengan selera kita, dan keamanan sering menjadi berhala kita dan menggeser Sang Pencipta yang seharusnya bertakhta dalam hati kita. Yang menjadi alat seharusnya adalah kita bagi Tuhan dalam dunia ini, tetapi yang terjadi adalah kita yang memperalat Tuhan. Di dalam berelasi dengan-Nya, kita hanya mau menerima keselamatan daripada-Nya. Jaminan keselamatan sering tidak cukup bagi kita karena kita berpikir dunia ini masih lama dan kenikmatan dunia yang kelihatannya “netral” ingin kita cicipi dengan alasan itu tidak mempengaruhi keselamatan kita. Kita sering mengkritik orang yang meramalkan Yesus akan datang pada tanggal tertentu dan akhirnya tidak datang. Sebenarnya kita pun sama seperti orang demikian karena kita berani memastikan bahwa besok Yesus pasti tidak datang yang terekspresi dari sikap dan cara hidup kita yang tidak menganggap Yesus akan datang kembali untuk menghakimi seluruh perbuatan kita. Kita hanya mau mengerjakan apa yang kita mau kerjakan dan melupakan Sang Penghakim itu. Ini menunjukkan bahwa kita selalu ingin menggantikan posisi Allah untuk menentukan segala sesuatu. Kita bikin rencana sendiri dan menyuruh Tuhan tanda tangan supaya sah. Seolah-olah Tuhan yang harus setuju pada kita. Tuhan kita jadikan budak kita, dan kita menjadikan diri kita tuan atas Tuhan kita. Namun ketika kesuksesan dan kenyamanan yang kita mau dan kita rencanakan tidak sesuai dengan yang kita harapkan kita lalu menyalahkan Tuhan, seolah-olah Tuhan yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa kemalangan yang kita alami.
Hakekat keserakahan dan egoisme manusia ini sudah dilontarkan oleh pemikir-pemikir kuno seperti Plato. Tetapi Adam Smith yang disebut sebagai bapak ilmu ekonomi tidak anti dengan sifat egois manusia tersebut, malahan menganggap sifat ini akan memacu pertumbuhan ekonomi. Smith berpendapat sikap egois manusia ini tidak akan mendatangkan kerugian dan merusak masyarakat sepanjang ada persaingan bebas. Tampaknya orang zaman sekarang lebih setuju pada pendapat Adam Smith ini. Tidak perlu menunggu pengakuan dari mulut namun bisa dilihat dari pergerakan dan perilaku manusia sekarang yang terus bersaing mati-matian demi keuntungan. Demi uang yang impersonal, orang mengorbankan sesamanya yang personal adanya. Personal lebih besar dari impersonal, tetapi manusia membalikkan hal ini. John Wesley pernah berkata: “Raihlah semua yang kau bisa, berilah semua yang kau bisa. Uang tidak pernah lama bersamaku karena ia akan membakarku. Kulemparkan dari tanganku secepat aku bisa agar jangan sampai ia memperoleh jalan masuk ke hatiku.” Sekarang kalimat semacam ini sudah sulit ditemukan di hati manusia yang terdalam.
Alkitab mengajarkan bahwa manusia adalah the image of God yang dipanggil untuk membudidayakan alam. Adam hanyalah agen Allah untuk mengusahakan dan memelihara dunia ini. Adam hanya agen, bukan pemilik yang sesungguhnya. Namun sekarang manusia keturunan Adam menganggap dunia ini bisa jadi miliknya jika dia punya modal yang banyak dan bisa melakukan segala sesuatu melalui uangnya. Ini membuktikan manusia tidak mau seperti apa yang Tuhan rancang pada diri Adam sejak semula. Manusia justru lebih suka mengikuti semangat dari teori Adam Smith. Manusia lebih suka seluruh hidupnya digerakkan oleh hal-hal yang bersifat sementara yang seolah itu lebih menjamin hidupnya daripada memikirkan hal-hal yang terkait dengan kekekalan yang sebenarnya itu yang menjamin kehidupannya. Sejak kecil kita diajarkan ada kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Juga teori Abraham Maslow tentang tingkatan kebutuhan manusia dari kebutuhan fisik sampai aktualisasi diri. Ketika kita pertama mengetahui hal-hal demikian seolah-olah kita secara otomatis meng-install satu program di otak kita yaitu perasaan yang mengatakan bahwa apa yang kita miliki sekarang itu belum cukup dan harus terus menambah sesuatu untuk tetap hidup sesuai tuntutan masyarakat sekarang.
Selain itu dalam kalangan ekonom dikenal seorang tokoh utama aliran institusional yang bernama Thorstein Bunde Veblen. Veblen mengamati perilaku orang-orang sekitarnya lalu dia mengeluarkan istilah conspicious consumption yakni perilaku konsumen yang suka pamer. Orang-orang berlomba-lomba untuk membeli barang-barang yang bisa dipamerkan. Barang mahal menjadi incaran masyarakat. Tidak peduli barang itu berguna atau tidak, asalkan mahal harganya. Orang membeli barang tersebut bukan untuk mendapat manfaat dari barang itu sendiri, tetapi orang berharap pada dampak penilaian orang lain terhadap dia dengan adanya barang itu. Penilaian manusialah yang dicari-cari di sini. Abad yang lalu Veblen sudah mengatakan bahwa ini adalah penyakit yang cepat sekali berjangkit. Tetapi orang sekarang dari kecil sudah terbentuk sifat pamernya. Maka tidak heran sifat itu berkembang dalam bentuk-bentuk yang bervariasi. Orang begitu haus dan lihai menarik perhatian dan pengakuan orang lain atas dirinya. Sampai-sampai orang memamerkan bahwa dia sedang tidak pamer. Memamerkan kertidaksombongannya. Desakan kebutuhan ini tak pernah berhenti berteriak dalam hati manusia.
Walaupun manusia tahu bahwa manusia bukan ekonomi dan ekonomi bukan manusia, pertumbuhan ekonomi tidaklah sama dengan pertumbuhan manusia, demikian juga pertumbuhan manusia tidaklah sama dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi manusia suka menyamakan dirinya dengan apa yang dia capai. Manusia seakan-akan ingin mengatakan bahwa dirinya bertumbuh seiring dengan menempelkan sesuatu pada dirinya yang bisa dihitung. Kemajuan teknologi memang pesat dan cepat sekali bertumbuh, tetapi bagaimana dengan manusia? Benarkah manusia ikut bertumbuh bersama dengannya? Tidak. Manusia semakin mundur. Yang maju hanya teknologinya. Secara container memang tampak maju, tetapi content-nya justru semakin mundur. Kita terlalu dimanjakan sehingga kita tidak sadar dengan kemerosotan kita saat ini yang semakin bergantung pada benda-benda tertentu. Kita bahkan bangga dengan adanya handphone yang sanggup mengingat SEMUA data orang-orang yang kita kenal, dari nomor telepon, tanggal lahir, sampai kepada hal-hal detail yang kita perlu ingat tentang mereka. Semakin kita tidak perlu (yang akhirnya menjadikan kita tidak mampu) menghafal data-data mereka, semakin kita merasa canggih. Inilah semangat zaman ini. Tanpa sadar kita sudah terprogram oleh zaman ini. Saat kita ingin melawan semangat zaman ini, kita dianggap sebagai program yang sudah error dan terjadi kegoncangan dalam diri kita. Jika kita tidak dapat menahan goncangan ini, maka kita akan dipaksa untuk install ulang program tersebut pada diri kita bahkan update ke versinya yang lebih canggih. Inilah kuasa dosa. Dosa yang tidak cukup hanya ditenggelamkan karena bisa muncul lagi, tetapi harus dimatikan. Betapa menderitanya kita pada saat ingin mengerjakan sesuatu yang kita tahu pasti itu benar tetapi tubuh ini melawan keinginan kita. Tubuh kita minta makan dulu, tidur dulu, nanti dulu, dan akhirnya waktu kita habis. Seharusnya kita menangisi dan menyadari bahaya dari kemerosotan kita ini. Tetapi karena ada alat-alat yang siap membantu kita maka kita merasa kita tidak kekurangan apa-apa dan semua baik-baik saja. Tanpa disadari, kita sudah terdefinisi oleh barang-barang yang ada pada kita. Kecukupan ataupun kekurangan kita didefinisi olehnya. Jika barang-barang yang kita punya cukup canggih menolong kita, maka kita merasa baik-baik saja, jika tidak maka kita akan merasa gelisah. Kita tidak bisa lagi menyadari keberadaan kita yang sesungguhnya, keberdosaan kita. Alkitab mengatakan, manusia tidak boleh didefinisikan oleh apapun. Hanya Firman Allah yang mutlak berhak mendefinisikan dan mengatakan siapakah manusia itu.
Tetapi, setelah kita yang berdosa ini dilahirbarukan, kita percaya bahwa Tuhan menjamin hidup kita dalam rencana-Nya yang kekal dan kita tahu kita harus melakukan kehendak-Nya. Tetapi sejujurnya kita sering buta mengenai kehendak Allah. Lebih sering keinginan pribadi kita dibungkus dengan mengatasnamakan kehendak Allah. Karena kita tidak mau membuang apa yang menjadi kebiasaan kita, kenyamanan kita, dan interest kita, padahal Tuhan ingin kita meninggalkan itu. Matius meninggalkan pekerjaan dan uangnya demi mengikut Yesus. Apa sih keuntungan mengikut Yesus? Matius saat itu tidak tahu apa artinya menjadi murid Yesus. Yang dia tahu adalah Yesus memanggil dia. Tidak ada tawaran yang menarik dari Yesus bagi Matius. Yesus tidak berkata: ”Jika kamu mengikut Aku kamu akan menjadi penulis kitab pertama dalam Perjanjian Baru. Namamu akan tertulis di situ beribu-ribu tahun.” Tidak ada tawaran seperti itu bagi yang mau mengikuti Tuhan. Yang diminta adalah hati kita, seluruh hidup ini siap diperas habis dalam kesukacitaan menurut kemauan Tuhan.
Tetapi hal ini pun bisa menjadi jebakan bagi kita. Semuanya ini dapat menjadi suatu kebahayaan besar, di mana berhala manusia bergeser kepada kegiatan-kegiatan yang kelihatannya rohani. Manusia menjadi “gila” mengikuti setiap aktivitas yang diberi label “melayani Tuhan” dan segala kegiatan kerohanian lainnya. Orang Kristen sudah tahu kalau tidak ada bagian dari dirinya yang menarik hati Tuhan sehingga Dia menyelamatkannya. Semua karena anugerah. Tetapi orang Kristen sering terjebak dalam membangun level kerohaniannya di hadapan manusia. Ini menjadi jebakan yang halus sekali dari setan dan sering tidak kita sadari. Kita pikir kita sudah lama melayani. Tidak pernah bikin masalah dengan orang lain. Segala tugas yang kita kerjakan semuanya baik. Tetapi sekali lagi motivasi kita yang dilihat. Hanya Roh Kudus yang tahu isi hati manusia yang paling dalam. Ketika kita sungguh-sungguh berhadapan dengan Tuhan, kita akan benar-benar terlihat apa yang kita kerjakan selama ini adalah sungguh-sungguh atau berpura-pura.
Ketika kami mau menulis artikel ini banyak sekali hal yang menjadi penghalang bagi kami. Kami perlu sekitar satu bulan untuk menyelesaikannya. Kekurangan bahan, informasi, wawasan, dan sebagainya pasti menjadi suatu rintangan yang harus dilewati. Tetapi ada suatu hal yang baru kami sadari seiring pergumulan kami dan hal ini menjadi perhatian khusus jauh melebihi masalah tadi, yaitu nama kami akan tertera sebagai penulis artikel ini. Kami begitu mengkuatirkan apa kesan orang yang pertama kali membaca artikel kami ini. Lagi-lagi diri ini yang menjadi pusat dari segala sesuatu. Menjadikan Allah sebagai pribadi yang menjadi pusat dari segala sesuatu memang tidak mudah. Karena Allah tidak kelihatan. Respon kita lebih tertuju pada sesuatu yang bisa diindera karena berdampak langsung pada keberadaan kita. Edward T. Welch dalam bukunya “Ketika manusia dianggap besar dan Allah dianggap kecil” mengatakan ada tiga alasan mendasar mengapa kita lebih takut pada manusia. Pertama, karena orang lain dapat menelanjangi dan mempermalukan kita. Kedua, karena orang bisa menolak, menertawakan, dan menghina kita. Ketiga, karena mereka dapat menyerang, menindas dan mengancam kita. Bukankah murka Allah jauh lebih menakutkan dari semua ancaman manusia? Sangat mungkin kita hanya melihat Allah adalah Kasih tetapi melupakan bahwa Allah juga adil adanya sehingga kembali lagi kita memperalat Kasih Allah.
Jadi sesungguhnya apakah yang sebenarnya manusia cari? Sewaktu saya masih sekolah ada suatu kalimat yang sering diucapkan oleh teman saya sebelum dia berantem. Dia selalu menanyakan pada lawannya dengan nada kasar: ”Mau lu apaan sih??!!” Saya lalu sekarang berpikir, bagaimana jika pertanyaan itu keluar dari mulut Allah dan ditujukan pada pribadi kita? Sedahsyat apa suara Allah itu? Seharusnya kita sampai pada ketegangan yang demikian. Rasa takut dan gentar pada Allah. Kita harus jujur menjawab pertanyaan itu dan tidak ada pilihan lain karena di mata Allah kita semua ini telanjang. Tak satu pun hal tersembunyi di hadapan Allah. Kami percaya saat itu kebanyakan dari kita akan menjawab: “Saya lebih mencari muka saya, bukan muka Tuhan”. Muka kita yang besarnya mungkin hanya 20cm x 15cm ini mengapa harus menjadi pusat dari alam semesta yang begitu besar bahkan melampaui Allah yang Mahabesar? Aneh sekali jika dipikir. Dosa memang membuat kita menjadi aneh. Kita menjadi orang yang ingin dianggap selebritis entah itu di rumah, sekolah, kantor, bahkan di gereja. Friendster.com adalah suatu sarana untuk orang-orang yang ingin menjadi selebritis karena terlihat dari foto-foto yang di-upload dan dipajang. Semuanya adalah saat mereka dalam keadaan terbaik sehingga orang lain yang melihatnya lebih terkesan. Itulah yang kita jual. Itulah yang kita tampilkan. Itulah yang kita pamerkan, image terbaik kita, bagian luar dari the image of God. Kita gagal menjadi selebritis yang sesungguhnya, sebagai the image of God, yang setiap orang diciptakan unik adanya untuk menggenapkan rencana kekal-Nya. Di sinilah letak prinsip terpenting dalam mencari kekayaan sebagai seorang selebritis sejati, the image of God, yaitu mencari muka Tuhan, mencari kehendak Tuhan, mencari kebenaran Tuhan, mencari kerajaan Tuhan, bukan yang lain. Inilah rahasia sepanjang zaman yang sudah dibukakan Tuhan Yesus bagi manusia. Maka marilah kita membuat seluruh isi hati kita yang tidak terbatas itu ditujukan kepada yang tidak terbatas juga, yaitu isi hati Tuhan untuk memuliakan dan menikmati Tuhan selamanya. Soli Deo Gloria.
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. (Matius 6:33)
Chias Yohanes, Yanti
REDS – SocEc