silhouette of woman near shoreline

Woman >, =, < Man?

Tokoh-tokoh wanita yang cemerlang dalam karirnya adalah pahlawan-pahlawan baginya. Mungkin karena masih jarang wanita yang berhasil menduduki posisi-posisi penting seperti mereka di dunia ini. Bagi Fe, mereka adalah wanita-wanita yang gigih dan pantas dijadikan panutan bagi wanita-wanita lain untuk juga mengembangkan potensi yang ada di dalam diri mereka. Wanita-wanita jangan mau dibohongi oleh mitos yang mengatakan bahwa wanita adalah kaum yang lebih lemah dibandingkan dengan pria. Para wanita-wanita berhasil di atas adalah bukti bahwa wanita mampu menyejajarkan dirinya dengan pria asalkan mau bekerja keras dan tekun dalam menggali dan mengembangkan segenap potensi dan bakat yang ada. Fe bercita-cita bahwa satu hari nanti ia akan menjadi seperti mereka.

Ia meraih prestasi yang sangat baik di sekolahnya sejak ia di bangku sekolah dasar bahkan sampai di perguruan tinggi. Kemampuan logika dan analisanya yang baik memberi dia keberanian untuk terjun di bidang ilmu yang konon hanya diminati oleh kaum Adam. Ia membuktikan bahwa wanita juga bisa berprestasi jikalau diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Selain dia juga sudah banyak wanita yang mulai masuk ke dalam bidang-bidang yang dahulu didominasi oleh pria. Semakin hari semakin banyak wanita yang tampil sebagai pemimpin dan orang-orang penting dalam zaman ini. Sebut saja misalnya tokoh-tokoh politik seperti Margaret Tatcher, Hillary Clinton, Gloria Arroyo, Condoleeza Rice, Megawati Soekarnoputri, atau para ilmuwan, pengacara, dosen, penulis buku, jurnalis, dan masih banyak contoh lainnya yang semakin menguatkan fakta bahwa wanita mampu menyejajarkan kedudukannya dengan pria. Wanita bukan kaum yang lemah. Wanita harus dihargai dan diperlakukan sejajar dengan pria dalam masyarakat.

Diskriminasi terhadap kaum perempuan yang terjadi sebelum gerakan feminisme muncul adalah karena keegoisan pria dan kebodohan wanita yang rela diperlakukan tidak adil. Fe bersyukur kalau ada orang-orang yang memperjuangkan pembebasan wanita dari dominasi pria. Nilai seorang wanita tidak boleh dipaksakan oleh budaya atau tradisi yang mengajarkan kalau wanita itu tempatnya di rumah saja, mengurus rumah tangga, suami, dan anak-anak. Wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena toh nantinya setelah berkeluarga wanita harus tinggal di rumah untuk mengasuh anak. “Enak saja!” cetus Fe dalam hati, “Mengapa harus wanita yang mengalah? Wanita juga manusia, toh? Wanita juga berhak untuk mengejar impiannya, ambisinya, menjadi apa yang ia mau. Kenapa pria begitu egois? Apakah pria takut disaingi oleh wanita!?”

Fe berhasil meraih apa yang ia impikan. Kini ia memegang posisi yang tinggi di perusahaan tempat ia bekerja. Kehidupannya serba berkecukupan, bahkan tergolong mewah. Ia menikmati kehidupan yang bebas seperti sekarang ini. Karena itu, meskipun orangtua dan teman-temannya berkali-kali menyinggung soal pernikahan, Fe selalu mengelaknya dengan mengatakan bahwa ia tidak mau terikat. Meskipun kalau mau jujur kepada mereka, jauh dalam hatinya, Fe ingin seperti kebanyakan wanita di sekitarnya. Wanita yang memiliki seorang pria di sisinya, yang mengasihinya, menjaganya, dan melindunginya. Wanita yang memiliki seorang pria yang dikagumi. Tapi masalahnya, selama ini ia lebih sering bersaing dengan teman-temannya yang pria daripada memberikan dirinya untuk mengagumi mereka. Dulu pernah ada temannya mengatakan bahwa ia akan sulit menemukan pasangan hidup karena para pria akan merasa terintimidasi di dekatnya. Bagi Fe, ini hanya membuktikan kelemahan dan keegoisan pria yang selalu ingin berada di atas wanita.

Fe bersahabat dekat dengan salah seorang kakak kelasnya ketika di perguruan tinggi dulu. Namanya Eve. Mungkin karena sama-sama ambisius, mereka bisa klop satu sama lain. Eve menyelesaikan pendidikannya di bidang akuntansi dan bekerja di salah satu perusahaan audit yang terbesar di negara itu. Seperti Fe, karir Eve juga menanjak cukup pesat. Eve menikah tiga tahun lalu dan ia baru saja melahirkan anaknya yang pertama. Fe datang menjenguknya sekaligus melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu. Ia memarkir mobilnya di pekarangan rumah Eve yang tertata rapi. Eve dan suaminya menyambutnya dengan hangat. Fe bisa melihat kebahagiaan itu terpancar dari wajah Eve. Sepertinya Eve sekarang punya segalanya, karir, materi, seorang suami yang mengasihinya, dan kini seorang anak. Fe berusaha menyembunyikan kecemburuannya pada Eve.

Tapi satu hal yang Fe masih tak bisa mengerti, yaitu rencana Eve untuk berhenti bekerja demi mengasuh putra pertama mereka. Mengapa kini Eve memilih untuk mengalah dan mengorbankan kesempatan yang begitu besar bagi dirinya demi melakukan pekerjaan yang begitu sepele, mengurus rumah, suami, dan anak. Mengapa Eve tidak mencari babysitter atau menitipkan anaknya di tempat penitipan anak saja. Toh, Eve punya cukup uang untuk semua itu. Eve sepertinya bukan lagi Eve yang selama ini ia kenal. Mengapa kini sahabatnya yang sangat berbakat dengan bodohnya meninggalkan apa yang selama ini ia capai dengan kerja keras? Fe benar-benar tidak habis pikir. Tapi ia belum punya kesempatan untuk menanyakannya langsung pada sahabatnya itu.

Setahun kemudian, Eve mengundang Fe datang ke rumahnya untuk merayakan malam natal bersama. Fe kaget melihat keadaan Eve sekarang. Eve kini terlihat begitu cekatannya mengerjakan semua pekerjaan rumah. Makanan yang mereka santap untuk makan malam hari itu disiapkan oleh Eve sendiri, bukan dipesan dari restoran. Rumah mereka yang cukup besar terlihat tertata rapi dan bersih meskipun tidak ada pembantu. Siapa lagi kalau bukan Eve yang melakukannya. “Kasihan benar, Eve,” Fe berkata dalam hatinya. Sayap yang dulu Eve punya untuk terbang tinggi, seolah telah menyusut dan tak lagi dipakai. Kini Eve lebih senang memakai tangannya dan tetap tinggal di bumi daripada menggunakan sayapnya untuk terbang tinggi ke angkasa.

Akhirnya sampai satu hari, Fe memberanikan diri untuk bertanya pada Eve mengenai keputusan untuk tinggal di rumah dan menjadi ibu rumah tangga. Eve tersenyum pada sahabat yang ia kenal betul wataknya. Eve bisa mengerti ketidakmengertian Fe. Ia sendiri tak menyangkal bahwa ia pun sampai sekarang masih belajar untuk menjalani keputusan yang ia telah ambil. Sambil tetap mengawasi anaknya yang sedang bermain di dekatnya, Eve bercerita pada Fe tentang wanita yang agung yang diceritakan di dalam Alkitab. Wanita itu agung tidak saja karena ia dipuji oleh manusia, tetapi juga ia adalah gambaran wanita yang takut akan Tuhan. Wanita itu mengerti posisinya dalam hubungannya dengan yang lain.

“Bukankah wanita itu diciptakan sama derajatnya di hadapan Tuhan, Eve?” sela Fe. Eve mengangguk setuju. “Benar, perjuangan awal kaum feminisme demi kesetaraan pria dan wanita di mata hukum, pendidikan, dan pemerintahan adalah hal yang baik. Diskriminasi gender seharusnya tidak terjadi jikalau masing-masing pria dan wanita mengerti posisi mereka. Karena pada hakekatnya, pria dan wanita sama mulianya di hadapan Tuhan.” Fe semakin bingung akan jalan pikiran Eve. Jikalau sama, mengapa Eve mengalah pada suaminya. Sepertinya mengetahui apa yang sedang Fe pikirkan, Eve melanjutkan bahwa meskipun sama nilainya, tapi menjadi pria dan wanita bukanlah suatu kebetulan. Menjadi pria berarti diberikan mandat untuk menjadi kepala, untuk melindungi, menyediakan, dan mengasihi. Menjadi wanita berarti menjadi penolong yang sepadan bagi pria, yang mendukung, merawat, dan memelihara.

“Yang buat definisi itu pria ya, Eve?” ledek Fe. Mereka tertawa bersama. “Kalau yang buat definisi itu pria, aku juga nggak mau taat, Fe. Emang mereka siapa bisa mengatur bagaimana wanita seharusnya menempatkan diri. Kan pria dan wanita sama-sama manusia, sama derajatnya, sama nilainya. Gender yang satu hanya akan memberi definisi yang bias akan gender yang lain. Kalau begitu ceritanya, ntar aku buatin satu definisi juga deh dari pihak wanita,” canda Eve. Mereka tertawa lagi.

Eve mengakui sulit baginya juga untuk menjadi wanita seperti itu. Untuk tunduk pada suami dalam segala hal seperti kepada Tuhan, misalnya. Ia tadinya menganggap itu suatu hal yang diskriminatif terhadap wanita, seolah wanita adalah warga dunia kelas dua. Tapi ia sadar jikalau ia berlari dari rancangan Tuhan menciptakannya sebagai wanita, ia hanya akan menuai kehampaan meskipun dunia mungkin tidak akan melihat kehampaan itu. Tuhan ingin kita berjalan dalam rancangan-Nya yang terindah, bukan menurut apa yang kita pandang baik. Tuhan tahu bagaimana kita diciptakan – berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Fe mulai menangkap poin yang ingin Eve sampaikan. Eve menantang Fe untuk mulai melihat hidupnya dari perspektif bagaimana Tuhan melihatnya. Menjadi wanita yang takut akan Tuhan, yang mengerti rancangan Tuhan menciptakan dia sebagai wanita. Bukan berarti Fe harus menikah dan menjadi ibu rumah tangga, tetapi semangat memperjuangkan diri sebagai wanita lebih dari laki-laki inilah yang harus dikikis. Wanita diciptakan bukan untuk menyaingi kaum Adam. Di akhir pembicaraan mereka, Eve menganjurkan Fe untuk membaca pasal terakhir dari kitab Amsal. Eve berdoa dalam hati semoga Tuhan menyertai sahabatnya ini dalam pergumulannya ke depan. Pasti tidak mudah untuk seorang wanita seperti Fe. Tapi Eve yakin bahwa Tuhan pasti sanggup menolong Fe, sama seperti yang Tuhan telah kerjakan dalam hidupnya. Sola Gratia.

Suryanti Y. A. Simanullang

Pemudi GRII Singapura

Referensi:

  1. Elliot, Elisabeth. “Let me be a woman.” 1976. Tyndale House Publishers, Inc., Wheaton, Illinois.
  2. Fitzpatrick. “Helper by Design.” 2003. Moody Publishers, Chicago.
  3. Piper, John dan Grudem, Wayne. “Recovering Biblical Manhood and Womanhood.” 1991. Crossway Books, Wheaton, Illinois.

Walters, Margaret. “Feminism: A Very Short Introduction.” 2005. Oxford University Press.