Worldview: Who is Your God in Your Life?

Sejak zaman jebot, kacamata — dari transparan, berwarna, sampai hitam kacanya — menjadi benda yang tidak lagi asing bagi kita. Jangankan manusia, kuda pun memakai kacamata waktu dinaiki orang. Keperluan akan kacamata bukanlah hal yang mengagetkan lagi. Berbentuk besar, kecil, lonjong, kotak, bahkan kacamata seperti tirai pun sekarang sudah ada. Segala bentuk dan warna kacamata dipakai tergantung musimnya. Waktu ke pantai, kita memakai sunglasses dengan kaca gradasi, biar bertahan dari sinar matahari. Waktu ke Puncak, kita pakai kacamata titanium dengan fungsi ­auto-wiper supaya ketika ada embun menempel di kaca, wiper bisa menghapusnya seketika. Waktu kita di rumah, kita memakai kacamata full-frame dengan kaca sebesar 3-4 cm transparan, supaya ketika membaca di komputer ataupun menonton di rumah, kita tidak bermasalah dengan kejelasan dan kelebaran daya lihat. Waktu di gereja, kita memakai kacamata klasik alias rimless, agar kita tidak terlihat norak melainkan terkesan rapi.

Seandainya berbagai kacamata ini menganalogikan worldview (wawasan dunia), apa jadinya kita? Bagaimana kita telah memandang dunia ini dan seluruh realitas yang ada? Kacamata apa yang kita pakai untuk memandang semuanya itu? Sebelum memikirkan seberapa banyak kita telah mengganti pemikiran kita, mari kita memahami apa arti worldview. Secara sederhana worldview dapat dimengerti sebagai basic heart commitment; sebuah orientasi dari hati yang mendasar tentang latar belakang pemikiran dan dari pemikiran tersebut yang menghasilkan segala bentuk tindakan dalam hidup kita serta menetapkan segala keputusan kita untuk bertindak, atau bahkan membentuk pemikiran itu secara sadar maupun tidak sadar. Selanjutnya kita akan menelusuri sebagian bentuk worldview yang ada dalam sejarah.

Cuplikan-cuplikan Worldview
Pernah mendengar deisme? Deisme melihat Allah dalam nature atau alam dan sistem alam semesta ini dan since alam semesta ini seperti sebuah jam yang besar, Allah adalah pembuat jam besar itu. Dia telah menciptakan jam tersebut bergerak sesuai aturan. Allah adalah Allah yang transenden, yang setelah menciptakan alam semesta, kemudian Dia membiarkannya di dalam mekanisme hukum alamnya. Allah tidak imanen — tidak berdaulat atas segala hubungan horizontal antara manusia dan manusia. Allah diperkecil menjadi Allah yang tidak personal, yang hanya sebuah first cause dari penciptaan, lalu Ia pergi dan membiarkan hal tersebut berjalan dengan sendirinya. Allah membiarkan segala sesuatu terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam yang ditetapkan-Nya. Dia hanya “melihat” dari luar dunia ciptaan.

Berikutnya adalah naturalisme yang sering disebut sebagai pandangan deisme dengan versi lebih tinggi. Dalam naturalisme, Allah yang tidak personal itu direduksi menjadi Allah yang tidak memiliki keberadaan. Naturalisme berkata bahwa Allah itu tidak ada, dalam arti Dia hanya menciptakan, lalu segala sesuatu di dalam dunia ini adalah materi yang akan bertahan sampai selama-lamanya. Itu saja — enggak perlu diingatkan kembali bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang berdaulat — yang sekarang kita bisa lihat adalah alam semesta, jagad raya, titik. The cosmos is all that is or ever was or ever will be.[1]

Lebih jauh lagi adalah nihilisme, pandangan yang menolak segala pemikiran, filosofi, ataupun pandangan-pandangan yang ada. Seluruh yang diadopsi oleh nihilisme adalah ketiadaan, tidak ada makna di dalam segala ilmu, etika, realitas, dan sebagainya, semuanya hanyalah sebuah kesia-siaan.

Nihilisme bukan akhir dari pemikiran manusia, setelahnya muncul eksistensialisme. Keputusasaan seorang nihilis berakhir di dalam pemikiran eksistensialis yang berkata, enggak perlu diingatkan kembali bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang berdaulat, yang sekarang kita bisa lihat adalah alam semesta, jagad raya, dan khususnya manusia. Alam ini hanya materi bagaikan hiasan dan bak tempat menampung manusia. Manusia tersebutlah yang menata segala yang ada di dalam dunia ini, dan manusialah yang menetapkan siapa dirinya, kepercayaannya, dan berjuang untuk tujuan hidupnya yang ditetapkan oleh dirinya sendiri. People make themselves who they are! Inilah teriakan eksistensialisme.[2]

Selain sederetan pemikiran dari Barat; dari Timur terus menayangkan pemikiran pantheistik monismenya melalui new age movement. Bayangkan, sebagai orang Kristen, mungkinkah kita pernah (sadar atau tidak sadar) hidup di dalam pemikiran-pemikiran tersebut? Ataukah, jangan-jangan kita tidak pernah menelusuri pemikiran diri kita yang sebenarnya “gado-gado”.

Wawasan Kristen (Christian Worldview)
Sebagai orang Kristen kita harus berwawasan Kristen (Christian Worldview). Poin paling penting dalam wawasan Kristen adalah, What sort of God that driven men to lay their heart commitment to? He is the only and ultimate God – the infinite, personal (triune), transcendent, immanent, omniscient, sovereign, and good God.

Allah adalah Allah, Dia adalah sumber dari segala sesuatu, Dia melampaui segala sesuatu, Dia tahu segala sesuatu tentang segala sesuatu, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya. Dia adalah “AKU ADALAH AKU.”[3] Dia adalah Allah yang berpribadi, Dia adalah Sang AKU. Allah bukanlah suatu energi maupun substansi yang abstrak. Allah adalah Sang Kebenaran itu sendiri, yang merupakan sumber dan yang mendasari segala kebenaran yang ada. Dialah sumber segala kemampuan untuk berefleksi dan kemampuan sadar akan diri. Dialah sumber segala motivasi karena rencana dan kehendak-Nya. Dia mengontrol segala sesuatu berdasarkan kedaulatan-Nya sesuai kerelaan kehendak-Nya. Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang lepas dari kontrol Allah yang berdaulat. Di dalam kedaulatan-Nya Allah menyatakan diri-Nya kepada kita. Dia merelakan diri-Nya dikenal melalui wahyu-Nya. Dialah Allah Trinitas, seperti yang dinyatakan-Nya dalam firman-Nya, Alkitab.

Allah bukan hanya memberikan diri-Nya dikenal, Dia juga Allah yang ada di tengah-tengah kita. Dia adalah Allah yang immanent, dan sekaligus transcendent, Dia adalah Allah. Transendensi-Nya tidak menjadikan-Nya tidak terjangkau (wholly others), karena imanensi-Nya dalam topangan tangan-Nya, dalam kerelaan-Nya memimpin dan menyatakan kehendak-Nya, dan seterusnya, tidak pernah absen.

Allah kita juga adalah Allah yang baik. Dia bahkan adalah kebaikan itu sendiri. Kebaikan Allah bisa diekspresikan lewat kekudusan dan kasih-Nya yang terlalu kaya. Kekudusan Allah membawa kita melihat standar keadilan Allah yang absolut dan kasih Allah membawa kita melihat kasih yang sejati. Di dalam segala atribut Allah yang dibicarakan di atas, Allah sempurna adanya. Dia sempurna dalam segala atribut-Nya. Dia sempurna dalam keberadaan-Nya, rencana-Nya, kehendak-Nya, pengetahuan-Nya, kebijaksanaan-Nya, dan seterusnya, Dia bahkan sempurna dalam kesempurnaan-Nya.

So… How then, should we choose to live? Pertanyaan ini bukan membawa kita untuk memilih dari wawasan dunia yang selain Kristen, tetapi justru menyadarkan kita bahwa ini bukan pilihan. Ketika hidup kita tidak bisa menjalankan apa yang Tuhan kehendaki, yaitu dalam dan melalui wawasan Kristen, maka sebenarnya kita tidak layak hidup. Alkitab menyatakan kepada kita bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia; bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.[4] Allah memberikan kita hidup untuk mengejar kesempurnaan yang Allah tetapkan, sesuai dengan kebenaran-Nya dan cara-Nya. Oh pasti, cara Tuhan berbeda dengan cara kita. Tuntutan Tuhan jauh lebih berat daripada tuntutan yang kita karang. Jauh lebih nyaman mempertuhankan diri daripada mempertuhankan Tuhan. Karena itulah, mari kita memohon anugerah-Nya agar kita mau, rela, dan mampu belajar hidup benar, mengejar tuntutan Allah di dalam terang-Nya, berjalan di dalam jalan-Nya, sesuai cara-Nya, dan dengan kacamata Kristen yang benar.[5]

Adelia Arif
Pemudi FIRES

Referensi:
1. James W. Sire, The Universe Next Door, 2004, Intervarsity Press: USA.

Endnotes:
[1] Carl Sagan, Astrophysicist.
[2] James W. Sire, The Universe Next Door, 2004, Intervarsity Press: USA.
[3] Keluaran 3:14.
[4] Roma 11:36.
[5] Catatan khotbah FIRES 2011.