Part 1: “Hendaklah Engkau Setia Sampai Mati…” Wahyu 2:10
Sickness Unto Death
Di dalam Yohanes 11 dikisahkan bahwa Lazarus mati. Tetapi sebelum dia mati, Tuhan Yesus mengatakan bahwa penyakitnya itu tidak akan membawa kematian. Lalu setelah itu Lazarus mati. Lazarus mati? Tetapi penyakitnya tidak akan membawa kematian? Bagaimana bisa? Apa maksudnya penyakit yang tidak akan membawa kematian? Kematian seperti apa? Bukankah Lazarus mati? Pengajaran apakah yang seharusnya dipelajari para murid? Salah satu pengajaran yang perlu diketahui para murid adalah, menurut Kierkegaard (dengan nama samaran Anti-Climacus), mengenai despair. Despair? Ya. Suatu kegelisahan yang dialami manusia. Kegelisahan eksistensial manusia. Kegelisahan yang terjadi karena manusia menjalani hidup yang terpisah dari Allah. Manusia tidak pernah mampu menjadi dirinya dengan sempurna jika terpisah dengan Allah dan inilah sumber kegelisahan itu. Kegelisahan yang, sebagaimana dikatakan Kierkegaard, bernama “Sickness Unto Death.” Tetapi manusia telah salah memahami kalimat ini. Penyakit yang membawa kematian bukanlah kematian itu sendiri! Apakah sumber kegelisahan manusia? Selama ini jawaban yang paling populer adalah “kematian”. Tidak hidup. Inilah sumber segala despair. Jadi mengapa manusia gelisah? Gelisah karena manusia tidak pernah bisa bebas dari fakta bahwa ada kematian. Saya menyadari bahwa saya hidup, tetapi ada suatu penyakit yang bernama kematian dan dia tidak bisa saya hindari. Saya manusia celaka! Celaka karena apa? Karena kematian selalu membayang-bayangi. Tetapi apakah benar kematian menjadi penyebab semua kegelisahan ini? Bukan! Bukan kematian yang menjadi penyakitnya! Jika demikian, berarti ada kemungkinan saya dapat bebas dari sengsara ini walaupun kematian adalah nasib mutlak saya di masa depan? Ya. Saya mungkin suatu saat nanti akan mati, tetapi saya tetap dapat menikmati hidup yang bebas dari kegelisahan ini. Maka, sebagaimana tertulis di dalam Yohanes 11, penyakit ini tidak akan membawa kepada kematian. Bukankah Lazarus mati? Ya. Tetapi setelah itu dia dibangkitkan dan terbuktilah perkataan Tuhan Yesus: “Penyakit itu tidak akan membawa kematian.” Sebuah perkataan yang membutuhkan mujizat besar untuk dipahami. Mujizat kebangkitan Lazarus.
Jika manusia menganggap hidup sebagai suatu hal yang akan berakhir dengan kematian, dan karena itu kegelisahan ini timbul, maka kegelisahan ini akan berhenti jika kematian dilihat dari sisi yang berbeda. Sisi yang, menurut Kierkegaard, sudah dilihat oleh orang Kristen. Bagi orang Kristen kematian tidak lagi menjadi akhir dari segala sesuatu, melainkan suatu kejadian minor di dalam keseluruhan yang bernama “hidup kekal”. Atau dalam kata-kata Kierkegaard sendiri, “… but to Christian eyes death is by no means the last thing of all, just another minor event in that which is all, an eternal life.” (Sickness Unto Death, hlm. 38). Lazarus mati. Tetapi ini adalah salah satu dari banyak kejadian di dalam perjalanan hidup kekal Lazarus. Demikianlah orang-orang Kristen menjadi umat yang terbebaskan dari belenggu sengsara yang melilit seluruh manusia. Terbebaskan karena adanya perubahan cara pandang. Cara pandang yang tadinya melihat kematian sebagai akhir, tetapi yang sekarang melihat hidup kekal sebagai keutuhan perjalanan seorang manusia; dan ketika pandangan ini menjadi cara seseorang melihat hidup, maka kematian menjadi salah satu minor event yang terjadi di dalamnya. Berarti masalah selesaikah? Semua beres? Pertanyaan terjawab? Tidak ada lagi misteri yang tidak tersingkap bagi mata orang yang percaya? Ternyata tidak. Apapun yang menjadi pengertian seseorang, termasuk pengertian dari sudut pandang yang memerdekakan di atas, kematian tetaplah misteri yang menimbulkan begitu banyak emosi dan pertanyaan yang tidak terjawab. Misteri yang muncul pada diri seseorang yang berdiri di depan sebuah kuburan sambil bertanya, “Apakah ini yang menjadi makna kehidupan? Semua harus berakhir di sinikah?” Semua perjuangan meraih seluruh harta, kedudukan, dan reputasi; baik yang duniawi maupun yang rohani, seolah-olah sirna di bawah segunduk tanah. Seluruh pencarian jati diri dan nilai hidup seolah-olah berhenti bersamaan dengan berhentinya nafas seorang manusia. Seluruh cahaya kehidupan yang memancarkan semangat hidup padam bersamaan dengan kehidupan seorang manusia. Sungguh suatu misteri yang besar bagaimana seorang manusia, yang sebelumnya begitu penuh dengan kehidupan, dapat menjadi wujud yang begitu dingin dan kaku. Sebuah misteri yang muncul baik dalam diri seseorang yang belum tahu apa yang dimaksud dengan hidup kekal dan juga dalam diri seseorang yang sudah “tahu” apa yang dimaksud dengan hidup kekal.
Tetapi, sebagaimana telah dikatakan Kierkegaard di atas, ini bukanlah “sickness unto death”. Ketakutan akan kematian maupun misteri kematian, semua ini bukanlah yang disebut dengan despair, atau kegelisahan, atau sickness unto death. Dengan cara pandang yang berbeda Kierkegaard menjelaskan kegelisahan ini sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan kegentaran menghadapi kematian. Penyakit yang membawa kematian bukanlah sesuatu yang berkaitan dengan momen di mana malaikat maut berdiri dengan sabit panjang yang siap diayunkan. Lalu apakah penyakit yang membawa kematian ini? Mengapa Kierkegaard mengaitkannya dengan despair? Mengapa ini merupakan kegelisahan eksistensial seorang manusia? Kierkegaard menafsirkan perkataan Tuhan Yesus dalam Yohanes 11 sebagai perkataan yang mengajarkan makna sesungguhnya dari penyakit yang membawa kematian. Penyakit ini bukanlah penyakit fisik, tetapi penyakit spiritual. Penyakit yang membawa kematian adalah dosa itu sendiri. Dosa yang bukanlah tindakan manusia, tetapi keberadaan diri manusia yang tidak mau menjadi dirinya sendiri. Ketika seseorang menolak untuk menjadi dirinya sendiri maka dia akan kehilangan jati dirinya dan masuk ke dalam despair. Tetapi apakah maksudnya menjadi diri sendiri? Apakah sama dengan konsep orang-orang narsis yang pamer keunikan dengan moto “be yourself”? Tidak. Yang dimaksud Kierkegaard adalah seseorang hanya dapat menjadi dirinya sendiri setelah dia berada di hadapan Allah. Seseorang hanya dapat menjadi dirinya sendiri setelah dia menjadi manusia di dalam kriteria yang ditetapkan Allah. Allah menjadikan seseorang mempunyai diri yang sejati. Siapakah dia yang menjadi dirinya yang sejati? Kierkegaard mengatakan bahwa dia yang mempunyai iman untuk hidup di hadapan Tuhan, dialah yang mempunyai diri yang sejati. Despair terjadi karena dosa, dan diri yang sejati ada karena iman kepada Allah yang menjadikan diri dan memberikan penilaian atas diri.
Despair membuat seseorang mati. Inilah yang disebut penyakit yang membawa kematian yang sesungguhnya. Dia mungkin hidup, tetapi hidup dalam kegelisahan. Hidup dalam “sickness unto death”. Lazarus sakit dan akhirnya mati, tetapi Tuhan berkata bahwa penyakitnya tidak akan membawa kepada kematian. Milyaran orang saat ini hidup, tetapi hidup dengan terjangkit penyakit yang membawa kepada kematian. Ironis sekali… Dua jenis manusia, yang satu menjalani hidup di hadapan Tuhan dengan iman mereka, dan yang lain menjalani hidup di dalam kegelisahan. Dua jenis manusia yang akhirnya menghadap kematian.
Faithful Unto Death
Tidak ada yang dapat mencegah kematian menjemput. Kitab Pengkhotbah mengatakan bahwa semua orang akhirnya mati. Kaya, miskin, pintar, bodoh, saleh, pendosa, tidak ada satu orang pun yang luput. Dengan demikian boleh juga dikatakan orang yang mengalami “sickness unto death” akan mati dan orang yang hidup di hadapan Allah dengan imannya yang setia… juga akan mati. Lalu apakah ada perbedaan nasib antara orang percaya dan orang yang tidak percaya? Kalau perbedaan nasib itu ada pada hidup setelah kematian, apakah itu berarti ketika hidup menuju kematian tidak ada perbedaan apapun antara orang percaya dan yang tidak? Di sinilah pengertian Kierkegaard dalam “Sickness Unto Death” menjadi begitu penting. Orang percaya dan orang yang tidak percaya mempunyai perbedaan yang sangat jauh dalam hidup. Orang yang tidak beriman mengalami begitu banyak guncangan, kegelisahan, ketidaktenangan, dan semua yang terjadi akibat adanya penyakit bernama sickness unto death ini. Bagaimana tidak? Manusia hidup di tengah-tengah begitu banyak tension dan mau menjalaninya terlepas dari Allah. Kierkegaard, berbeda dengan Hegel, memberikan tekanan pada tension sebagai sesuatu yang ada secara nyata dalam hidup manusia. Hegel memberi solusi bagi pertentangan-pertentangan yang ada dengan konsep tesis-antitesis-sintesisnya. Tetapi bagi Kierkegaard tension yang ada dalam hidup manusia tidak terdamaikan. Tension apakah? Salah satunya adalah tension antara yang sementara (finite) dan kekal (infinite). Ada sifat sementara dan sifat kekal dalam hidup seorang manusia yang membawa tension begitu besar. Lalu manusia dalam kegelisahannya berusaha untuk meredakan tension ini dengan lari ke arah yang ekstrim, yaitu hidup sepenuhnya berfokus pada yang kekal atau hidup sepenuhnya berfokus kepada yang sementara. Fokus kepada yang kekal akan membuat seseorang hidup dalam fantasi yang abstrak, hidup yang tidak nyata dan berada dalam keterasingan yang pada akhirnya membuatnya menjadi penuh kegelisahan. Sedangkan fokus kepada yang sementara membuat seseorang hidup dalam kehidupan yang sangat reduktif. Penuh dengan kekosongan makna. Dengan mudah dia akan terseret ke dalam penilaian dunia. Ingin menjadi seperti orang lain. Ingin punya prestasi seperti orang lain. Ingin diakui oleh orang lain. Akhirnya hidupnya penuh dengan pencarian yang membuat dia kehilangan identitas dirinya yang hanya bisa ditemukan di hadapan Tuhan.
Tidak. Ketegangan ini tidak bisa diselesaikan dengan mengabaikan salah satu bagian. Ketegangan ini juga tidak bisa diselesaikan dengan adanya sintesis yang mendamaikan keduanya. Ketegangan ini hanya bisa diselesaikan dengan pengenalan diri yang sejati, yaitu pengenalan diri yang berasal dari Allah. Maka, dengan kehidupan yang penuh despair orang-orang dunia berusaha menjalankan hidup hingga nanti kematian menjemput. Sebelum mati apakah yang akan saya lakukan? Saya akan mengejar kedudukankah? Saya akan mengejar penerimaan dari orang lainkah? Saya akan mencari cinta sejatikah? Saya akan lari dari dunia dan hidup dalam situasi kontemplatifkah? Apapun yang mau dikerjakan oleh manusia tidak akan merubah fakta bahwa dia tetap akan mengerjakannya dengan despair. Dengan sebuah sickness unto death. Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang sudah kembali kepada Allah? Orang-orang yang dahulu mempunyai sickness unto death tetapi yang sekarang sudah hidup di hadapan Allah? Bagi orang-orang ini dunia tidak lagi sama. Dunia tetap menawarkan kepedihan dan sukacita yang sama. Dunia juga tetap berjalan dengan keteraturan yang sama. Matahari bersinar di siang hari dan bulan di malam hari. Kadang bertemu dengan situasi penuh suka, dan saat lain kesedihan yang mendalam. Lalu apa yang berubah? Yang berubah adalah sekarang mereka tidak lagi hidup di hadapan dunia. Mereka hidup di hadapan Tuhan. Situasi dunia boleh penuh sukacita dan tawaran menggiurkan, tetapi mereka tidak akan terseret olehnya. Situasi dunia boleh penuh sengsara dan bahaya, tetapi mereka tidak akan menjadi hancur olehnya. Mengapa tidak? Karena mereka memandang Allah mereka yang memberi perintah, “Hendaklah engkau setia sampai mati…” Faithful unto death!
Wahyu 2:8-11 memberikan catatan mengenai pesan Tuhan Yesus kepada jemaat Smirna, sebuah jemaat yang mendapatkan aniaya dari orang-orang Yahudi. Sebagian dari mereka dilemparkan ke dalam penjara, sebagian disiksa, dan sebagian lagi hidup dalam bahaya akan kehilangan nyawa. Orang-orang Kristen mula-mula begitu akrab dengan sengsara dan penderitaan, tetapi mengapa masih ada orang-orang yang menyebut penderitaan dalam nama Kristus sebagai kegembiraan (band. Kis. 5:41)? Sebagian orang-orang yang menyebut diri Kristen saat ini hidup dengan standar yang jauh berbeda. Keamanan, kenyamanan, kelimpahan, ketenangan, kekuatan, semua ada. Tetapi mengapa kedamaian itu tidak ada?? Siapakah yang akan menyangka bahwa orang-orang Kristen abad pertama yang ditindas, bahkan berada dalam bahaya maut, adalah sekelompok orang-orang yang masih dapat menemukan alasan untuk bersukacita? Karena, sebagaimana dikatakan Kierkegaard, orang-orang yang sudah bebas dari sickness unto death adalah orang-orang yang mampu mempunyai kedamaian sejati dari Allah. Kedamaian yang tidak dapat diambil oleh penderitaan dunia sekalipun.
Tetapi orang-orang Kristen bukanlah orang-orang penggila penderitaan. Mereka adalah orang-orang yang lebih suka hidup dalam ketenangan, jika memungkinkan. Mereka tidak mau dipenjara. Mereka juga tidak mau mencicipi penderitaan cambuk orang Romawi. Dan tentu saja mereka juga tidak mau mati. Kalau boleh pilih bukankah hidup yang tenang dan mulus jauh lebih baik? Yohanes Calvin di dalam Institutes buku 3 (III.8.9.) mengatakan bahwa orang-orang Kristen bukanlah kaum Stoik yang menganggap hina semua perasaan-perasaan manusia, termasuk perasaan sedih dan ketakutan untuk menderita. Orang Kristen tetap dapat merasa sedih. Orang Kristen juga tetap takut untuk menderita. Siapakah yang suka menyaksikan penganiayaan, apalagi merasakannya sendiri? Tidak ada. Inilah yang membuat surat kepada jemaat Smirna menjadi begitu relevan. Mereka akan menderita aniaya dan siapakah yang tidak menjadi gentar karenanya? Karena itulah Tuhan memberikan pesan yang menguatkan. “Siapa yang setia sampai mati akan memperoleh mahkota kehidupan.” Kalimat pendek yang sangat dalam. Siapa yang setia sampai mati…
Seorang Kristen dari Smirna bernama Polycarpus membaca surat ini ketika muda. Ketika berusia 86 tahun dia ditangkap dan dipaksa untuk mengatakan bahwa Kaisar adalah Tuhan. Tentu saja dia menolak. Karena tidak tega membakar seorang tua yang saleh seperti Polycarpus, seorang perwira berusaha membujuk dia untuk mengucapkan kalimat tersebut. Karena gagal maka sang perwira tersebut berusaha membujuk Gubernur Romawi untuk melepaskan orang tua ini. Maka Gubernur itu mengizinkan Polycarpus untuk tidak usah menyebut kaisar Tuhan dan dia akan dilepaskan, tetapi dia harus mengutuk Tuhan Yesus. Gubernur itu mendapatkan jawaban yang merupakan kalimat yang paling diingat dari Polycarpus. “86 tahun Yesus Kristus saya layani, dan Dia tidak pernah melakukan satu pun kesalahan kepadaku. Bagaimana mungkin aku mengkhianati Rajaku, yang sudah menyelamatkan aku? Lakukanlah apa yang mau kamu lakukan terhadap aku!” Inilah kalimat terakhir dari Polycarpus sebelum api membakar tubuhnya. Tidakkah dia takut? Tentu takut. Lalu apa yang membuat dia kuat? Karena waktu muda dia membaca tulisan Yohanes mengenai perkataan Tuhan, “Hendaklah kamu setia sampai mati ….”
Orang dunia mengalami sickness unto death. Tetapi orang Kristen menaati perintah faithful unto death. Inilah yang menjadi pembeda paling dasar dari dua golongan orang yang hidup di dunia ini. Sama-sama menuju kematian, tetapi yang satu berjalan menuju kematian dengan sickness-nya sedangkan yang lain berjalan menuju kematian dengan faithfulness-nya. Yang satu tidak bisa lepas dari ketidaktenangan hidup, yang lain memperoleh ketenangan dari janji Tuhan yang menguatkan imannya.
Bagi orang Kristen kematian tetap merupakan misteri. Kematian tetap merupakan kesedihan. Kematian tetap merupakan sengsara yang membuat kita sadar kebenaran kalimat yang mengatakan “upah dosa adalah maut”. Tetapi misteri, kesedihan, dan kesengsaraan maut telah ditelan oleh janji dari Tuhan Yesus yang mengatakan “Hendaklah kamu setia sampai mati dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.” Seperti apakah mahkota kehidupan itu sehingga mampu menguatkan begitu banyak orang Kristen? Tidak ada yang tahu sampai dia mendapatkannya dari Tuhan. Tetapi yang membuat kuat orang-orang Kristen bukanlah mahkota tersebut, tetapi Sang Pemberi Mahkota yang berjanji. Dialah sumber kekuatan orang-orang Kristen dalam menghadapi maut sekalipun. Mengapa? Karena Dia adalah “… yang telah mati dan hidup kembali”.
(… bersambung ke bagian 2)
Ev. Jimmy Pardede
Gembala GRII Malang
Referensi:
Soren Aabye Kierkegaard, The Sicknes Unto Death (Penguin Classics)
John Calvin, Institutes of Christian Religion (WJK)