Yang Telah Mati Dan Hidup Kembali (Bagian 2)

Part 2: “…Dikumpulkan Allah Bersama-sama dengan Dia” 1 Tesalonika 4:14

Danse Macabre

Beberapa tulang belulang manusia menari-nari di sekitar orang-orang yang masih hidup. Satu meniup bagpipe-nya dan yang lain tampak begitu “hidup” dan menari-nari sambil menggaet tangan orang-orang yang masih hidup. Dan lihatlah orang-orang yang masih hidup itu. Mereka terlihat begitu mati. Masih hidup, tetapi tanpa ekspresi. Mempunyai tubuh yang utuh, tetapi tidak ada tarian dan kelincahan. Dan lihatlah siapa-siapa saja yang masih hidup tersebut. Ada pemimpin agama, raja dan ratu, bangsawan, dan terus sampai seorang pengemis. Semua berbagian di dalam tarian yang mereka ikuti dengan pasif ini. Semuanya digandeng oleh pasangan dansa mereka yang hanya tinggal tulang-belulang. Lihatlah para tulang-belulang tersebut… Mereka melonjak-lonjak dan menari dengan begitu lincahnya. Tangan mereka secara aktif menggandeng pasangan dansa mereka yang hanya berdiri mematung saja. Siapakah pasangan dansa mereka? Pengemiskah? Tentarakah? Orang kayakah? Bangsawankah? Pangerankah? Ratu? Raja? Paus? Mereka tidak peduli. Mereka tidak merasa minder menggandeng tangan seorang raja dan paus. Dan mereka juga tidak menghindar untuk menggandeng tangan seorang pengemis. Semua tampak sama bagi mereka. Semua tampak tak berdaya bagi mereka. Maka lihatlah! Mereka terus menari, mengajak pasangan dansa mereka untuk bergabung dalam tarian yang mereka mainkan. Tarian kematian! Totentanz! Dance of Death! Demikianlah kesan yang didapat ketika seseorang memandang lukisan kuno abad ke-15 dari Bernt Notke. Lukisan, yang seolah-olah mau menguatkan pesan yang dibawanya, yang sekarang hanyalah sisa dari lukisan semula karena terbakar di dalam gereja yang dibom pada waktu Perang Dunia II. Mulai dari paus, raja, bangsawan, hingga rakyat jelata sama-sama mempunyai takdir untuk berdansa dengan kematian. Tidak ada yang dapat menghindar. Tidak ada yang bahkan dapat menunda pertemuan ini. Tidak ada yang dapat berdalih sibuk, atau masih banyak urusan yang belum selesai. Tidak ada yang dapat membujuknya dengan kalimat-kalimat cerdik yang menipu seperti Sisyphus menipu dewa kematian. Tidak ada yang dapat menyogoknya dengan seluruh harta yang dimilikinya. Semua akhirnya berdansa dengan kematian. Lukisan yang begitu mengerikan tetapi juga begitu realistis dalam menggambarkan keadaan manusia inilah yang juga tergambar dalam karya Franz Liszt, Totentanz. Karya yang dimulai dengan hentakan piano seolah-olah sang pianis memukulkan palu ke atas tuts-tuts yang harus ditekan. Hentakan yang menggambarkan derap langkah yang sangat berat. Hentakan yang kemudian disambung dengan tiupan trompet yang memainkan musik penyambutan. Siapakah yang sedang disambut ini? Untuk menjawab inilah maka perpaduan musik dari orkestra dan piano ini berlanjut dengan memainkan nada-nada yang penuh misteri dan kengerian. Barulah orang mengerti, orkestra sedang menyambut datangnya kematian. Kematianlah yang sedang melangkah masuk dan seluruh orkestra memberikan sambutan mengerikan bagi dia. Setelah itu mulailah musik pengiring tarian. Tarian yang akan dimainkan oleh Sang Kematian. Sang Kematian menari? Ya. Dia sedang bersiap untuk berdansa. Siapakah pasangan dansanya? Kita semua adalah pasangan dansanya. Lukisan, tulisan, hingga karya musik menggambarkan kesadaran manusia akan realitas kematian. Mulai dari wabah hitam yang mematikan nyaris separuh dari seluruh penduduk Eropa pada abad ke-13, perang 30 tahun antara Kristen dan Katolik yang memakan begitu banyak korban di abad ke-16, peperangan untuk memperbesar daerah kekuasaan yang terjadi nyaris di seluruh abad, dan mayat-mayat dari pahlawan-pahlawan muda yang bergelimpangan di area peperangan menunjukkan satu fakta yang menyadarkan orang-orang Eropa, yaitu fakta bahwa kematian adalah pemenangnya dan mereka sadar bahwa mereka tidak bisa menghindar dari dia. Inilah kesadaran yang sering dilupakan. Kesadaran bahwa semua manusia akan mati. Kesadaran yang sering kali tenggelam seiring dengan berlimpahnya jaminan hidup. Kesadaran yang segera bangkit kembali begitu aroma kematian mulai meruntuhkan jaminan hidup tersebut satu per satu dan menunjukkan bahwa sang pasangan dansa setiap manusia itu sudah dekat. Dekat dan telah siap untuk mengulurkan tangan mengajak berdansa. Maka biarlah musik mulai memainkan lagu. Lagu apakah? Aufforderung zum tanz… Totentanz…

Memento Mori
Kesadaran mengenai kematian sebenarnya adalah sesuatu yang sudah ditulis di dalam budaya manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Salah satu naskah terkuno yang memuat ini adalah Kitab Kejadian. Firman Tuhan sudah menyatakan kepada manusia bahwa kematian pasti terjadi. Dan mengapakah kematian pasti terjadi? Karena manusia sudah berdosa. Kejadian 3 menggambarkan kisah di Taman Eden. Kecerdikan sang ular, kepolosan sang perempuan, dan diamnya manusia mewarnai peristiwa ketika larangan Tuhan Allah dilanggar.

“Bukankah Tuhan Allah berfirman bahwa semua buah dalam taman ini terlarang bagimu?”
“Tidak. Semua buah dapat kami makan, kecuali buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat.”
“Mengapa tidak?”
“Nanti kami mati…”
“Kamu tidak akan mati… matamu akan terbuka…”

Satu pasal yang penuh dengan pesan yang sangat dalam. Perempuan memakan buah tersebut dan memberikannya juga kepada suaminya. Mereka berdua makan buah yang kata-Nya akan mendatangkan “kematian dari kematian”. Tetapi pasal tiga juga mengungkapkan kebenaran dari perkataan ular. Mereka tidak mati! Mata mereka terbuka! Bukankah ini sesuai dengan janji ular? Sepertinya demikian. Ketika manusia melawan Tuhan seolah-olah efek langsung dari tindakan tersebut adalah menjadi genapnya tawaran dosa. Sepertinya apa yang diidam-idamkan benar-benar terjadi! Mata mereka sungguh-sungguh terbuka dan mereka tidak mati! Tetapi benarkah mereka tidak mati? Pasal lima sampai pasal lima puluh dari kitab ini menuliskan bagaimana semua tokoh-tokoh dalam Kitab Kejadian pada akhirnya mati. Adam mati. Set mati. Nuh mati. Abraham mati. Ismael mati. Ishak mati. Yakub mati. Dan Kitab ini pun ditutup dengan kisah mengenai kematian Yusuf. Dimulai dengan Allah mencipta dengan “amat baik” dan diakhiri dengan matinya Yusuf di tanah Mesir. Inilah Kitab Kejadian. Kitab di mana tarian kematian menunjukkan dirinya sekaligus menunjukkan kebenaran dari firman Tuhan. Pastilah kamu mati! Tidak akan mati? Mata terbuka? Mata terbuka untuk melihat bagaimana satu per satu orang-orang yang dikenal pada akhirnya mati. Mata terbuka? Mata terbuka untuk melihat anak yang kekasih dibunuh oleh kakaknya sendiri. Mata terbuka untuk melihat genangan air yang menutupi seluruh bumi mengambil nafas dari setiap makhluk di darat. Mata terbuka untuk melihat penduduk Sodom dan Gomora menemui kematian dengan adanya api membakar habis kota mereka. Mata terbuka untuk melihat bahwa bahkan tokoh paling penting dalam kitab ini sekalipun, yang baginya dijanjikan tanah Kanaan, ternyata hanya bisa memiliki sebuah tempat kecil untuk menjadi kuburannya. Semua mati!

Tarian kematian seharusnya mengingatkan kembali semua manusia bahwa semua orang akan mati. Memento mori. Ingatlah bahwa engkau itu fana. Ingatlah bahwa suatu saat kamu pun akan mati. Inilah pesan yang ditangkap ketika seorang filsuf Jerman bernama Heidegger mulai merenungkan tentang keberadaan manusia[1]. Manusia itu ada, tetapi dia tidak akan pernah bisa menjadi keberadaan yang total. Dia hanyalah keberadaan yang sangat kecil dan yang berusaha memahami makna keberadaannya. Keberadaan di tengah-tengah Ada. Keberadaan yang dapat memahami Ada hanya jika sebagian dari Ada itu menjadi nyata di dalam kesehari-harian dari manusia yang berada. Ada hanya dapat dipahami di dalam keterbatasan dan kesempitan pengalaman menjadi ada dari manusia yang berada. Ada yang begitu besar dan luas tidak mungkin dipahami oleh manusia yang hanyalah bagian dari totalitas keberadaan di dalam Ada. Keberadaan manusia yang menjadi ada di tengah-tengah waktu ini adalah keberadaan yang begitu remeh dan kecil. Karena itulah menjadi manusia berarti menyadari keunikan manusia yang dapat memahami Ada sekaligus menjadi begitu terhilang ketika dia berpikir bahwa dia dapat memahami Ada. Menjadi manusia berarti menyadari bahwa esensi keberadaan manusia adalah eksistensinya. Kesadaran akan eksistensinya di dalam dunia sebagai eksistensi yang terlempar di dalam dunia dan bukan sebagai yang sanggup mengontrol dan memahami dunia. Kesadaran yang akan makin muncul ketika dia merenungkan kematian.

Heidegger mengatakan bahwa kematian adalah titik paradoks di mana eksistensi manusia menjadi komplit sekaligus habis. Menjadi ada secara sempurna sekaligus menjadi tidak ada. Mengapa bisa demikian? Heidegger mengatakan bahwa karena manusia tidak mungkin mengetahui akan menjadi seperti apakah totalitas eksistensinya kecuali jika dia telah mati. Seseorang tidak akan tahu pencapaian apa saja yang mungkin dia capai, atau pengetahuan apa yang mungkin dia raih, atau tindakan apa yang mungkin dia lakukan ketika dia masih hidup. Karena selama seseorang masih hidup, pertumbuhan menuju totalitas keberadaannya akan terus terjadi. Seorang yang masih sekolah di SMA tentu tidak mungkin diberikan penghargaan yang sama dengan yang diberikan kepada seorang presiden. Tetapi mungkin 30 tahun mendatang dia akan menjadi presiden. Totalitas keberadaannya belum tercapai ketika dia berada di SMA. Lalu kapankah totalitas keberadaan seseorang tercapai? Ya. Pada saat kematiannya. Itu adalah puncak eksistensi seseorang. Puncak eksistensi yang juga adalah akhir dari eksistensinya. Dia mencapai totalitasnya sebagai manusia sekaligus mencapai akhir dari keberadaannya sebagai manusia. Jadi apakah yang dimaksudkan Heidegger? Setelah mati maka semua berakhir? Semua pencapaian seorang manusia menjadi kosong? Tidak. Heidegger mengatakan eksistensi seseorang akan tetap hadir di dalam memori orang-orang yang ditinggalkan. Dia tidak berhenti menjadi ada. Dia tetap ada di dalam diri orang-orang yang pernah berbagi hidup dengannya ketika dia masih hidup. Ada relasi yang terus terjalin dalam peninggalan diri seseorang yang telah mati di dalam diri orang-orang yang masih hidup. Ada bekas yang ditinggalkan oleh orang yang telah mati untuk terus mewarnai kehidupan orang-orang yang masih mempunyai eksistensi. Apakah makna menjadi manusia? Mempunyai keberadaan yang menjadi total dan membekas pada diri orang lain ketika dia mati. Mencapai tujuan di dalam kematiannya.

Dengan demikian seseorang akan jauh lebih memahami eksistensinya ketika dia merenungkan kematian. Memikirkan bahwa hidupnya akan berakhir akan membuatnya mempunyai hidup yang terarah dan tidak dihabiskan untuk hal-hal yang tidak bernilai. Bijaksana yang dimiliki seseorang untuk mengenal eksistensinya menjadi semakin bertambah jika dia menyadari fakta bahwa kematian suatu saat akan menjemput dia. Tarian kematian akan dijalaninya. Tetapi tarian ini akan menjadi tarian yang mengeluarkan seluruh potensi keberadaannya. Akhir dari hidup yang juga merupakan totalitas keberadaan yang akan dikenang oleh orang-orang lain. Dengan demikian pemikiran Heidegger ini sedang memberikan sesuatu yang lebih kepada manusia daripada hanya sekadar menyadarkan manusia akan fakta kematian. Pemikiran ini memberikan makna kepada kematian. Kematian tidak hanya akhir, tetapi juga kesempurnaan. Kesempurnaan keberadaan seorang manusia di dalam waktu dan di dalam dunia. Kesempurnaan yang memiliki nilai kekal di dalam relasi yang pernah dimiliki. Nilai kekal. Nilai yang tidak habis saat kematian menjemput. Nilai yang membuat manusia menjadi manusia.

Jika kita merenungkan sedikit lebih jauh konsep dari Heidegger, maka kita akan menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih di dalam kematian yang dapat membawa kepedihan yang mendalam. Kematian bukan hanya menakutkan karena kematian akan menjemput. Kematian juga menggoreskan luka yang sangat dalam bagi batin seseorang yang kehilangan orang yang dikasihi. Luka yang sering kali jauh lebih dalam ketimbang luka yang dapat dihadirkan oleh kematian itu sendiri. Heidegger mengatakan bahwa kematian adalah momen di mana eksistensi seseorang berhenti. Apakah yang menyedihkan dari kematian bagi orang yang telah mengalaminya? Tetapi memori yang diberikan di dalam diri orang-orang yang pernah berbagi hidup dengan orang yang telah mati inilah kesedihan dari kematian bagi mereka yang telah ditinggalkan. Kematian bukan lagi hal yang menyengsarakan bagi mereka yang telah mengalaminya. Jika murka Tuhan yang digambarkan sebagai kematian kedua adalah sesuatu yang menanti orang tersebut, maka murka tersebutlah sengsara yang sesungguhnya. Kematian hanyalah menggenggam tangannya, mengajaknya berdansa, dan menghantarkan dia pada penghakiman Allah. Tetapi kematian telah memberikan dukacita yang mendalam bagi mereka yang ditinggalkan. Dukacita inilah yang berusaha dikurangi dengan menerapkan konsep Heidegger. Martabat manusia tidak habis bersamaan dengan kematiannya. Keberadaannya tetap hadir di dalam diri orang-orang yang ditinggalkan. Bukankah ini sesuatu yang indah? Manusia mempunyai makna yang melampaui keberadaannya. Martabat dari menjadi manusia lebih besar dari kehidupan seorang manusia. Nilai kekal di dalam apa yang telah dicapai jauh lebih besar dari kehidupan seseorang. Dampak yang dirasakan terus menerus dari apa yang pernah dinyatakan dalam kehidupan seseorang menjadi lambang kehidupan seseorang meskipun dia telah tiada. Inilah refleksi yang dapat kita renungkan. Nilai eksistensial manusia yang masih berdampak meskipun dia telah mati. Dengan demikian, pembahasan mengenai martabat manusia yang masih bertahan di dalam ingatan orang-orang yang pernah berbagi hidup dengannya bukanlah pembahasan bagi orang yang telah mati dalam menghadapi kematian, melainkan bagi orang yang masih hidup dalam menghadapi kematian orang yang dikasihinya. Yang kekasih telah mati. Tetapi nilai dari orang tersebut bukanlah nilai yang dapat terkurung di dalam segunduk tanah. Bukan juga nilai yang terdapat dalam tubuh yang tak bernyawa. Bahkan, lebih dari itu, bukanlah nilai yang terdapat dalam kemampuan berelasi dari orang yang sudah tidak lagi hidup tersebut, melainkan di dalam pengalaman yang pernah dilalui bersama-sama. Memori. Apa yang pernah dilalui bersama-sama.

Kematian memberikan duka mendalam dan Heidegger memutuskan untuk tidak memberikan penghiburan dengan membahas sesuatu yang tidak realistis. Apakah yang nyata kalau demikian? Yang nyata adalah bahwa orang yang telah mati tidak lagi berada. Dia tidak lagi dapat berelasi dengan yang hidup. Dia tidak lagi dapat berinteraksi dengan yang hidup. Dia sudah tidak ada. Tetapi kedukaan ini memperoleh penghiburannya dengan segala pengalaman bersama yang dilalui. Momen-momen ketika orang yang kekasih masih hidup. Momen-momen ketika seseorang menikmati pembicaraan bersama-sama. Momen-momen ketika tawa maupun tangis dibagi bersama-sama. Momen-momen yang tidak akan mati bersama dengan keadaan tubuh orang yang dikasihi. Kesakitan mendalam dari kematian bukanlah kesakitan yang dialami dia yang telah berdansa dengan kematian. Kesakitan yang mendalam adalah di dalam diri orang-orang yang dikasihi, yang sekarang menyaksikan bahwa tangan yang tadinya menggenggam dirinya dengan penuh kasih sekarang telah digenggam oleh kematian.

Ars Moriendi
Jika Heidegger memberikan pemikirannya mengenai makna keberadaan seseorang yang kekal di dalam memori orang-orang yang terkasih, apakah kekristenan menawarkan hal yang sama? Tentu tidak. Yang pertama, kekristenan tidak percaya bahwa eksistensi manusia berhenti bersamaan dengan kematiannya. Ada tidak menjadi nihil. Kematian bukanlah momen di mana eksistensi manusia menjadi hilang. Kematian memang memisahkan seseorang dengan yang masih hidup, tetapi ini adalah perpisahan yang sementara. Ah… alangkah indahnya kalimat yang terkadang terdengar klise ini. Tetapi sebenarnya kalimat ini baru mengungkapkan separuh dari kebenaran firman Tuhan. Di dalam 1 Tesalonika 4 Paulus memberikan penghiburan bagi orang-orang yang mengalami kematian. Terlepas dari latar belakang isu kontemporer di Tesalonika, bagian ini memberikan suatu fakta bagi kita pada zaman ini mengenai kematian yang jauh lebih dalam daripada hanya sekadar suatu perpisahan sementara. Penghiburan bagi orang-orang Kristen bukan hanya di dalam memori yang indah yang pernah dibagi bersama. Tetapi juga bukan hanya di dalam pengertian bahwa kematian adalah perpisahan yang sementara. Paulus tidak memberikan penekanan pada pertemuan kembali, tetapi pada pengharapan akan momen di mana Kristus menyatakan diri. Orang-orang yang telah mati di dalam Kristus dan yang masih hidup di dalam Kristus mempunyai persekutuan. Persekutuan yang tidak dipisahkan oleh kematian. Persekutuan yang tidak menjadikan kematian sebagai momen yang mematikan. Tetapi persekutuan ini juga bukanlah persekutuan yang terutama dilandaskan pada relasi antar manusia. Bukan memori dari relasi antar manusia yang menjadikan persekutuan ini kekal. Kalau bukan, lalu apakah? Persekutuan ini menjadi persekutuan yang kekal karena baik yang hidup maupun yang telah mati sama-sama mempunyai satu pengharapan.

Kedatangan Kristus ke dalam dunia merupakan kedatangan yang melampaui apapun yang pernah terjadi di dalam sejarah. Makna kedatangan Kristus, baik yang pertama maupun yang kedua nanti, memberikan (dan akan memberikan) perubahan yang mendasar dan menyeluruh, melampaui peristiwa apapun yang pernah, sedang, atau akan terjadi di dalam sejarah. Mungkinkah ada peristiwa yang mampu memberikan makna yang total berbeda dari kematian? Kedatangan pertama Kristus menyebabkan perubahan total dari makna kematian. Roma 6 mengatakan bahwa kematian adalah wujud kesempurnaan tindakan orang Kristen untuk mati bagi dosa. Jadi kematian adalah tanda kesempurnaan perjuangan melawan dosa[2]. Jika Heidegger mengatakan bahwa kematian adalah totalitas keberadaan manusia, maka Paulus mengatakan bahwa kematian adalah totalitas proses penyucian manusia untuk mati bagi dunia dan hidup bagi Kristus. Mematikan diri menjadi sempurna di dalam kematian. Ini hanya bisa terjadi karena Kristus yang sudah datang ke dalam dunia untuk mati karena dosa. Dosa umat manusia di dalam Adam, dan bukan dosa Dia sendiri. Manusia berdosa, dan Kristus datang untuk mengidentikkan diri-Nya dengan manusia berdosa, meskipun Dia tidak berdosa. Dan karena Dia mengidentikkan diri-Nya dengan manusia berdosa yang sudah digenggam oleh kematian, maka Dia pun mengalami kematian. Tetapi kematian-Nya mengubah segala sesuatu dengan radikal. Jika dahulu Dia datang untuk mengidentikkan diri-Nya dengan kematian manusia, maka setelah kematian-Nya seluruh orang percaya akan diidentikkan dengan kematian Kristus. Dan dalam Roma 6, Paulus mengatakan bahwa jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, maka kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya. Bandingkan betapa berbedanya konsep dia mengenai kematian. Yang satu menganggap kematian adalah puncak dari menjadi manusia dan sekaligus akhir dari eksistensi seorang manusia, sedangkan Paulus mengatakan bahwa kematian adalah puncak dari menjadi manusia yang suci sekaligus akhir dari eksistensi manusia yang lama.

Tetapi bukan hanya itu, di dalam pembahasan kematian kita berhadapan dengan fakta menyakitkan yang dingin, yaitu keterpisahan dengan yang dikasihi. Heidegger menghidupkan martabat seorang manusia yang telah mati dengan mengingatkan kita semua bahwa dia tetap hidup di dalam memori orang-orang yang pernah berbagi hidup dengan dia. Dengan demikian memori mengenai hidup yang dijalani bersama-sama menggantikan relasi yang tidak mungkin lagi dimiliki. Bagaimana dengan ajaran Paulus? Paulus tidak mengatakan bahwa relasi masih mungkin dimiliki oleh orang-orang di dunia yang telah kehilangan orang yang dikasihinya. Kita tidak mungkin menyewa seorang paranormal untuk membawa kembali roh Samuel dari dunia kematian supaya kita dapat melanjutkan relasi tersebut. Ada keterputusan. Dan karena itu ada kedukaan. Paulus tidak pernah melarang orang-orang Tesalonika untuk berduka. Dia hanya melarang orang-orang Tesalonika untuk berduka seperti orang yang tak berpengharapan. Pengharapan apakah? Pengharapan bahwa relasi yang terputus untuk sementara ini akan disambung lagi? Pengharapan bahwa di surga nanti kita akan sama-sama bertemu dan melanjutkan semua memori indah yang dulu pernah diinterupsi oleh kematian? Tidak. Bukan di situ penekanannya. Paulus memberikan gambaran yang total berbeda dari cara berpikir dunia. Kematian bukanlah sesuatu yang akan menginterupsi persekutuan orang-orang percaya. Mengapa tidak? Karena ada satu esensi yang dimiliki bersama-sama baik oleh orang yang masih hidup maupun yang sudah mati. Apakah esensi itu? Jurgen Moltmann mengatakan bahwa esensi itu adalah menantikan The Future of God.[3] Esensi yang sudah dimiliki oleh orang-orang percaya ketika masih hidup di dunia ini. Esensi yang tidak hilang meskipun menghadapi kematian. Esensi yang membuat semua orang percaya dapat memiliki persekutuan yang indah di dunia ini dan esensi yang tetap membuat orang percaya dapat memiliki persekutuan yang indah tanpa dibatasi oleh kematian. Tentu saja kematian membuat banyak hal berbeda. Kita tidak lagi bertemu dengan orang yang telah mati seperti saat sebelum dia mati. Kita tidak lagi dapat berkomunikasi seperti saat sebelum kematian mengambil orang yang kita kasihi. Tetapi kita tetap sama-sama menantikan pernyataan Allah di dalam dunia ini dengan gairah yang sama. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang mengubah! Bahkan kematian pun tidak!

Heidegger memberikan pandangan yang sangat negatif mengenai kemampuan manusia untuk memberi makna pada keberadaannya. Maka ketika kematian menjadi pencapaian puncak, apakah yang dapat diharapkan darinya? Moltmann mengatakan bahwa kematian menghentikan kita untuk mencapai banyak hal. Dengan demikian kematian tidak menjadi penggenap eksistensi yang ideal. Kematian menjadi penggenap eksistensi kita sebagaimana adanya. Dan sebagaimana adanya ini, menurut Moltmann, adalah sesuatu yang tidak selesai, dan sesuatu yang mendatangkan penyesalan karena merupakan suatu eksistensi yang telah salah dijalani[4]. Tetapi pengharapan dari orang-orang Kristen menjadi jauh lebih indah dari hal-hal ini karena pengharapan ini adalah pengharapan akan kegenapan waktu di mana Kristus dinyatakan bagi dunia. Inilah sebabnya Paulus mengatakan kepada orang-orang Tesalonika untuk tidak bersedih seperti orang yang tidak berpengharapan. Sebab jika sejak semula pengharapan orang-orang Kristen adalah pengharapan supaya Anak Allah ditinggikan di seluruh dunia, maka pengharapan ini tidak akan pernah diambil oleh kematian; dan jika sejak semula persekutuan orang-orang Kristen adalah persekutuan yang diikat menjadi satu oleh pengharapan supaya Anak Allah ditinggikan di seluruh dunia, maka persekutuan ini akan tetap sama eratnya baik sebelum maupun sesudah dipisahkan oleh kematian. Hiburkanlah orang yang sedang berduka. Orang yang sekarang telah mati memang tidak lagi berada dekat denganmu. Dia tidak lagi ada untuk berkomunikasi denganmu seperti sebelum dia mati. Tetapi hal yang paling penting adalah baik dia yang telah mati maupun kamu yang masih hidup tetap sama-sama bersekutu di dalam pengharapan menantikan pernyataan final Allah di dalam Kristus. Sebagaimana dikatakan Moltmann:
Together with us who are still alive, they are hidden, sheltered, in the same hope, and are hence together with us on the way to God’s future. They “watch” with us and we “watch” with them. That is the community of hope shared by the dead with the living, and by the living with the dead.” [5]

Maka, bagi orang Kristen, kedatangan Kristus mengubah jurang yang tak terseberangi antara orang hidup dan orang mati menjadi sebuah persekutuan yang sama-sama mempunyai satu pengharapan. Kematian dan dunia orang hidup menjadi sesuatu yang begitu dekat di dalam Kristus. Bukan dekat karena kita masih dapat berkomunikasi dengan yang sudah mati. Bukan dekat karena kita masih dapat saling menggenggam tangan. Bukan dekat karena kita masih dapat berbagi momen ketika menghabiskan sore hari bersama-sama. Itu adalah bagian yang sekarang telah hilang dan pasti memberikan duka. Tetapi di dalam Kristus kedekatan antara yang hidup dan yang mati adalah kedekatan yang terjadi karena sama-sama berbagi pengharapan akan pernyataan Allah dalam meninggikan Kristus. Orang-orang percaya akan membina relasi yang meninggikan hal ini diatas semua hal yang lain, sekalipun hal-hal yang lain tersebut dapat mendatangkan memori indah di dalam relasi itu. Dan ketika kita, orang-orang percaya, sudah sungguh-sungguh meninggikan kehendak Tuhan menyatakan Kristus di atas semua yang lain, maka hal ini akan menjadi milik kekal kita bersama sampai hari Kristus datang kembali dan kita semua bersekutu kembali di dalam Dia dengan sempurna. Milik kekal kita bersama yang tidak dapat dihancurkan oleh kematian. Milik kekal bagi orang-orang yang percaya bahwa Kristus sudah mati dan sudah bangkit (1 Tesalonika 4:14).

Ev. Jimmy Pardede
Gembala GRII Malang

[1] Diambil dari F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit (KPG, 2003) bab 5, dan dari Martin Heidegger, Letter on Humanism (dari Martin Heidegger’s Basic Writings, diedit oleh David Farrell Krell, Routledge, 2004)

[2] band. Tafsiran James Dunn atas Surat Roma pasal 6 dari Word Biblical Commentary hlm. 330-331

[3] Jurgen Moltmann, Is There Life After Death? (dari buku The End of the World and The Ends of God, ed. J. C. Polkinghorne & Michael Welker) hlm. 253.

[4] Is There Life After Death? Hlm. 251.

[5] Is There Life After Death? Hlm. 253.