Makin lama hidup, makin banyak penderitaan yang dilihat dan dialami. Apakah hal itu berarti lebih baik hidup sebentar saja lalu mati? Tentu saja tidak. Secara kuantitas, umumnya kita mengalami kesulitan jauh lebih sedikit daripada saat kita berada dalam kelegaan. Namun secara kualitas, penderitaan bisa menguras afeksi kita. Jadi bagaimana? Mari kita belajar dari kehidupan seorang Lot.
Kisah Lot adalah sebuah kehidupan yang ditandai dengan banyak kepedihan. A lot of grief. Yuk, kita telaah kesedihan apa saja yang pernah dialaminya, sebelum kita menghakimi keputusannya yang salah saat ia memilih untuk pindah ke kota di Lembah Yordan, dekat Sodom.
Sejak muda Lot adalah anak yatim piatu, atau paling tidak yatim, kehilangan orang tua yang dikasihinya. Sebuah kesedihan. Namun, Tuhan memberikan seorang kakek yang mengasihinya yang membawanya ikut pindah ke Haran. Alkitab tidak mencatat berapa umur Lot saat Terah membawanya ikut pindah ke Haran. Kakeknya kemudian meninggal. Sebuah kesedihan lagi. Sekali lagi Tuhan memberikan penggantinya, seorang paman yang mengasihinya dan mengajaknya ikut pindah ke Kanaan, sesuai pimpinan Tuhan bagi Abram.
Di tanah Kanaan, Tuhan tidak hanya memberkati Abram, tetapi juga Lot. Di tengah kemakmuran yang dialaminya, sebuah kesedihan muncul. Terjadi perselisihan antara dirinya dan pamannya. Alih-alih meminta nasihat pamannya, Lot membuat keputusan yang salah. Sebuah keputusan yang didasarkan pada apa yang kelihatan, yang menyenangkan mata. Lot gagal belajar dari Abram untuk melihat pada pimpinan Tuhan. Sebuah kesedihan lagi.
Untuk sementara hidup Lot tampaknya adem ayem, sampai kemudian meletus sebuah peperangan antar raja-raja. Akibatnya, Lot beserta harta bendanya ditawan musuh dan dibawa pergi. Mengapa? Karena ia berdiam di Sodom. Sebuah kesedihan lagi. Namun, lagi-lagi Tuhan memberikan kelegaan melalui Abram yang tidak hanya membebaskannya tetapi juga mengembalikan semua harta bendanya.
Lama kemudian tidak ada kabar berita yang dicatat mengenai Lot sampai Abraham (bukan lagi Abram) mendapat kabar bahwa Tuhan mengikhtiarkan kehancuran Sodom dan Gomora. Lagi-lagi Tuhan menyediakan kelepasan untuk Lot melalui Abraham karena Tuhan hendak mengasihani Lot (Kej. 19:16).
Peristiwa penyelamatan Lot sendiri dipenuhi banyak kesedihan. Meski Lot telah menjadi salah satu tua-tua kota Sodom, ia tetap tidak berdaya menghadapi kejahatan penduduknya, bahkan hampir saja mengorbankan kedua putrinya. Lalu, kedua bakal menantunya tidak memercayainya sehingga ikut tewas saat pemusnahan kota itu. Lot juga harus keluar meninggalkan harta dan orang-orangnya. Belum lagi istrinya yang sudah keluar dari tempat pemusnahan itu kemudian mati karena hatinya ada di sana. Tidak berhenti di situ, kepedihan Lot bertambah dengan perbuatan kedua putrinya sehingga melahirkan 2 bangsa incest.
Namun apa kata Rasul Petrus tentang Lot? Orang benar yang terus menerus menderita melihat cara hidup mereka yang tak mengenal hukum dan hanya mengikuti hawa nafsu. Jiwanya senantiasa tersiksa. Jika kita perhatikan, pernyataan Petrus ini terkait konteks pembinasaan Sodom dan Gomora. Artinya dari sini kita bisa mengatakan bahwa saat Lot pindah ke kota maksiat tersebut, jiwanya tersiksa, dipenuhi kesedihan. A lot of griefs. Sesuram itukah hidup Lot?
Entah mengapa kesuraman di atas sekelebat menunjukkan bayang-bayang dari the Man of sorrows, Yesus Kristus. Alkitab bahkan kelak mencatat keturunan Lot sebagai nenek buyut Raja Daud dan Yesus Kristus, Sang Mesias. Jadi apa respons Saudara menanggapi kisah Lot ini?
Sola gratia, soli Deo gloria.