Ahia dan Abia

Apakah kematian selalu identik dengan malapetaka? Tahukah Anda kisah tentang Raja
Yerobeam? Setelah Raja Salomo meninggal dunia, Kerajaan Israel terpecah menjadi dua
bagian, yaitu Israel Utara dengan 10 suku dan Yehuda dengan 2 suku. Yerobeam adalah raja
Israel Utara yang pertama, dan dia yang sangat jahat di mata Tuhan. Suatu hari, anaknya yang
bernama Abia jatuh sakit. Yerobeam menyuruh istrinya untuk menyamar dan pergi ke Silo
untuk menanyakan perihal anaknya kepada Nabi Ahia. Ahia sudah tua dan tidak dapat
melihat lagi, tetapi begitu istri Yerobeam melangkah masuk pintu rumahnya, ia langsung
berkata, “Masuklah, hai istri Yerobeam! Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: …. Aku
akan mendatangkan malapetaka kepada keluarga Yerobeam. Aku akan menyapu keluarga
Yerobeam seperti orang menyapu tahi sampai habis. Pada saat kakimu melangkah masuk
kota, anak itu akan mati. Seluruh Israel akan meratapi dia dan menguburkan dia, sebab hanya
dialah dari pada keluarga Yerobeam yang akan mendapat kubur, sebab di antara keluarga
Yerobeam hanya padanyalah terdapat sesuatu yang baik di mata TUHAN, Allah Israel.” Dan
benar ketika istri Yeroboam masuk ke rumahnya, anak itu mati. Seluruh Israel meratapinya
dan menguburkannya. (1Raj. 14)

Betapa mengerikannya bagi istri Yerobeam, kakinya menjadi pelatuk bagi kematian anaknya
sendiri. Tetapi kematian itu sendiri bukanlah malapetaka bagi sang anak. Semua orang pasti
mati, tetapi Alkitab sering mengaitkan cara seseorang mati dengan perilakunya di hadapan
Tuhan. Dalam hal keluarga Yerobeam, hanya Abia yang meninggal dengan wajar. Ia sakit,
mati, diratapi, dan dikuburkan. Sedangkan anggota keluarga Yerobeam lainnya, seperti
dinubuatkan oleh nabi Ahia “yang mati di kota akan dimakan anjing dan yang mati di padang
akan dimakan burung di udara”. Kematian bagi Abia justru adalah anugerah Tuhan agar ia
terhindar dari malapetaka yang Tuhan timpakan kepada keluarga Yerobeam.

Bagi Paulus, mati adalah keuntungan karena ia pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus,
dan itu jauh lebih baik baginya. Bagi semua orang yang sudah menikmati relasi dengan
Tuhan di dalam hidupnya di dunia, pasti merindukan momen ia berjumpa muka dengan muka
dengan Tuhannya. Dukacita, sukacita, dan pengharapan menjadi satu. Dukacita karena
ditinggalkan oleh mereka yang mengasihinya, sukacita karena mengetahui bahwa dia sudah
lepas dari dunia dengan aspek dosanya dan telah berada di tempat yang jauh lebih baik, serta
berpengharapan karena suatu saat mereka akan dipertemukan kembali di langit dan bumi
yang baru.

Jawab Yesus, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan
hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku,
tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yoh. 11:25-26)

Kiranya renungan ini boleh menguatkan kita yang sedang berdukacita karena ditinggalkan
oleh orang yang kita kasihi.