Berbuah Merindukan Kedatangan Tuhan

Sesudah berbulan-bulan melewati pandemi dan merenung di tempat kita masing-masing,
mari kita melihat apa saja yang sudah kita renungkan seputar virus corona:
1. Melihat Tuhan (dan rencana-Nya) di balik semua yang kelihatan. [1]
2. Menghadapi ketakutan dengan mengasihi dan mengucap syukur. [2]
3. Melihat Tuhan (dalam kemurahan-keagungan-Nya) di dalam kerapuhan manusia pada
masa karantina. [3]
4. Mengabarkan Injil sambil menantikan kedatangan Tuhan Yesus. [4]
5. Mengenal kedaulatan Allah: hati penuh kasih sayang di balik murka yang menyala. [5]
6. Memiliki ketakjuban: menyembah Allah dan mengucap syukur. [6]
7. Mengenal Tuhan: Jantung Hati-Nya menjadi Manusia. [7]

Poin 1 diambil dari refleksi kisah tulah pada sensus Daud. Poin 2 diambil dari refleksi prinsip
respons orang kusta yang disembuhkan. Poin 3 diambil dari refleksi kisah karantina
pengepungan Israel di zaman Elisa. Poin 4 diambil dari refleksi sejarah pandemi di dunia.
Poin 5 memperdalam refleksi poin 1 yang merupakan kisah tulah pada sensus Daud. Dan
poin 6 memperdalam refleksi poin 2. Dan Poin 7 memperdalam refleksi poin 3.

Dan pada seri yang kedelapan ini, kita akan memperdalam refleksi mengabarkan Injil di
tengah pandemi. Bila di dalam poin 4, kita merefleksikan pandemi di dunia khususnya
permulaan abad 20, maka di dalam poin 8 ini kita akan merefleksikan pandemi di sepanjang
sejarah. Di dalam poin 8 ini kita akan belajar “Berbuah Merindukan Kedatangan Tuhan”.

Pandemi Awal Abad ke-20
Pada artikel keempat kita telah melihat bahwa di awal abad ke-20, suatu masa dipenuhi
kecelakaan demi kecelakaan: Flu Spanyol pada tahun 1918-1920 sesudah Perang Dunia I
(1914-1918) dan diikuti Great Depression (1929-1933) di Amerika dengan resesi
sampai tahun 1938, lalu tahun 1939-1945 adalah Perang Dunia II. Saat itu, kekuatan ekonomi,
kekuatan politik, dan kekuatan sosial dihantam baik oleh depresi ekonomi, perang dunia, dan
wabah penyakit. Sekitar 150 juta manusia meninggal dari total dua miliar manusia yang
berarti mendekati sepuluh persen dari total populasi dunia.

Pandemi Besar dalam Sejarah
Tetapi selain Flu Spanyol dengan perang yang mengiringi, sesungguhnya di dalam sejarah
ada wabah-wabah lain yang lebih mengerikan daripada Flu Spanyol.

1. Black Death (1346-1353 AD)
Black Death
ini terjadi karena wabah pes yang dibawa oleh bakteri Yersinia pestis
atau yang biasa disebut sebagai bubonic plague. Black Death ini diperkirakan membunuh
75-200 juta manusia atau 30-60% (1/3-3/5) populasi Eropa dan di dalam konteks dunia, membunuh
1/4 penduduk dunia. Black Death ini walaupun terlihat hanya delapan tahun, tetapi
sesungguhnya Black Death ini terus muncul dan muncul lagi selama berabad-abad sampai
awal abad ke-19 (awal 1800-an).

Selain itu, 30 tahun sebelumnya ada kelaparan besar yang terjadi (Great Famine,
1315-1317) di Eropa. Kelaparan yang berlangsung selama dua tahun ini memiliki dampak sampai
tahun 1322 karena keadaan Eropa baru benar-benar pulih di tahun 1322. Kelaparan juga terjadi
hampir setiap sepuluh tahun sekali selama abad ke-14 ini (termasuk tahun 1349-1351) yang
berlangsung setiap kalinya sekitar 2-3 tahun walaupun kelaparan yang terbesar itu tahun
1315-1317. Hal ini mengakibatkan harapan hidup dari orang yang lahir di sana pada waktu
itu sangat rendah. Bahkan lebih rendah dari harapan hidup orang Afrika di zaman sekarang
yang sekitar 50-60 tahun. Harapan hidup orang di Eropa pada waktu tahun 1276 adalah 35,28
tahun, pada waktu Great Famine rata-rata harapan hidupnya menjadi 29,84 tahun, dan
bahkan pada waktu Black Death harapan hidupnya menjadi 17,33 tahun.

Realitas semacam ini menjadikan hidup itu menjadi terasa mortalitasnya. Orang-orang
merasa sangat dekat dengan kematian dan benar-benar terasa bahwa hidup itu sementara.
Bahkan umur manusia yang dikatakan sampai puncaknya di usia produktif sekitar 30-40
tahun itu justru menjadi usia kematian di zaman tersebut. Dan lebih dari itu, pada waktu
Black Death, anak yang masih remaja baru mau masuk pemuda atau menginjak dewasa atau
menikah sudah harus meninggal.

Selain kelaparan besar (Great Famine), di tengah-tengah wabah Black Death
ini, juga terjadi perang 100 tahun (Hundred Years’ War dari 1337 – 1453). Tidak ada
banyak waktu dan halaman untuk membahas korban jiwa kelaparan dan perang, tetapi yang pasti
ada kelaparan, pedang, dan wabah sekaligus.

Kita yang masih “baru” dihadapkan dengan Virus Corona di tengah-tengah harapan hidup
yang sangat panjang 70-80 tahun seperti zaman Musa, serta belum ada kelaparan dan perang
(baru ancaman), biarlah kita cepat-cepat berespons sebisa kita dalam konteks kita untuk
bergumul.

Ketika Daud diperhadapkan dengan pilihan antara kelaparan tiga tahun, dikejar musuh
dengan pedang tiga bulan, atau wabah tiga hari, Daud menyerahkannya kepada tangan Tuhan
karena Daud mengenal hati Tuhan yang di balik murka ada kasih sayang dan belas kasihan.
Dan hal ini sejalan dengan pengertian bahwa untuk sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup
Ia murah hati (Mzm. 30:5). Karena itu, sesungguhnya Allah itu panjang sabar dan tidak suka
menunjukkan murka-Nya. Bila Dia murka, Dia memilih untuk memberikan murka yang paling
singkat kepada umat-Nya dan memberikan Daud kesempatan bertobat. Baca penjelasan yang
lebih mendetail di https://www.buletinpillar.org/renungan/kedaulatan-allah.

Karena itu, respons yg tepat di tengah-tengah pandemi ini, di tengah-tengah dunia yang
penuh dengan dosa ini, termasuk kita yang tidak lepas dari itu semua, adalah bersyafaat bagi
dunia ini agar lebih banyak orang bertobat dan Tuhan berbelaskasihan agar berbalik dari
murka-Nya yang menyala-nyala sekaligus meminta Tuhan agar terjadi pertobatan yang lebih
besar lagi di seluruh dunia melalui pandemi ini.

2. Justinian Plague
Selain Black Death sebagai pandemi kedua di dunia, ada pandemi pertama yang terjadi
yaitu Justinian Plague (541-549 AD). Wabah ini memiliki asal yang sama dengan Black
Death
yaitu penyakit pes dari bakteri Yersinia pestis. Wabah ini juga muncul berulang
kali selama berabad-abad sampai pertengahan abad ke-8 (tahun 750-an). Korban jiwa yang terjadi
diperkirakan mencapai 25-100 juta korban jiwa karena wabah ini, atau kira-kira 1/2 dari
penduduk Eropa pada waktu itu. Antara 10% – 50% penduduk dunia pada waktu itu.

Selain itu, beberapa tahun sebelum wabah Justinian Plague ini terjadi, ada peristiwa
mengerikan yang terjadi di tahun 536 AD sehingga oleh para sejarawan tahun ini disebut
sebagai tahun yang paling buruk di sepanjang sejarah manusia untuk dihidupi. Pada tahun
tersebut meletus gunung Ilopango di Islandia. Letusan gunung ini jauh lebih buruk dari
letusan Eyjafjallajökull yang juga di Islandia tahun 2010 silam. Letusan Ilopango
menyebabkan gagal panen dan rata-rata suhu di Eropa bahkan sampai ke Tiongkok turun
sehingga kelaparan dan kedinginan terjadi. Cuaca yang ekstrem di tahun 536 ini merupakan
yang terburuk selama 2000 tahun ini, termasuk di antaranya salju di musim panas yang
terjadi di Tiongkok, dan diperkirakan letusan ini lebih buruk dari letusan gunung Tambora
tahun 1816 berdasarkan tumpukan abu yang diselidiki.

Juga pada waktu itu, terjadi peperangan antara Justinian dengan Vandals dan Ostrogoth. Dan
dapat kita lihat di sini terjadi kelaparan, pedang, dan wabah sekaligus (Why. 6:8), ditambah
dengan gunung meletus yang pasti melibatkan gempa bumi.

Lagi-lagi yang menjadi korban adalah 1/4, 1/3, 1/2 populasi. Tetapi Tuhan belum datang.
Masih ada rencana orang-orang di benua lain yang belum diinjili. Pada waktu Justinian
plague
terjadi, masih ada negara-negara Skandinavia belum diinjili. Pada waktu Black
Death
terjadi, benua di Amerika belum ditemukan dan ada suku-suku Indian yang belum
diinjili, belum lagi Asia.

Bagaimana dengan zaman sekarang?
Wabah zaman sekarang terjadi dan masih belum disertai peperangan atau kelaparan. Belum
ada gempa bumi besar atau gunung meletus. Kita harus menyadari masih banyak daerah
belum mengenal Tuhan di Asia dan jumlah martir juga belum genap (Why. 6:9). Karena itu,
kita tetap harus merindukan kedatangan Tuhan bukan dengan mengharapkan dendam
keadilan terbalas tetapi dengan doa atau mazmur memohon Tuhan bekerja menyatakan
kebenaran dan keadilan disertai dengan kasih bahkan kepada musuh. Karena pembalasan
adalah hak Tuhan. Dan doa yang kudus itu akan menjadi dupa harum di hadapan Tuhan
(Why. 8:4) dan adalah urusan Tuhan ketika cawan berisi doa orang kudus itu dicampur api
sorgawi dan dilemparkan ke bumi menjadi bencana, dan lainnya (Why. 8:5).

Apa yang menjadi respons kita saat ini?
1. Berdoa Syafaat: untuk Pekerjaan Tuhan
Respons yang tepat di tengah-tengah pandemi ini adalah bersyafaat bagi dunia agar lebih
banyak orang bertobat dan Tuhan berbelaskasihan serta berbalik dari murka-Nya yang
menyala-nyala. Agar umat pilihan-Nya lebih giat mengabarkan Injil, hidup saleh
mengasihi, dan rindu akan kedatangan Tuhan.

2. Hidup Saleh: Merindukan kedatangan Tuhan
Sebagai orang Kristen di tengah-tengah kondisi seperti ini, kita akan makin menyadari
kemusafiran kita. Di dalam teks-teks mengenai kedatangan Tuhan, seperti perkataan
Yesus di dalam Injil, surat Petrus, dan lain-lain, kita diminta untuk senantiasa hidup
saleh dan berjaga-jaga dalam doa, ora et labora. Berdoa untuk merindukan kedatangan
Tuhan, jangan sampai minyak kita kosong, dan hidup saleh berpakaian putih, pakaian
perbuatan baik, agar kita terhindar dari murka yang akan datang. Merindukan kedatangan
Tuhan untuk menyongsong-Nya sebagai Raja kita dan Mempelai Pria Sorga bagi Gereja-Nya.

3. Berbuah: Mengabarkan Injil
Sama seperti Rasul Paulus, dengan menyadari lebih baik hidup bersama-sama dengan
Tuhan, tetapi pada saat yang sama masih banyak orang belum percaya kepada Tuhan, jadi
manakah yang harus kita pilih? Hidup atau mati? Bila mati adalah keuntungan karena bisa
bersama-sama dengan Tuhan, tetapi hidup juga adalah Kristus di mana kita di dunia ini
sudah bersama-sama dengan Tuhan melalui Roh Kudus-Nya menyertai kita walaupun
belum sepenuhnya, maka bila kita hidup, biarlah kita hidup untuk berbuah mengabarkan
Injil dan menggenapkan rencana-Nya yang agung.

Biarlah kita mempunyai sikap seperti rasul Paulus yang paradoks. Yang sesungguhnya rindu
bersama-sama dengan Tuhan dan menjadi keuntungan, tetapi bila masih bisa hidup, maka
hidup itu adalah Kristus dan itu artinya berbuah bagi Tuhan.

Jadi, biarlah kita tetap rindu dan menjaga kesalehan agar Tuhan kita segera datang, tetapi
secara paradoks memohon belas kasihan agar Tuhan memberi kesempatan banyak orang
yang belum mendengarkan Injil. Jangan sampai kita tidak ingin Tuhan segera datang hanya
karena keegoisan kita, ketakutan akan penghakiman di akhir zaman, bukan karena motivasi
pemberitaan Kabar Baik. Kita tahu penghakiman tersebut tidak akan mengenai orang percaya
meskipun penghakiman akan dimulai dari Gereja Tuhan terlebih dahulu. Sebaliknya juga,
jangan sampai kita rindu Tuhan segera datang karena keegoisan kita karena kita sudah
merasa diselamatkan dan mulai bosan, jenuh, dan muak dengan dunia ini. Karena itu, dengan
takut dan gentar, memelihara hati yang saleh dan ibadah yang murni, biarlah kita lebih giat
mengabarkan Injil.

Antara menginginkan Tuhan datang tetapi banyak yang belum percaya. Antara menginginkan
persekutuan indah dengan Tuhan tetapi juga belas kasihan kepada sesama. Maka jawabannya
lebih baik berbuah dan bekerja selama hari masih siang. Jika di artikel sebelumnya, bekerja
selama masih siang, maka di sini kita berbuah sambil merindukan kedatangan Tuhan. Soli
Deo gloria.

Endnotes:
[1] http://buletinpillar.org/renungan/wabah-virus-corona (Feb 2020)
[2] http://buletinpillar.org/renungan/ketakutan-kasih-dan-mengucap-syukur (Mar 2020)
[3] http://buletinpillar.org/renungan/melihat-allah (Apr 2020)
[4] http://buletinpillar.org/renungan/pandemi-dan-kedatangan-tuhan-yesus (Awal Mei 2020)
[5] http://buletinpillar.org/renungan/kedaulatan-allah (Akhir Mei 2020)
[6] http://buletinpillar.org/renungan/ketakjuban-menyembah-dan-mengucap-syukur (Awal Juni 2020)
[7] http://buletinpillar.org/renungan/mengenal-hati-tuhan (Akhir Juni 2020)