Did God Really Say All This?

Suatu ketika, seorang pemuda memandangi Alkitab kecilnya. Alkitab ini dia dapatkan ketika dia menghadiri sebuah kebaktian kebangunan rohani di kotanya. Dia membuka halaman demi halaman, melihat cetakan tinta di atas kertas-kertas yang tipis yang sudah agak lecek. Kemudian dalam hatinya dia berkata, “Benarkah ini adalah perkataan Tuhan? Bukankah ini hanyalah sebuah buku, yang dicetak oleh sebuah pabrik, dijual di toko, dan bahkan dapat di-download secara gratis? Kalaupun benar ini adalah perkataan Tuhan yang tidak bersalah, bukankah ini dibuat oleh manusia, orang-orang yang berdosa, yang bisa salah? Bukankah interpretasi terhadap buku ini juga dibuat oleh mereka, manusia yang bisa salah dalam menginterpretasi? Dan lagi, kalaupun benar Tuhan yang menulisnya, mana mungkin Allah menulisnya dalam bahasa manusia yang terbatas? Kalau Allah yang menulisnya, masa saya, manusia yang terbatas dan berdosa ini, bisa mengerti makna dari tulisan-tulisan ini? Benarkah ini adalah perkataan Tuhan?Did God really say all these?

Ini semua adalah pertanyaan yang mungkin kita pernah ungkapkan, mungkin tanpa kita sadari, ketika kita membaca Alkitab. Tapi sadarkah kita, bahwa sering kali semua ketidakjelasan yang kita alami ketika berhadapan dengan firman Tuhan adalah akibat dari keberdosaan kita sendiri? Dosa telah membutakan kita sehingga kita terus mengeraskan hati sehingga tidak dapat melihat kebenaran firman Tuhan yang telah dinyatakan dengan begitu jelas adanya. Seperti yang Paulus katakan dalam Roma 1:18-19: “Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka.” Luther mengatakan bahwa ketidakpahaman makna dari Alkitab bukanlah bukti masalah dari yang berbicara (Tuhan) dan isi pembicaraan (Alkitab), melainkan bukti resistansi moral dan epistemologi dari pendengar (Rm. 1:18-32; 1Kor. 1-2).
Otoritas dan pesan yang jelas adalah ciri dari Alkitab, dan bukan produk yang dihasilkan dari pembaca. Kejelasan itu bukan bergantung pada pembaca ataupun komunitas Bapa-bapa Gereja yang telah terlebih dahulu mengumpulkan dan menerjemahkan Alkitab. Kejelasan bukan produk hasil interpretasi (hermeneutik), melainkan karakter dari Alkitab itu sendiri. “Scripture is not understandable because it is understood; it is undertood because it is understandable.”

Mengapa demikian? Mengapa kejelasan itu harus merupakan karakter dari Alkitab itu sendiri? Ya, Alkitab pasti jelas karena kejelasan Alkitab terkait dengan fungsinya sebagai perjanjian Allah, komunikasi Allah dengan umat-Nya. Allahlah yang membuat firman-Nya menjadi jelas bagi seluruh umat-Nya, yang telah Ia pilih sebagai pendengar. Alkitab adalah wahyu dari Allah yang personal, dan Allah sendirilah yang menjamin perjanjian komunikasi ini jelas adanya.

Komunikasi, pada mulanya, bukanlah produk budaya manusia, melainkan berasal dari Allah sendiri, yang berbicara kepada ciptaan-Nya. Natur komunikasi berakar pada misteri intra-Trinitas, di mana komunikasi itu jelas dalam diri Allah yang tiga dan satu. Allah Tritunggal adalah Allah yang koheren, konsisten, dan integral dalam komunikasi ilahi-Nya. Komunikasi dalam Allah Tritunggal yang demikian tidaklah memiliki celah untuk ambiguitas, kesalahan interpretasi, maupun ketidakjelasan.

Namun apakah manusia, ciptaan yang terbatas ini, dapat berkomunikasi dengan Pencipta yang demikian kompleks dan misterius? Allah menciptakan manusia seturut dengan gambar dan rupa-Nya, hal ini menjamin adanya hubungan komunikasi yang jelas antara Allah dan manusia. Manusia dicipta menurut gambar Allah, maka ia berkomunikasi, karena Allah berkomunikasi. Tuhan bukan saja “berbicara” untuk mencipta ciptaan-Nya, tetapi juga berbicara kepada ciptaan-Nya. Jadi, sejak awal Allah memang menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang berbicara kepada umat-Nya. Allahlah yang terlebih dahulu berinisiatif untuk berkomunikasi. Sifat dari komunikasi Allah kepada manusia ini adalah personal, jelas, berkuasa, dan memiliki suatu tujuan. Karena hal inilah, komunikasi bukan hanya sekadar karakter ilahi, melainkan ketetapan Allah. Koherensi dan kejelasan merupakan dasar dari komunikasi, bukan karena manusia pada dirinya sendiri memiliki hal itu, melainkan karena mereka adalah gambar dan rupa dari Allah yang demikian.

Namun, bagaimana dengan konteks sesudah kejatuhan? Apakah wahyu Allah tetap jelas kepada manusia yang sudah jatuh? Manusia yang berdosa, telah salah mengerti dan salah interpretasi wahyu-Nya. Hal ini tidak berarti bahwa kerusakan juga ada pada wahyu Allah dan Sang Pewahyu. Dengan demikian, kehendak Allah untuk berkomunikasi kepada umat-Nya tetap akan terlaksana dan terjamin. Kuasa pewahyuan dan anugerah Allah melampaui keberdosaan manusia.

Kuasa pewahyuan Allah kepada manusia berdosa telah dicatat dalam Alkitab dan dapat kita lihat sepanjang sejarah keselamatan berlangsung (redemption history). Komunikasi ini terus terjadi dalam kerangka perjanjian Allah dengan umat-Nya. Ketika Allah telah menciptakan segala sesuatu, Allah memerintahkan manusia sebagai wakil-Nya untuk mengatur dan mengelola segala ciptaan-Nya. Ini adalah komunikasi mula-mula antara Allah dengan manusia dalam kerangka perjanjian kerja. Namun ketika manusia jatuh dalam dosa, maka Allah membuat perjanjian lainnya, yaitu perjanjian anugerah, di mana Allah akan bertindak untuk menyelamatkan manusia dari dosa dan manusia dituntut untuk taat kepada Allah. Seluruh perjanjian ini Allah genapkan dengan terus berkomunikasi kepada umat manusia, melalui rasul dan nabi-nabi-Nya. Covenant relationship membutuhkan covenant communication. Keselamatan pun Allah genapkan melalui pewahyuan firman-Nya yang ultimat, yaitu kehadiran Kristus dalam dunia sebagai “the Word” – Sang Firman, yang adalah Allah sendiri. Penebusan Kristuslah yang memampukan setiap orang yang percaya untuk berdamai dengan Allah, dan dalam perdamaian, dapat berkomunikasi, berelasi, dan bersekutu dengan Allah dalam kebenaran dan kejelasan yang sesungguhnya. Maka anugerah penebusan, yang membawa iluminasi, sangat esensial dalam mengerti Alkitab. Manusia mengerti Alkitab bukan karena Roh Kudus membuat terang Alkitab, atau membersihkan Alkitab dari samar-samar atau ketidakjelasan, melainkan Roh Kudus, yang diutus untuk menyertai kita yang telah percaya pada Kristus, mentransformasi hati kita yang bebal sehingga kita melihat Alkitab seperti yang seharusnya (2Tim. 3:16-17; 2Pet. 1:19-21). Pikiran manusia berdosa yang perlu diubah bagi firman Allah, bukan firman Tuhan yang harus berubah bagi pikiran manusia. Iluminasi tidak mengubah Alkitab, melainkan mengubah kita.

Untuk apakah kejelasan wahyu Allah ini ada? Pernyataan Ilahi adalah memiliki maksud dan tujuan yang jelas (Ibr. 6:17), yaitu menyatakan kehendak Allah kepada umat manusia pada bagiannya masing-masing dalam sejarah keselamatan Allah. Di dalam Alkitab, pernyataan wahyu Allah dari PL sampai PB berjalan secara progresif. Penyataan wahyu Allah dalam PL meskipun belum lengkap, namun bukan berarti tidak jelas. Dalam Ibrani, dikatakan secara eksplisit bahwa para orang suci, dalam anugerah dan kehendak Allah, mengetahui posisi mereka dalam sejarah penebusan. Mereka memahami bahwa mereka sedang berada dalam masa penantian (anticipatory) akan sesuatu yang lebih mulia di masa depan (Ibr. 11:8-16; 1Pet. 1:10-12). Their “already” was entirely the “not yet”. Tetapi, pada masa pewahyuan apa pun – baik di masa PL maupun di masa PB – makna yang ingin disampaikan Allah kepada umat-Nya pada setiap tahapan pewahyuan adalah cukup dan jelas adanya serta mencapai kegenapannya di dalam diri Yesus Kristus. Pewahyuan Allah sepanjang PL sampai dengan PB digenapkan dan menjadi utuh di dalam Kristus.

Hari ini, manusia dalam mengklaim kebenaran, terus mencari interpretasi dengan berpusat pada dirinya sendiri, termasuk dalam hal membaca Alkitab yang adalah perkataan Allah. Semua kekacauan interpretasi berakar pada dosa awal manusia, yaitu di mana setan menginjeksikan keraguan dalam hati manusia dengan perkataan “Did God really say?”, dan dengan demikian membuat manusia mempertanyakan wahyu Allah yang jelas dan otoritatif.

Bagaimana dengan pembacaan kita – umat Allah yang telah ditebus – akan firman Tuhan hari lepas hari? Apakah kita sungguh-sungguh melihat bahwa Allah Sang Pencipta langit dan bumi, telah benar-benar berkata kepada Anda dan saya dalam firman-Nya yang jelas dan otoritatif, untuk menggenapi kehendak-Nya di sepanjang karya sejarah keselamatan yang Dia selenggarakan dalam ciptaan ini, dari dulu sampai selama-lamanya… Did God really say in our life?

Andre Winoto
Pemuda FIRES