Berdoa perlu theologi? Mari kita mulai dengan makna dasar dari theologi. Theologi berasal dari theos dan logos, dan berarti pengetahuan tentang Allah. Jadi, apakah berdoa memerlukan pengetahuan tentang Allah? Saya percaya para pembaca yang budiman akan mengiyakan karena memang demikianlah mestinya. Lalu, apakah kita sungguh menyadari hal ini dan menerapkannya dalam kehidupan doa kita?
Tanpa sengaja saya bertemu dengan J. Gary Millar lewat esainya yang berjudul “The Doctrine of Prayer”. Esai ini merupakan rangkuman dari bukunya yang berjudul Calling on the Name of the Lord: A Biblical Theology of Prayer. Esainya sangat membukakan pikiran, tetapi bukunya lebih lagi menggugah hati. Millar menyadarkan betapa pentingnya dan indahnya berdoa seperti yang Tuhan inginkan!
Mari kita mulai dengan doktrin dasar. Sebelum Adam dan Hawa diusir dari hadapan Tuhan di Eden karena pemberontakan mereka, Ia menjanjikan kedatangan Sang Penyelamat, Pemenang yang Terluka (meminjam istilah The Bible Project). Janji ini kerap disebut sebagai benih Injil (Kej. 3:15). Mengapa janji itu diberikan? Karena tanpa janji tersebut, tidak seorang pun dapat menemukan jalan kembali kepada Tuhan. Jadi? Jadi, tidakkah hal ini, yakni janji Tuhan, menjadi alasan paling mendasar dari seluruh doa-doa kita?
Sejak kejatuhan dalam dosa, hidup manusia terlunta-lunta, jiwanya mengembara tanpa arah dan hidup dalam kebangkrutan rohani, menanti vonis kematian yang mengerikan, terpisah selamanya dari Sang Pencipta. Di tengah kondisi tanpa pengharapan ini, janji tentang kedatangan Sang Penyelamat menjadi satu-satunya Kabar Baik. Apakah yang lebih dibutuhkan manusia selain keselamatan? Maka, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sama-sama berbicara tentang kedatangan Pribadi yang sama, yaitu Yesus, Mesias yang dijanjikan itu. Dalam tulisannya, Millar mengajak kita untuk melihat bagaimana doa-doa dalam Perjanjian Lama yang dinaikkan para nabi dan umat Allah, serta doa-doa dalam Perjanjian Baru yang dipanjatkan oleh para rasul dan umat Allah, sama-sama merujuk kepada penggenapan janji Tuhan, yaitu datangnya Sang Mesias. Jelas, pemahaman tentang janji Allah, rencana, dan karya-Nya menjadi fondasi bagi pembangunan hidup berdoa. Bukankah memang mempelajari firman Allah tidak terpisahkan dari kehidupan doa?
Donald S. Whitney dalam bukunya Praying the Bible mengatakan bahwa hidup berdoa kita sering kurang bergairah dan salah satu alasannya adalah karena doa yang kita ucapkan itu-itu saja. Mengapa tidak mencoba menjadikan perenungan firman Tuhan sebagai doa? Apa yang diajarkan Whitney menjadi jelas di dalam buku Millar. Kehidupan doa kita suram dan salah satu alasannya adalah karena doa kita tidak memiliki dasar theologi yang kuat. Kita mungkin kurang memfokuskan doa kita pada janji Allah yang terutama yaitu Injil kasih karunia.
Salah satu ayat Kitab Suci yang “klasik” adalah Matius 6:33 yang berbunyi, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Bukankah ajaran dari ayat ini juga seharusnya ada dalam kehidupan doa kita? Mari kita meminta Tuhan mereformasi kehidupan doa kita! Soli Deo gloria.
Vik. Maya Sianturi Huang
Wakil Koordinator Bidang Pendidikan Sekolah Kristen Calvin