Informasi dari Wikipedia menyebut buku Eat, Pray, Love sebagai novel laris New York Times selama 187 minggu. Seperti kebanyakan novel laris, sering kali ada perusahaan film yang tertarik untuk melayarlebarkannya. Dalam kasus ini, hak ciptanya dibeli oleh perusahaan film terkenal, Columbia Pictures. Salah satu hal yang sangat menarik dari novel ini adalah biaya perjalanan selama setahun untuk penulisan buku tersebut ditanggung oleh si penerbit! Pengarang novel tersebut, Elizabeth Gilbert, melakukan perjalanan empat bulan di Italia hanya untuk menikmati hidup lewat makan (eat), lalu empat bulan berikutnya merupakan pencarian spiritualitasnya di India (pray), dan akhirnya empat bulan terakhir mencari keseimbangan di antara keduanya dalam cinta (love).
Sebelum mendapatkan sejumlah keberuntungan tadi, Gilbert mengalami masa yang ‘sulit’. Suatu malam ia menangis terus di atas lantai kamar mandinya karena merasa tidak bahagia dengan pernikahannya. Saat itu ia berusia 32 tahun, berpendidikan, memiliki rumah, seorang suami, dan karir yang sukses sebagai seorang penulis. Tetapi ia merasa tidak bahagia dan meminta bercerai dari suaminya sekalipun suaminya menentang hal itu. Menyedihkan, bukan? Yang lebih menyedihkan lagi adalah saya tidak mengerti mengapa novel semacam ini bisa menjadi sangat laris. Apakah novel ini memang mengungkapkan sisi kehidupan rumah tangga kaum Hawa dewasa ini sehingga laris manis? Silakan Anda pikirkan sendiri karena sejauh ini saya sedang memikirkan kaitan antara makan, doa, dan cinta tadi.
Sembari berpikir, saya teringat pada para penulis Alkitab. Adakah di antara mereka yang memiliki kemiripan dengan Gilbert? Mungkin sulit untuk menemukan analoginya karena penulis Alkitab adalah para pria. Atau mungkin lebih baik saya mencari tokoh Alkitab perempuan sebagai pembanding dengan Gilbert. Ester misalnya. Menurut sebuah buku sejarah, Ester kemungkinan bersuamikan raja Persia yang bernama Xerxes karena Xerxes disebut juga Ahasyweros. Anda masih ingat ceritanya, bukan? Lewat sebuah pemilihan putri kecantikan di istana, raja Persia yang tidak simpati itu, ternyata terpikat pada Ester dan memilihnya menjadi istrinya. Tetapi bagaimana kisah selanjutnya? Ester harus berpuasa (tidak makan), berdoa, dan dengan penuh keberanian mempertaruhkan nyawa demi keselamatan kaumnya sebangsa. Bagi saya itulah ekspresi cinta. Bagi Gilbert? Menurut novelnya itu adalah pria Brazil pemilik pabrik yang ditemuinya di Bali. Tetapi menurut Anda, bagaimana seharusnya ekspresi cinta seorang pengikut Kristus? Seperti Gilbert atau seperti Ester? Jikalau seperti Ester, mengapa novel dan film Eat, Pray, Love menjadi bestseller?
Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin