Jika sebelum kita dilahirkan Tuhan bertanya, hidup bagaimana yang kita inginkan, apa yang
akan kita jawab? Mungkin jawaban kita adalah “Aku ingin hidup di Amerika, di sana tidak ada
kucing!” (kucing–musuh), “Aku ingin hidup di Paris, kota penuh cinta”, “Aku ingin lahir di
keluarga yang berada, apa pun yang aku mau, ada”. Di akhir hidup, apakah yang akan kita katakan?
“Tuh kan, gak salah pilihanku” atau “Ups, salah Tuhan, harusnya di ….”.
Bagaimana dengan Hagar? Dia adalah orang Mesir yang menjadi hamba Sarai, istri Abram.
Pada zaman itu, hamba dapat digolongkan ke dalam kepemilikan aset. Anak dari hamba akan
menjadi milik tuannya. Hagar dipakai oleh Sarai untuk mendapatkan keturunan dari Abram.
Umumnya orang yang berada di posisi rendah ketika mendapat kesempatan menempati posisi
yang tinggi, pasti akan meraihnya. Demikian juga dengan Hagar, ketika ia mengetahui bahwa
ia mengandung, ia memandang rendah Sarai, nyonyanya. Sarai mengadukannya kepada
Abram. Abram mengonfirmasi bahwa Hagar ada di bawah kekuasaan Sarai, ia tidak akan
turut campur. Sarai kemudian menindas Hagar sampai ia melarikan diri, karena tidak ada
yang dapat dilakukannya selain melarikan diri. Tetapi di tengah jalan, Malaikat TUHAN
datang dan menyapanya, “Hagar, hamba Sarai”. Tuhan menyuruh Hagar untuk kembali
menjadi hamba Sarai. Tetapi kini Hagar tahu bahwa Tuhan melihatnya ketika ia ditindas, dan
Tuhan punya rencana yang baik untuk dirinya dan anaknya. Hagar menamakan TUHAN
dengan sebutan El-Roi–Dia yang telah melihat aku (Kej. 16:13). Hagar bukan siapa-siapa di
dalam kisah besar Allah, dia bukan orang Israel, dia hanyalah budak, namanya dicatat karena
suatu kesalahan, tetapi Tuhan adalah setia dan beranugerah. Dia beranugerah kepada Abram,
Dia pun beranugerah kepada Hagar. Yesus beranugerah kepada orang Israel, Dia pun
beranugerah kepada perempuan Kanaan, yang menyebut dirinya “anjing itu makan remah-
remah yang jatuh dari meja tuannya” (Mat.15:27).
Nasib semua orang sama bagaimana pun keadaannya, yaitu menuju alam orang mati (Pkh. 9).
Tetapi tidak semua orang akan sama, karena orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa
supaya menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12). Tuhan Yesus adalah kebangkitan dan hidup,
semua orang yang sudah menuju alam mati sekalipun, akan hidup dan tidak akan mati
selama-lamanya” (Yoh. 11:25). Kisah Tuhan Yesus dicatat supaya orang yang percaya bahwa
Yesuslah Mesias, Anak Allah, memperoleh hidup dalam nama-Nya (Yoh. 20:31).
Bagaimanakah hidup sebagai a child of God? Tuhan menuntun kita melalui Kitab
Suci–mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik dalam
kebenaran (2Tim. 3:16). Bacalah Alkitab setiap saat, terutama di masa kita merasa lelah dan
kacau. Yakinlah bahwa Tuhan melihat kita dan Dia tidak tinggal diam walaupun kita sering
merasa bahwa Dia diam. Nabot, orang Yizreel, dibunuh oleh Izebel demi Ahab mendapatkan
kebun anggurnya yang terletak di samping istana. Tuhan kelihatan diam ketika Nabot disuruh
duduk di paling depan di antara rakyat lalu difitnah bahwa ia telah mengutuk Allah dan raja,
bahkan ketika Nabot dibawa ke luar kota dan dilempari dengan batu sampai mati (1Raj. 21).
Tetapi sejarah membuktikan bahwa Tuhan tidak tinggal diam. Ketika Yehu menjadi raja
Israel, dia membunuh semua keluarga Ahab untuk membalas Izebel atas darah hamba-hamba
Tuhan. Izebel dimakan anjing di kebun di luar Yizreel. Dia bahkan berdandan terlebih dahulu
untuk kematiannya yang mengenaskan (2Raj. 9:10, 30-37).
Tuhan sudah berjanji untuk menolong orang-orang pilihan-Nya yang siang malam berseru
kepada-Nya dan tidak mengulur-ulur waktu untuk membenarkan mereka. Apakah kita
memiliki iman untuk terus berseru sampai Dia datang (Luk. 18:7-8)? Marilah kita terus
berdoa dengan tidak jemu-jemu kepada Dia, Allah kita yang setia!