Eli, Eli, Lama Sabakhtani?

Eli, Eli lama sabakhtani? Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat.
27:45-50). Ini merupakan seruan nyaring dari Tuhan Yesus Kristus ketika Dia ada di atas
kayu salib. Perkataan ke-4 ini juga menjadi pusat dari 7 perkataan salib. Ini adalah perkataan
yang paling puncak, paling sedih, dan paling total dari semua penderitaan Kristus.

Pada perkataan salib yang pertama, Tuhan Yesus di tengah-tengah segala penderitaan-Nya
masih dapat berseru Bapa (Ya Bapa, ampunilah mereka). Dia memohon agar Bapa-Nya yang
sangat Dia kasihi dapat mengampuni. Bapa-Nya adalah Bapa yang ada bersama-sama dengan
Dia ke mana pun Dia pergi, yang menyertai Dia dan mengurapi-Nya dengan Roh Kudus, dan
yang tidak pernah meninggalkan-Nya sedetik pun. Tetapi pada perkataan salib yang keempat
ini, Dia harus berpisah dari Bapa-Nya.

Pada perkataan salib yang keempat ini, Tuhan Yesus paling tersendiri. Ketika para pemimpin
mengejek Dia, ketika para prajurit mengolok Dia, ketika penjahat menghujat Dia, ketika
orang banyak hanya bisa diam menonton, ketika langit diliputi kegelapan selama 3 jam dan
bumi adalah Tempat Tengkorak, ketika “mereka” semua itu diampuni oleh-Nya, satu-satunya
cahaya yang bisa menghibur dan menguatkan Dia adalah perkenanan Bapa-Nya yang selalu
bekerja bersama-sama dengan Dia dengan Roh Kudus yang tidak terbatas. Tetapi saat itu,
Bapa-Nya memalingkan wajah-Nya dan Tuhan Yesus tidak bisa lagi merasakan kehadiran
Bapa-Nya. Dia merasa asing dengan Bapa-Nya dan hanya bisa berteriak dengan nyaring
karena kehilangan Bapa-Nya yang menjadi asing itu dengan menyebutnya sebagai Allah.

Ketika Tuhan Yesus menyerukan kalimat ini, ada 3 respons berbeda dari orang-orang yang
ada di sekitar Tuhan Yesus. Respons yang pertama adalah: “Ia memanggil Elia.” Respons
yang kedua adalah: memberi Tuhan Yesus minum anggur asam. Respons yang ketiga adalah:
“Baiklah kita lihat, apakah Elia datang untuk menyelamatkan Dia.” Mengapa di antara ketiga
respons ini tidak ada satu pun yang memiliki kepekaan atau diberi kepekaan atau mau untuk
peka terhadap Tuhan Yesus? Tidak ada satu orangkah yang dapat berespons dengan tepat
ketika Tuhan Yesus berseru dengan suara nyaring? Tidak ada satu orangkah yang dapat
seperti penjahat yang bertobat atau prajurit yang bertobat ketika Tuhan Yesus berseru dengan
suara nyaring? Tidak ada satu orangkah yang mendengar dengan jelas seruan Tuhan Yesus
padahal Tuhan Yesus dicatat berseru dengan suara nyaring?

Mengapa semua bisa tuli pada saat yang sama dan komunikasi jadi kacau? Mengapa tidak
ada setetes pun anugerah yang boleh Dia dapatkan di perkataan yang keempat ini? Jika tidak
ada anugerah di sekitarnya yang dapat Dia rasakan, sekurang-kurangnya, seharusnya ibu-Nya
atau murid yang dikasihi-Nya dicatat memperhatikan Dia di bagian ini, tetapi kok tidak ada?
Mengapa? Inilah saat kevakuman kasih yang paling total, kegelapan yang paling mutlak, dan
kepahitan yang paling dalam.

Dan di saat-saat seperti ini, saat Dia berteriak Allah-Ku, Allah-Ku, saat paling gelap dan
terpisah dari Bapa-Nya, Dia masih memberikan penghiburan kepada ibu-Nya. Tuhan Yesus
mengeluarkan seruan dari Mazmur 22 yang sudah sangat dihafal orang-orang yang cinta
Tuhan, termasuk ibu-Nya. Mazmur mesianik yang sudah ditulis ribuan tahun dan dekat di
hati orang-orang yang mencintai Tuhan yang sedang bergumul. Mazmur yang ditulis menurut
lagu rusa (doe – bhs. Inggris) di kala fajar ini menggunakan istilah rusa betina kecil di dalam
bahasa aslinya. Bukan rusa jantan bertanduk besar yang berukuran 1.5m, bukan juga rusa
berukuran sedang sekitar 1m, tetapi rusa betina kecil berukuran 70 cm yang jarang ditemukan
karena sering bersembunyi dan hanya keluar ketika merumput. Rusa betina kecil yang tidak
bisa apa-apa ini menjadi warna lagu dari syair Mazmur 22 yang menunjukkan bahwa
seseorang yang tidak bisa apa-apa akan diluputkan Tuhan untuk melewati masa-masa yang
paling sulit sekalipun. Dan perkataan salib keempat, yaitu seruan nyaring Tuhan Yesus pada
saat paling vakum, paling gelap, dan paling pahit ini, telah menghibur ibu-Nya dan kita
semua.

Kiranya pada momen Jumat Agung dan Paskah ini, kita boleh sekali lagi merefleksikan
betapa besarnya cinta Tuhan bagi kita semua. Amin.