,

Food Court

Jalan-jalan di mal, ujung-ujungnya biasanya adalah mencari makan di food court. Di sana tersedia banyak ragam dan pilihan makanan, maka pasti akan memudahkan bukan? Ternyata tidak! Beragamnya makanan yang tersedia, berbagai macam pilihan makanan yang ada justru sering kali membuat bingung. Bingung mau makan apa. Itulah ironi zaman konsumerisme.

Makan memang kebutuhan dasar manusia. Kalau tidak makan pasti mati. Sepanjang sejarah manusia perlu makan untuk menopang kehidupannya. Tetapi apa jadinya jika makan tidak lagi sekadar kebutuhan dasar alias primer? Bagaimana jika makan kemudian berkembang menjadi kebutuhan sekunder dan akhirnya tertier? Sejauh ini urusan makan Anda berada di dalam tingkat kebutuhan yang mana?

Saya pikir, jika makan adalah kebutuhan dasar maka apa yang umumnya kita konsumsi adalah nasi, lauk, sayur ditambah buah, dan air putih. Atau ditambahkan susu menurut pedoman 4 sehat 5 sempurna. Tetapi jika makan menjadi kebutuhan sekunder apa yang kita perlukan lebih dari itu. Kita memerlukan makanan pembuka dan makanan penutup. Bahkan kita membutuhkan variasi makanan dari nasi Padang, junk food Amerika sampai makanan ‘sehat’ ala Jepang.

Ketika makan bahkan menjadi kebutuhan tertier maka kita perlu tambahan suasana atau ambience. Tidak lagi mau makan apa tapi juga makan di mana alias dalam suasana seperti apa. Makan menjadi hiburan. Di zaman yang menghibur diri sampai mati ini (meminjam istilah Neil Postman), makan juga menjadi sarana hiburan. Tempat makan menjadi panggung untuk melihat dan sekaligus dilihat karena makan menjadi prestige dari gaya hidup urban. Maka seperti kata orang Medan, mak jang, urusan makan saja bikin pusing! Memang demikianlah kenyataannya. Ketika makan menjadi sophisticated, hidup pun makin runyam.
Tidak semua food court memang menjadikan makan sampai level tertier karena hal itu bergantung dari mal di mana food court itu berada. Tetapi paling tidak di food court menyediakan varian makanan yang cukup banyak. Food court dapat menjadi cermin zaman kita hidup. Sebuah era yang dipenuhi oleh berbagai macam varian. Varian yang memberikan banyak pilihan sekaligus menghasilkan kebingungan. Pernahkan Anda memikirkan bahwa ada berbagai aspek kehidupan yang telah dijadikan mirip seperti food court?

Makan memang penting. Bahkan lewat acara makan kita bisa melakukan kehendak Tuhan. Melalui makan roti dalam Perjamuan Kudus kita diingatkan akan tubuh Kristus yang dipecahkan untuk kita. Makan setiap hari kita seharusnya mengingatkan kita untuk memberi makan jiwa kita dengan firman kehidupan. Menghadiri perjamuan makan seharusnya membuat kita rindu akan perjamuan kekal Tuhan. Bahkan melalui acara makan kita bisa membawa jiwa kepada Tuhan. Bukankah Alkitab mencatat beberapa peristiwa perjamuan makan yang dihadiri oleh Tuhan Yesus menjadi sarana untuk menyatakan kemurahan Allah?

Jika anak-anak dunia ini dengan kreativitas mereka menciptakan budaya makan yang memengaruhi pola pikir zaman ini, apa yang sudah kita lakukan terkait soal makan? Apakah kita sekadar bereaksi terhadap makan yang sudah menjadi hiburan atau kita berani menebusnya menjadi sarana memuliakan Allah seperti diperintahkan 1 Korintus 10:31?

Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin