Kita tidak akan melupakan kejadian gempa dan tsunami yang terjadi selama tahun-tahun belakangan ini secara kontinu. Rangkaian tragedi ini dimulai dengan kejadian tragedi internasional penghancuran WTC (World Trade Centre) yang merupakan pusat perekonomian Amerika, disusul dengan pemboman pusat pariwisata terkenal di seluruh dunia, pulau dewata Bali. Tragedi masih tidak selesai di sini. Dilanjutkan virus epidemik flu burung, SARS, gempa, dan tsunami yang memakan korban secara massal, dunia seolah-olah hendak mengatakan cukup sudah. Siapakah manusia sehingga mereka bisa menanggung penderitaan sedemikian besar? Dengan kekuatan apakah manusia masih bisa bertahan di tengah-tengah kejadian seperti ini? Seringkali ini menjadi suatu pemikiran yang sangat consuming dan melelahkan. Kejadian yang bersumber dari penyebab eksternal tidaklah berada di bawah control manusia sehingga dengan pemikiran intens yang terfokus padanya membawa manusia kepada satu hasil akhir yang melelahkan mental dan jiwa. Satu hal yang pasti, rasa takut menempel menjadi elemen kondusif berkekuatan besar di dalam kelelahan mental manusia di setiap kejadian beruntun ini, entahkah itu dampak langsung kejadian ataupun dampak pasca kejadian. Dengan melihat keadaan seperti ini, timbul pertanyaan: apakah ini sudah menjadi kenyataan jika rasa takut merupakan hal yang tidak terlepas men-drive hidup manusia di zaman ini serta menimbulkan rasa kengerian? Mengapa rasa takut bisa muncul? Di dalam artikel ini kita akan mengenal rasa takut: asal usulnya, perkembangan dan jenis-jenis rasa takut, bagaimana ia seharusnya diposisikan dalam hidup manusia, dan cara penyelesaian rasa takut.
Dari manakah rasa takut yang ada pada manusia? Kita bisa mengerti dengan melihat kilas balik hidup Adam dan Hawa sebagai manusia ciptaan Allah yang pertama serupa dengan gambar dan rupa Allah. Hidup di dalam kesucian dan kekudusan di taman Eden yang disediakan oleh Allah sebagai tempat tinggal, manusia dicipta dengan tujuan mulia. Ditinjau dari sudut mindset, Adam dan Hawa saat itu tidak memiliki pemikiran-pemikiran buruk yang menghalangi mereka untuk menuju akan apa yang baik dan benar. Mereka hidup berdampingan dengan Allah, berkomunikasi dan bersekutu dengan-Nya di dalam sukacita. Adapun mereka diberikan suatu free will (kebebasan memilih) di dalam kesempurnaan, yaitu bisa memilih untuk berdosa sekaligus sanggup untuk memilih mentaati segala perintah dan kehendak Allah. Ini adalah suatu kekuatan internal yang seimbang terdapat dalam diri manusia pertama.
Lalu datanglah ular penggoda berbicara kepada Hawa, “… pada waktu kamu memakannya, mata kamu akan terbuka dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan jahat” (Kej. 3:5). Hawa tergoda akan rayuan si ular. Demikian ia pun mencicipi buah pengetahuan baik dan jahat tersebut, sekaligus memberikannya kepada Adam tanpa mengindahkan peringatan Allah. Maka terjadilah kejatuhan manusia yang pertama melalui pelanggaran akan perintah Allah, dinamakan dosa. Pada hari Adam dan Hawa memakan buah tersebut, Allah melihatnya dan menghampiri mereka. Ia memanggil mereka, lalu jawab Adam kepada Allah, “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi” (Kej. 3:10). Ini adalah kata takut pertama yang tercatat di dalam Alkitab. Ia merasa malu, takut, dan mungkin bermacam-macam perasaan bercampur aduk.
Perubahan yang jelas terjadi pada Adam adalah suatu pergeseran mental state. Dari tidak pernah ada rasa takut menjadi takut. Secara otomatis tanpa harus diberitahu, Adam merasa takut setelah dia memakan buah yang dilarang oleh Allah. Mereka mendapat pemahaman baru tentang diri mereka, menimbulkan takut dan juga rasa malu. Manusia tidak lagi memandang dan melihat sesuatu seperti sebelumnya yaitu dari terang Allah tetapi dari perspektif baru akibat kejatuhan dalam dosa.
Adakah Adam tahu sebelumnya bahwa dengan memakan buah ini maka dampaknya ia akan mengalami kematian? Jawabannya adalah Iya (Kej. 3:3). Pada saat Allah mengeluarkan larangan itu, Ia sudah memperingatkan manusia akan bahaya kematian jika terjadi pelanggaran. Sebegitu spesialnya buah tersebut, hingga peringatan tersebut tidak sekalipun membuat Adam dan Hawa merasa segan dan mengindahkan peringatan tersebut. Sebab menurut ular, dengan memakan buah tersebut mereka akan jadi sama seperti Allah, mengetahui segala sesuatu yang baik dan jahat. Mendengar perkataan ular, manusia mulai meragukan kemuliaan dan kebenaran Allah. Juga timbul keinginan untuk hidup independen dari Allah, berkuasa atas diri sendiri. Demikian Adam dan istrinya memutuskan untuk mencicipi buah itu. Dan apa yang terjadi pada mereka? Mereka jatuh ke dalam jurang spiritual yang irreversible, dengan kata lain keterpisahan dari Allah, Sumber Terang Kehidupan. Kehidupan di taman Eden adalah kehidupan di mana manusia bisa berkomunikasi dengan Allah tanpa adanya lapisan penghalang. Ia menjadi tempat di mana manusia pernah bersukacita dan bersekutu dengan Allah di dalam kesucian dan kebenaran, namun kemudian berubah menjadi tempat penuh malu dan takut. Allah tidak lagi mengizinkan manusia untuk tinggal di dekat-Nya, dan memang manusia tidak lagi memiliki kapasitas untuk itu. Allah digambarkan sebagai api suci yang membakar habis dosa. Sehingga oleh belas kasihan Dia, manusia dibiarkan untuk hidup (secara fisik) di tempat lain selain taman Eden dengan suatu kondisi baru yaitu umur fisik yang terbatas, hukuman susulan yang harus dialami manusia setelah kematian spiritual. Baik secara spiritual, fisik, maupun geografis, posisi manusia mengalami perubahan (penurunan kualitas) setelah kejatuhan ke dalam dosa.
Di luar taman Eden, manusia mengalami degradasi moral. Yang tersisa di dalam diri manusia hanyalah suatu tarikan magnet kepada keinginan daging. Di sisi lain, ketertarikan kepada hal yang berkenan kepada Tuhan terkikis. Keseimbangan kekuatan free will yang tadinya ada pada manusia kini menjadi pincang. Di dalam natur keberdosaan ini, hati manusia tidak lagi memikirkan akan keinginan Allah, baik bagi manusia pertama dan semua manusia keturunan Adam dan Hawa. Dalam natur ini, tidak mungkin manusia bebas dari rasa takut. Sebab rasa takut dihasilkan oleh dosa, sehingga tanpa kebebasan dari dosa, tidak mungkin manusia bebas dari rasa takut. Demikian bibit ketakutan tertanam di dalam keberdosaan dan berkembang.
Dalam studi psikologi, yang mulai diminati sejak abad ke-19, rasa takut dibedakan menjadi dua sub-kategori: pertama, rational fear, adalah rasa takut yang diperlukan dalam kehidupan manusia sehari-hari sebagai fungsi survival dan mekanisme proteksi diri. Contohnya adalah takut akan ular, laba-laba beracun, api, ataupun jatuh dari bangunan tinggi. Ini semua adalah contoh ketakutan yang muncul dari insting manusia untuk melindungi diri. Secara biblikal, rational fear untuk proteksi diri ini tidak ada sebelum kejatuhan manusia sebab pada mulanya manusia dicipta untuk hidup dan bersekutu dengan Allah (tidak adanya kemungkinan terekspos kepada bahaya-bahaya dari luar yang mengancam jiwa, kecuali hanya satu yaitu buah pengetahuan baik dan jahat yang ditaruh sebagai bahan ujian ketaatan manusia). Kedua, irrational fear, adalah rasa takut abnormal, terjadi secara intensif atas suatu situasi/keadaan, benda, ataupun orang. Ini ditandainya dengan adanya suatu keinginan yang tidak masuk akal untuk menghindari subyek yang ditakuti tersebut, juga ditandai oleh berbagai macam pemikiran tidak rasional dan serangan panik mendadak ketika menghadapi subyek ketakutan tersebut. Jenis ketakutan ini disebut juga sebagai phobia (dari bahasa Yunani yang artinya takut), contohnya: sociophobia (takut berada di tengah keramaian), acrophobia (takut ketinggian), dan sebagainya. Jika sampai mencapai tahap kronis, penderita tidak lagi mampu untuk berfungsi secara normal dalam keseharian.
Jenis ketakutan kedua inilah yang menjadi kekuatiran di kalangan ahli klinis, di mana orang-orang yang didapati mengalami tanda-tanda mental disorder ini akan dibawa untuk berobat. Beberapa pendapat mengatakan kalau phobia ini ada yang dimulai sejak masa kanak-kanak, oleh sebab keturunan genetik, ataupun kejadian traumatik tertentu. Peranan ilmu psikologi dalam hal ini yaitu memperjelas pemetaan biologis dan psikologis manusia (human’s nature mapping), hingga memungkinkan untuk disusun metode-metode penyembuhan yang tepat. Beberapa usaha penyembuhan yang dianjurkan untuk dilakukan yaitu melalui metode: terapi kognitif behaviour, konseling, hipnotis, rewind, konsumsi obat, dll. Para penderita merasakan relief yang besar dengan mengkonsultasikan masalah mereka dengan para psikolog. Metode-metode seperti yang disebut di atas menjadi media pengobatan bagi para penderita di mana satu penderita mungkin mencoba lebih dari satu metode pada saat yang bersamaan (sebab setiap metode tidak sempurna, memiliki kelebihan dan kekurangan) untuk mengembalikan rasa takut pada batas normal/rasional. Bersyukur bahwa dengan adanya perkembangan ilmu psikologi, banyak orang-orang tertolong untuk “terlepas” dari rasa takut ekstrim ini dan kembali bisa berfungsi dengan “normal” dalam kehidupan sehari-hari walaupun tidak pernah bisa tuntas.
Jadi, di dalam perkembangannya, ilmu ini tidak menawarkan suatu penyelesaian tuntas. Tuntas dalam arti jika misalnya seseorang mengalami takut ketinggian (acrophobia), melalui metode psikologi mampu disembuhkan, tetapi di masa yang akan datang tidak ada yang menjamin bahwa penderita tidak akan mengalami relapse. Mengapa relapse? Karena ketakutan original (yang bisa berkembang kapan saja jika mendapat trigger dari luar) masih tertinggal, yaitu takut akan ketinggian dalam batas normal/rasional di mana psikologi tidak memandang sebagai suatu problema hidup. Satu-satunya cara penyelesaian komplit yaitu pada akhirnya kembali dan berkonsultasi kepada Pencipta manusia, yang menjadikan manusia di dalam state yang paling sempurna yaitu keberadaan di dalam kesucian dan kekudusan yang tidak memiliki rasa takut sedikit pun. Inilah suatu state di mana manusia dapat kembali melakukan tugas panggilannya sebagai image of God yang seutuhnya, dengan fungsi kenabian menerima true knowledge dari Sang Pencipta sebagai wadah kebenaran sejati, dengan fungsi keimaman di dalam true holiness mewakili seluruh dunia di bawah manusia beribadah kepada Sang Pencipta, dan dengan fungsi raja dalam true righteousness menaklukkan dunia ini mewakili Sang Pencipta. Hanya di dalam state inilah manusia bisa lepas dari ketakutan apapun kecuali takut kepada sang Pencipta yang memang harus melekat di dalam diri manusia sebagai ciptaan. Inilah penyelesaian satu-satunya yang utuh, kembali kepada Sang Pencipta yang hanya dimungkinkan di dalam Yesus Kristus, Juruselamat dunia satu-satunya. Inilah pengharapan sejati dan satu-satunya bagi manusia berdosa untuk bebas dari ketakutan. Soli Deo Gloria.
Julie Cokromulio
Redaksi Umum PILLAR