Great Expectation

Kita sering kali rancu antara apa yang menjadi ekspektasi (expectation) dengan apa yang menjadi harapan (hope) kita. Ekspektasi dan harapan meski mirip tetapi tidak sama. Banyak orang berpikir bahwa ekspektasi mereka adalah harapan mereka. Dalam bahasa Indonesia tidak ada istilah untuk ekspektasi karena kata yang digunakan adalah harapan. Mungkin itu sebabnya kita sering keliru menanggapi ekspektasi sebagai harapan.

Ingatkah Anda akan sebuah perkataan bijak expect the worst, hope for the best? Mengapa peribahasa ini muncul? Karena masalah dalam ekspektasi adalah kendala psikologis yang akan dihadapi seseorang ketika ekspektasinya tidak terpenuhi.

Sebuah novel karya Charles Dickens, The Great Expectation, mengisahkan mengenai ekspektasi dari sejumlah tokoh-tokohnya. Dalam kisah tersebut dilukiskan bagaimana sikap mereka ketika ekspektasi mereka tidak terpenuhi. Ada yang bisa menerima fakta tersebut, meski dengan kecut. Namun ada yang menolak kenyataan dan akhirnya melakukan tindakan edan. Mengapa demikian?

Seorang psikiater Kristen bernama Dr. Gerald May memaparkan ekspektasi sebagai “rigid clinging to unreal belief”. Ekspektasi menuntut agar apa yang kita harapkan itu terjadi – tanpa peduli apa yang sesungguhnya terjadi. Ekspektasi biasanya kaku dan sulit dilenturkan bahkan kadang tidak dapat disingkirkan. Selain karena berasal dari keinginan untuk mengendalikan segala sesuatu agar berjalan seperti yang kita harapkan, ekspektasi biasanya terbatas pada pengalaman sebelumnya. Ini membuat kita tidak mampu mengharapkan sesuatu yang belum pernah kita alami. Ekspektasi tidak dapat melampaui apa yang kita ketahui.

Di sinilah letak persoalannya yaitu sering kali ekspektasi tidak membiarkan kita menerima apa yang tidak kita inginkan. Tidak heran ada pepatah yang mengatakan “keep your expectations low, else you might be disappointed.” Jika kita berpegang pada ekspektasi yang salah, hubungan dengan sesama diracuni. Kita akan bersikap negatif, menjadi marah, berusaha mengendalikan situasi, dan memaksakan kehendak kita. Kalau perlu dengan memanipulasi, menyuap, dan dengan melakukan hal-hal yang memalukan. Singkatnya, ekspektasi memengaruhi sikap dan tingkah laku kita; memengaruhi cara kita melihat dunia dan meresponinya.

Pengharapan berbeda dengan ekspektasi. Ia bersifat lentur bahkan ketika situasi yang diharapkan muncul terbalik. Pengharapan mengakui realitas yang ada – tidak menyangkalinya, namun tidak pernah menyerah terhadap situasi yang ada. Kenapa? Pengharapan mengakui adanya ketidakpastian dan merelakan hal lain bertumbuh karena tidak dibatasi oleh pengalaman sebelumnya. Bahkan kita dapat berharap akan sesuatu yang jauh lebih baik dari yang dapat kita ketahui. Pengharapan menolong kita untuk terus melangkah dan berjalan karena pengharapan memenuhi kita dengan kehidupan. Without hope there is no life.

Sebagai seorang Kristen, kita memiliki pengharapan yang berdasar karena diletakkan di dalam iman yang memercayai Yesus Kristus, Tuhan yang hidup, bukan PHP (Pemberi Harapan Palsu). Rasul Paulus mengatakan dalam 1 Korintus 13:7 bahwa kasih itu mengharapkan segala sesuatu (hopes all things). Di dalam kasih ada pengharapan dan kasih tidak berkesudahan.

Kita akan segera menutup tahun 2014, jika Tuhan memperkenankan kita melaluinya. Apa yang menjadi ekspektasi Anda selama ini? Berapa banyak ekspektasi yang salah telah menggerogoti kesehatan jasmani dan rohani kita? Memasuki tahun 2015, relakah kita melepaskan ekspektasi kita, lalu menggantikannya dengan pengharapan yang didasarkan iman dan kasih kepada Yesus Kristus? Mari kita meminta di bulan Natal ini, agar kasih Kristus memenuhi kita dengan pengharapan akan Kerajaan-Nya dan kedatangan-Nya!

Selamat Natal dan Tahun Baru 2015.

Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin