Terlepas dari segala kepelikan masalah yang ada, pernyataan seorang bekas penegak hukum yang telah menindas hukum lalu meminta maaf kepada lembaga yang dilayaninya, cukup mengusik hati. Kepada siapa seharusnya mereka, apalagi yang mengaku diri Kristen, pertama-tama meminta maaf ketika melakukan kesalahan?
Ketika Daud jatuh dalam dosa soal urusan perzinahan dengan Batsyeba, dan juga kasus menghitung orang Israel, Daud mengakui bahwa ia pertama-tama bersalah kepada Tuhan. Apakah Daud melakukan hal ini karena sebagai penyelenggara kekuasaan tertinggi di Kerajaan Israel pada waktu itu, atasan langsungnya adalah Tuhan? Mari kita lihat contoh klasik lainnya, yaitu Yusuf saat ia berada di rumah Potifar. Yusuf menjadi orang kepercayaan Pofitar dan mendapat kuasa atas segala miliknya. Apakah Yusuf menolak godaan tante Potifar karena sebagai seorang budak ia takut kepada tuannya, yang adalah seorang kepala pengawal raja (baca: jenderal)? No way! Yusuf berhasil menolak tante yang berahi kepadanya itu semata-mata karena berpegang pada pengakuan bahwa hal itu adalah sebuah kejahatan yang besar dan dia tak ingin berdosa terhadap Allah!
Mari kita lihat tokoh-tokoh Alkitab lain yang memiliki prinsip yang mirip-mirip dengan oknum bekas penegak hukum yang disinggung di atas. Kain misalnya, tidak mengakui kesalahannya di hadapan Tuhan, malah dengan berani berkilah. Demikian pula dengan Raja Saul, alih-alih mengaku dosanya di hadapan Allah seperti Daud, ia lebih suka menyelamatkan mukanya di hadapan rakyat yang telah “memilihnya”.
Silakan Saudara menggali Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru lebih jauh lagi untuk menemukan tokoh-tokoh “antagonis” dan “protagonis” terkait pengakuan dosa mereka. Namun pada prinsipnya, semua ini mungkin dapat kita simpulkan dengan melihat pada 1 Yohanes 1:9, bahwa jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. Ayat ini mengajak kita untuk merefleksikan apa itu dosa, terhadap siapa kita berdosa (Tuhan atau sesama atau keduanya), mengapa hanya Allah yang dapat mengampuni dosa, bagaimana Ia, Sang Kudus, dapat mengampuni semua dosa kita, dan seterusnya. Lewat pertanyaan-pertanyaan ini kita seharusnya makin didorong untuk merenungkan ulang siapa Tuhan dan siapa kita!
Soli Deo gloria.
Vik. Maya Sianturi Huang
Wakil Koordinator Bidang Pendidikan Sekolah Kristen Calvin