Harem

Jika kita menonton film sejarah kerajaan yang memiliki harem, maka kita akan melihat
persaingan ketat di antara para “perempuan raja” untuk memperoleh kasih sayang raja. Yang
paling penting bukanlah benar atau salah, tetapi apakah raja berkenan atau tidak. Oleh
karena itu, di hadapan raja mereka selalu berdandan untuk menyenangkan raja, berkata-kata
manis sesuai ekspektasi raja, dan bertindak demi menarik simpati raja. Namun di belakang
raja, demi mempertahankan kasih raja tetap tertuju kepadanya, mereka tega menyingkirkan
siapa pun yang dianggapnya sebagai saingan. Yang kuat menang dan yang lemah kalah. Kasih
raja mudah beralih, oleh karena itu hal yang menjamin kedudukan para perempuan raja, adalah
jika mereka bisa melahirkan keturunan laki-laki dan alih-alih menjadi penerus raja.

Kasih antara suami istri (monogami) pun tidak lepas dari berbagai permasalahan. Tidak
ada jaminan bahwa kasih di awal pernikahan akan tetap sampai akhir pernikahan, yaitu
ketika kematian memisahkan mereka. Di zaman kebebasan sekarang ini, hal apakah yang dapat
melimitasi keliaran manusia? Perceraian sudah terjadi sejak zaman Musa, tetapi Tuhan Yesus
mengatakan bahwa sejak semula apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia (Mat. 19.6). Kasih manusia yang rapuh dan tidak sempurna seyogyanya membuat
manusia merindukan kasih Allah yang tidak berubah dan sempurna. Kasih Allah inilah yang
memampukan kita untuk mengasihi sesama dengan benar, bahkan musuh kita (1Yoh. 4:19,
Mat. 5:44). Ini adalah perjuangan seumur hidup bagi manusia berdosa, mengingat keturunan
pertama dari manusia pertama membunuh adiknya, yang seharusnya dijaganya.

Para perempuan di harem berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh kasih raja dan
menikmati kemewahannya. Bagi kita yang menghargai kekekalan, tujuan seperti ini terlalu
remeh dan rapuh. Katekismus Singkat Westminster mengatakan bahwa tujuan utama hidup
manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya. Bukan mencari
nama seperti peristiwa Menara Babel yang diporakporandakan Tuhan. Bukan menikmati
berkat-berkat-Nya melainkan menikmati Diri-Nya, seperti suku Lewi yang mendapatkan
Allah sebagai bagian mereka. Kelemahan dan keterbatasan kita menjadi platform
Tuhan menyatakan kuasa-Nya (2Kor. 12:9).

Tidak seperti para perempuan raja yang bersaing demi mendapatkan hati raja, kita tidak
perlu bersaing untuk mendapatkan kasih Tuhan. Mahkota kebenaran disediakan Tuhan kepada
semua orang yang merindukan kedatangan-Nya. Kita tidak perlu berlomba dengan siapa pun
untuk terlebih dahulu mencapai garis akhir. Bagian kita adalah memelihara iman dan
mencapai garis akhir. (2Tim. 4:7-8) Marilah kita hidup di dalam kasih Tuhan setiap hari,
menjalankan panggilan hidup kita masing-masing, sampai Ia memanggil kita pulang.