Sore itu aku duduk memandangi satu blok lantai yang bagiku terlihat mengkilap karena sisi-sisinya yang sebelumnya hitam telah dibersihkan dengan porstek menjadi putih. Lalu aku memandang kepada sisa lantai lain yang belum sempat kubersihkan. Aih… sangat jelek rupanya lantai berwarna putih yang sisi-sisinya berwarna hitam karena kotoran yang sudah sangat lama berkerak di sana. Kembali aku memandang kepada satu blok lantai yang telah aku bersihkan tadi. Aah… indahnya… seandainya semua sisi-sisi lantai aku bersihkan dengan porstek, betapa indahnya ruangan ini, serasa berkilau! Ya… berkilau karena lantai putih dengan sisi-sisi yang putih terkena pantulan cahaya memberikan suasana yang berbeda ketika berada di rumah itu. Aku terhenyak! Kenapa selama bertahun-tahun ini aku tidak merasa terganggu dengan lantai yang sisi-sisinya hitam? Sekarang setelah aku menikmati lantai dengan sisi-sisi yang putih, betapa tidak tenangnya hatiku melihat sisa lantai lain yang masih berupa kotak-kotak hitam itu! Ingin rasanya aku porstek semua lantai sekarang juga! Sebenarnya lantai itu setiap hari dipel, tetapi tidak bisa menghilangkan kerak yang memenuhi sisi-sisi antara keramik yang satu dengan keramik yang lain. Sabun pel biasa tidak bisa membuat kerak-kerak itu lepas. Aku masih terus menikmati satu blok lantai itu ketika tiba-tiba terlintas dalam pikiranku, ”Bagaimana dengan hatiku ya? Jangan-jangan selama ini berkerak hitam namun bagiku fine-fine aja tuh! How am I doing actually?”
Lahir baru menurut Yohanes Calvin adalah semakin selarasnya hidup kita, ketaatan kita dengan kebenaran Allah, dan semakin kokohnya keyakinan kita akan penerimaan diri kita sebagai anak-anak Allah (adoption). Apakah hidupku yang selama ini fine-fine aja sudah selaras dengan kebenaran-Nya? Apakah kelakuanku sudah menunjukkan bahwa aku adalah anak Allah? Atau yah… hanya sebagai orang yang “baik”. Apakah Tuhan senang melihat bagaimana aku hidup sehari-harinya? Seperti Kristus, itulah yang diinginkan-Nya, itulah target kesempurnaan hidup kita, itulah standar yang dituntut Allah dari kita. Gambar Allah yang telah rusak dalam diri kita dipulihkan sampai wujud Kristus terungkap dalam kehidupan kita, dan sampai akhirnya banyak orang boleh melihat dan memuliakan Allah. Waah… sepertinya masih jauh banget deh…. Niat selalu ada dalam hatiku tapi pelaksanaan tidak. Kalaupun pelaksanaan ada, itu pun tidak konsisten dan segera hilang lagi. Sungguh sulit untuk memecut diri. Mungkin juga karena jika aku tidak datang kepada-Nya, toh aku tetap baik-baik saja, hari-hariku tetap lancar. Sehari demi sehari, selapis dengan selapis, tidak terasa, tidak disadari, sisi-sisi lantai menjadi semakin hitam. Sampai suatu saat terhenyak betapa banyak waktu sudah terbuang, betapa banyak kesempatan sudah terlewati, betapa banyak anugerah dibiarkan percuma, betapa aku harusnya sudah lebih bertumbuh tetapi ternyata masih seperti bayi Kristen. Betapa aku sudah mendukakan Roh Kudus.
Tetapi bukankah selama kita masih berada dalam tubuh, kita tidak bisa lepas dari kelemahan kedagingan dan itu adalah fakta? Benar. Tetapi itu bukan alasan untuk membela diri, alasan untuk bersantai-santai menikmati dunia, terlebih jika kita hidup di tempat yang sangat sedikit penyerangan terhadap iman Kristen. Hmm