Pada seri sebelumnya dari artikel ini, kita sudah membahas mengenai “Shalom:
Kesejahteraan Kota bagi Semua” dari refleksi film Zootopia. Kita akan melanjutkan seri
renungan ini tetapi sebelumnya kita akan me-review terlebih dahulu apa yang telah
kita pelajari sejauh ini:
Benar, Berani, Setia
Kita sudah mempelajari mengenai syarat pemimpin yang berkenan di hati Tuhan, yaitu
pemimpin yang memiliki “Kebenaran, Keberanian, dan Kesetiaan”.
– www.buletinpillar.org/renungan/keberanian (Lion King)
– www.buletinpillar.org/renungan/kesetiaan (Setia dan Benar)
– www.buletinpillar.org/renungan/kelemahlembutan-kasih-yang-mengubahkan (Beauty and
the Beast)
– https://www.buletinpillar.org/renungan/kasih-setia-mengalirkan-kepercayaan-dan-shalom-1
(Zootopia)
– https://www.buletinpillar.org/renungan/kasih-setia-mengalirkan-kepercayaan-dan-shalom-2
(Zootopia)
Kepercayaan dan Kasih Setia: Menuju Shalom
Kota urban pada zaman bangsa Israel mencapai puncaknya pada masa Raja Salomo. Sesuai
dengan namanya, Salomo menjadi wakil Tuhan untuk membawa shalom dan kesejahteraan
kepada kota besar Yerusalem dan juga kepada negara-negara sekitarnya pada waktu itu. Dan
diharapkan menyatakan kemuliaan Allah ke seluruh dunia. Sayang sekali, Salomo di akhir
hidupnya memperlakukan pekerja-pekerjanya dengan penindasan dan Salomo terjatuh kepada
penyembahan berhala. Karena itu, kesalehan yang diharapkan mengalir keluar dari
penyembahan yang benar justru digantikan oleh kekerasan.
Selain itu, kisah Ester juga terletak di pusat Kerajaan Persia, kota metropolis di
mana Haman waktu itu melakukan penindasan, kekerasan, penghinaan, rasialisme, dan hendak
melakukan genosida. Tetapi Tuhan mencegahnya melalui Ester. Dan diperlukan pengorbanan,
perendahan diri, dan berdoa syafaat, serta puasa untuk melewati kesulitan seperti Ester.
Sedangkan kisah Yusuf di tengah-tengah kelaparan, di puncak kebudayaan dan kota
metropolis Mesir pada waktu itu, sedikit berbeda. Karena ada musibah kelaparan terjadi,
sama seperti di zaman sekarang ada pandemi Covid-19, bagaimana Yusuf dipercaya menjadi
wakil Tuhan bagi dunia. Yusuf tidak melakukan kekerasan tetapi justru menghadirkan hikmat
untuk mengatur. Tentu saja semua ini memerlukan ketekunan dan ketabahan untuk melewati
kesulitan seperti Yusuf.
Menghadapi siklus kekerasan dan kecurigaan ini, sangatlah diperlukan membangun rasa
saling percaya atau trust. Francis Fukuyama mengatakan bahwa trust is the social
capital. Tetapi bagaimana membangun trust di dalam masyarakat yang penuh dengan
tekanan dan kekerasan? Diperlukan hesed (kasih setia) yang digerakkan, diubahkan, dan
diproses oleh Tuhan dalam kehidupan seseorang. Hesed Tuhan itu lebih dari hidup (Mzm.
63) dan hesed merupakan kasih setia di dalam perjanjian. Tentu saja diperlukan nabi
yang menegur dosa kekerasan dan kecurigaan untuk mengarahkan masyarakat dengan firman Tuhan.
Bila kita tidak dipercayakan sampai di suatu cakupan kota besar, bagaimana kita memulai di
dalam lingkungan kita? Menjadi lingkungan percontohan yang menyatakan kemuliaan Tuhan dan
kasih keadilan Kristus? Sikap yang terus mempelajari hukum Musa terhadap minoritas,
pendatang, yang miskin itu juga menjadi salah satu prinsip yang mesti dipegang oleh
pemimpin yang berani, benar, dan setia, agar terhindar dari kekerasan dan masyarakat
menjadi berkembang mekar harum.
Bagaimana kita belajar membangun tali persaudaraan, rasa saling percaya, dan kasih setia
di konteks di mana kita ditempatkan? Dimulai dari kehidupan keluarga, bergereja,
bermasyarakat, berbangsa, dan Negara, tentunya. Sekaligus menyadari bagaimana ketika
masuk di dalam konteks perkotaan besar kita adalah musafir dan minoritas (bangsa asing dan
hanya sekadar menumpang). Namun, semua ini tidak dapat meniadakan kesadaran akan
bagaimanakah kita dapat menjadi berkat dan membawa shalom. Kiranya Tuhan menyertai
dan memampukan kita semua. Amin.