Kejatuhan Manusia: Sebuah Refleksi Sandiwara Hidup

Dunia berdosa ternyata manis dan menarik (oh ya?). Kejatuhan manusia menjadi salah satu kisah dari cerita keseluruhan dunia. Tidak menerima fakta keberdosaan sama dengan penolakan terhadap Tuhan, sebab Tuhan menyatakan dengan jelas bahwa dunia (terutama manusia) berada di dalam kuasa dosa.[1] Jadi apa yang harus kita mengerti dari kisah ini? Dan bagaimana kita bisa melihat Tuhan yang baik di dalam kisah kejatuhan manusia yang buruk?

From Evil to Evil: Sebuah Pola
Musa mengisahkan bagaimana kejatuhan manusia pertama di taman Eden. Adam menerima perintah Allah dan melanggarnya. Pelanggaran terhadap ketetapan Allah tidak pernah berdampak sederhana, karena kita berbicara tentang usaha melepaskan diri dari Pencipta, satu-satunya Pribadi yang sanggup menopang dan berhak menilai ciptaan. Usaha membuang kemutlakan Allah di dalam dunia ciptaan inilah yang kelak akan berdampak besar secara negatif bagi perjalanan manusia di dalam sejarah. Semangat membuang sang Mutlak menjadi pola mutlak di dalam keberdosaan manusia. Kengerian dari semangat ini ketika terus dibiarkan bertumbuh di dalam waktu adalah daya telannya. Dampak yang hadir tidak pernah bersifat konstan, melainkan bersifat eksponensial![2] Dan manusia selalu berada di dalam kondisi delusif ketika ia berpikir suatu saat ia dapat menghentikan dampaknya ketika ia mau. Semakin lama pembiaran dikerjakan, semakin besar kekuatan untuk menelan manusia.

Kejadian 4 menggambarkan “bola salju” keberdosaan yang terus membesar. Kain membunuh Habel sebagai lanjutan siklus kejatuhan Adam di hadapan Allah. Kain tidak lagi merespons pernyataan Allah yang absolut. Penetapan Allah yang menerima persembahan Habel menjadi sesuatu yang lagi-lagi relatif dan dirasa perlu evaluasi ulang dari manusia. Kisah pada bagian ini ditutup dengan Lamekh (keturunan Kain selanjutnya) yang bertambah jahat. Lamekh dicatat mengambil dua orang istri dan menyatakan pernyataan pembenaran dirinya dengan lebih jahat setelah melakukan pembunuhan.[3] Keserupaan pola dengan peristiwa taman Eden muncul kembali. Tidak ada Allah, yang ada hanya Lamekh dan ketetapannya!
Pada pasal 6, kita menemukan puncak dari kejahatan manusia. Kejahatan yang dimulai dari satu individu sekarang membesar hingga satu komunitas. “Bola salju” yang sudah terlalu besar untuk bisa dibenahi oleh manusia sendiri. Dicatat bahwa kecenderungan manusia hanyalah apa yang disukainya dan apa yang jahat.[4] Kejahatan individual ini berkembang begitu rupa hingga menjadi sebuah kejahatan yang berbentuk komunal. Pola ini nanti akan dinyatakan ulang di dalam Perjanjian Baru oleh Rasul Paulus. Bukan saja manusia berdosa secara individu, Alkitab menyatakan bahwa mereka berkumpul dan saling mendukung di dalam kejahatan mereka.

Kebahayaan terbesar bagi manusia ketika yang dicari bukanlah pertobatan melainkan pembenaran dan dukungan terhadap kejahatan mereka. Manusia yang adalah wadah kebenaran menjadi pencari pembenaran.[5] Mereka membangun suatu kelompok sendiri untuk menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif demi menelurkan keinginan pribadi yang berdosa. Peringatan bukan tidak disampaikan oleh Tuhan.[6] Namun bukankah dunia ini selalu ironis? Sebab sebelum kejatuhan, selalu ada peringatan yang dianggap sepi. Dari kejahatan menuju kejahatan yang lebih besar, sebuah pola dari dunia berdosa.

Sandiwara Keberdosaan: “Nabi Palsu”, “Mesias Palsu”, dan Kebohongan
Semangat membuang Allah yang dinyatakan sebelumnya telah menjadi fondasi yang membangun dunia ini. Dua zaman yang terdekat dengan kita, yaitu zaman modern dan postmodern sudah menjadi pendidik kita yang paling akrab yang dibangun dari fondasi tersebut. Zaman modern berangkat dari zaman Pencerahan pada abad ke 17 dan 18. Zaman di mana pengharapan manusia terhadap rasionalisme dan empirisme begitu besar. Dua arus pemikiran filosofis ini bukan tanpa pencapaian. Melalui dua arus pemikiran ini, ilmu pengetahuan berkembang secara pesat. Masing-masing diwakili oleh para pemikir besar seperti John Locke, Thomas Hobbes, dan David Hume untuk empirisme. Bersandingan dengan mereka, Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz mewakili kubu rasionalisme. Dua kelompok ini terus mengejar perkembangan bagi kemanusiaan “yang lebih baik”. Namun siapa yang membuang Allah memang membuang segalanya. Utopia akan kemanusiaan yang lebih baik kandas pada Perang Dunia I dan II. Pencapaian ilmu pengetahuan tertinggi pada zaman modern justru diterapkan pada alat-alat perang.[7] Mengutip pembahasan Pdt. Dr. Stephen Tong perihal “Sin and Lostness”[8], inner security di dalam dunia berdosa adalah salah satu aspek yang hilang ketika manusia lepas dari Allah. Maka tidak heran bila istilah homo homini lupus[9] hadir di dalam dunia nyata. Modernisme yang sempat diharapkan menjadi mesias bagi kemanusiaan ternyata kandas sudah.

Kekecewaan yang besar terhadap zaman modern menelurkan zaman yang tidak kalah jahatnya dalam mewakili kejahatan manusia. Dicetuskan oleh Friedrich Nietzsche dengan pernyataan bahwa “Allah sudah mati” (Gott ist tot). Yang dimaksud Nietzsche dengan Allah sudah mati adalah kematian semua norma-norma yang mengekang manusia[10]. Manusia harus terbebas dari kekangan nilai-nilai masa lalu (modern) yang terbukti membawa kemalangan terhadap kemanusiaan. Kalau dilihat dari sejarah, semangat membuang Allah dan mejadi allah bukan barang baru yang dikeluarkan oleh Nietzsche. Akibat arus pemikiran ini, manusia semakin terpusat pada diri sendiri. Dan sebagaimana pola dasar keberdosaan, sekali lagi dari kejahatan menuju kejahatan yang semakin ekstrem. Jikalau di zaman modern, masih ada semangat humanis untuk mengejar kebenaran dan kemajuan bagi kemanusiaan, maka pada zaman postmodern segala sesuatu ditarik nyaris mutlak bagi diri sendiri. Segala sesuatu direlatifkan sambil memutlakan diri. Relativisme dan subjektivisme sekarang menjadi mesias yang baru. Akankah kita menemukan kembali kebohongan pada ujungnya?

Zaman Kita: Kita yang Muda dan Kekristenan Era Postmodern
Postmodern yang merelatifkan segala sesuatu sudah jelas membawa semangat membuang Allah yang absolut (pola Alkitabiah yang sama dalam pembacaan dunia fall pada kerangka CFRC[11]). Memulai dari diri adalah satu-satunya opsi ketika manusia tidak memulai dari Allah. Semangat yang sama, sadar tidak sadar ternyata hadir di dalam kekristenan. Jikalau dahulu semangat untuk membuang Allah diwujudkan dengan melawan Allah, sekarang pembuangan Allah justru lebih licik. Kita membuang Allah dengan cara memperalat-Nya. Religiusitas Kristen[12] digunakan secara manipulatif, merelatifkan kebenaran dan menggantinya dengan definisi pribadi. “Saya mau menggumulkan (baca: menunda/mengejar)”, “Saya bertumbuh (baca: senang) di tempat itu”, “Saya beriman (baca: kebelet, “pengen”, sudah ga tahan) pasti dapat”, “Saya minta maaf (baca: Kamu harus maafkan saya dan telan sendiri pahitnya)”. Kengerian terbesar justru keluar dari lingkungan yang “rohani”, sebab penipuan paling berbahaya keluar dari penipu yang memiliki image dan nama yang “baik”. Karena siapa yang bisa percaya bahwa ia yang baik itu menipu?[13]

Sebuah refleksi bagi kita, apakah kita sedang bersandiwara di hadapan Tuhan? Sebab bagaimana mungkin kita bisa menata hati dan hidup yang super berantakan bila kecenderungan hati kita masih berusaha melegalkan kehendak pribadi kita dengan topeng religius? Jangan-jangan kita memunculkan kemunafikan ala pemungut cukai yang menepuk-nepuk dada di depan bait Allah[14] yang lebih parah dari orang Farisi yang dikisahkan pada bagian tersebut. Pada akhirnya, dunia berdosa memang manis dan menarik dalam rayuannya untuk membuat kita bersandiwara. Menipu diri, menipu orang lain, dan berusaha menipu Allah. Tetapi Allah tidak mengakhiri kisah manusia dalam kejatuhan. Semoga Ia berbelas kasihan kepada kita dan membukakan kuasa penebusan-Nya yang menyegarkan bagi jiwa-jiwa yang telah pahit akibat keberdosaan.

The crowd rebuked them, telling them to be silent, but they cried out all the more, “Lord, have mercy on us, Son of David!” – Matthew 20:31

Swift to its close ebbs out life’s little day;
Earth’s joys grow dim; its glories pass away;
Change and decay in all around I see;
O Thou who changest not, abide with me.

Nikki Tirta
Pemuda FIRES

Endnotes:
[1] “For all have sinned and fall short of the glory of God” – Romans 3:23, English Standard Version.
[2] Eksponensial adalah sebuah istilah matematika yang menggambarkan kenaikan nilai terus-menerus dengan derajat penambahan yang terus membesar. Mungkin bisa dimengerti secara sederhana di dalam analogi bola salju yang terus bergulir menuruni bukit dengan kecepatan dan ukuran yang terus bertambah.
[3] “Sebab jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat” – Kejadian 4:24, Indonesia Terjemahan Baru.
[4] “The LORD saw that the wickedness of man was great in the earth, and that every intention of the thoughts of his heart was only evil continually” – Genesis 6:5, English Standard Version.
[5] “Though they know God’s decree that those who practice such things deserve to die, they not only do them but give approval to those who practice them Romans 1:32, English Standard Version.
[6] Kejadian 2:17; Kejadian 4:7; 2 Petrus 2:5.
[7] STRIJ “Iman Kristen dan Ilmu Pengetahuan”, Kemayoran.
[8] Tulisan ini disampaikan oleh Beliau pada tahun 1989 di dalam konggres internasional perihal penginjilan dunia “Lausanne II”, kota Lausanne. http://www.lausanne.org/docs/lau2docs/165.pdf.
[9] “Man is a wolf to [his fellow] man.” – Plautus Asinaria (195 BC).
[10] “God is dead. God remains dead. And we have killed him. Yet his shadow still looms. How shall we comfort ourselves, the murderers of all murderers? What was holiest and mightiest of all that the world has yet owned has bled to death under our knives: who will wipe this blood off us? What water is there for us to clean ourselves? What festivals of atonement, what sacred games shall we have to invent? Is not the greatness of this deed too great for us? Must we ourselves not become gods simply to appear worthy of it?”—Nietzsche, The Gay Science, Section 125, tr. Walter Kaufmann
[11] CFRC: Creation Fall Redemption Consummation.
[12] Istilah-istilah, Aktivitas dan Pemikiran Kristen.
[13] “And no wonder, for even Satan disguises himself as an angel of light” – 2 Corinthians 11:14, English Standard Version.
[14] Lukas 18:9-14.