“Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: “Hai anak-Ku,
dosamu sudah diampuni!” (Mrk. 2:5)
Kita selalu hidup sebagai bagian dari komunitas. Di mana pun kita berada, kita menjadi
bagian dari komunitas. Pada saat yang sama, kita biasanya memilih komunitas yang mana
kita akan berbagian. Bicara komunitas, pembacaan Markus 2:1-12 memberikan gambaran
yang menarik tentang komunitas. Kisah tentang empat orang yang menggotong temannya
yang lumpuh ke Yesus ini menunjukkan paling sedikit ada 3 macam kelompok komunitas
yang hadir pada saat Yesus memberitakan firman di rumah di Kapernaum.
Komunitas yang paling jelas pertama kali adalah kerumunan orang banyak (ay. 2). Mereka
berkumpul memenuhi rumah tersebut sampai-sampai meluap ke luar. Entah apa yang
membawa mereka ke rumah tersebut, mungkin memang mau mendengar Yesus karena
dikatakan telah tersiar kabar tentang-Nya. Atau, karena melihat sudah ada orang berkerumun,
kemudian keingintahuan membawa mereka menambah kumpulan kerumunan yang ada.
Ketika melihat tindakan empat orang yang menurunkan si lumpuh dari atap, mereka tidak
melakukan apa pun, sebagaimana kerumunan, selain menonton, dan mungkin mengomentari.
Inilah komunitas gamang yang senang berkumpul, tidak bertindak, atau bahkan berpikir, dan
mudah terbawa suasana.
Empat orang yang menurunkan orang lumpuh, termasuk orang lumpuh itu, adalah komunitas
yang selanjutnya (ay. 3). Mereka tidak banyak bicara, tapi tindakan keempat orang itu
seakan-akan mengatakan bahwa mereka memiliki misi penting, dan tidak ada suatu pun yang
dapat menghalangi mereka untuk menyelesaikan misi mereka. Si lumpuh pun tak berbicara
tapi membiarkan teman-temannya menjalankan misi sampai selesai. Ketika mereka tidak bisa
menerobos kerumunan banyak, mereka naik ke atap, dan menggali atap kuno rumah tersebut
yang kemungkinan merupakan tumpukan papan kayu, alang-alang, dan tanah padat. Mungkin
mereka diprotes, dipertanyakan oleh orang-orang karena kegaduhan mereka di atap rumah.
Pada akhirnya mereka berhasil menurunkan teman lumpuh mereka ke hadapan Yesus.
Yang terakhir, yang jaraknya secara fisik paling dekat dengan Yesus, dan juga merupakan
kelompok yang sangat terhormat di masyarakat, adalah para ahli Taurat yang duduk di paling
depan (ay. 6), sementara yang lainnya berdiri di belakang. Komunitas dianggap paling rohani
dan paling mengerti firman Tuhan. Namun pada saat yang sama, mereka tidak mengenal
siapa Yesus sesungguhnya, sehingga kehadiran mereka sebetulnya hanyalah sebatas untuk
mencari apa lagi tindakan atau ucapan Yesus yang bisa dipersalahkan. Kalau bisa, mungkin
mereka akan merekam dan mengedit apa yang diucapkan Yesus. Setiap hal bisa menjadi
celah untuk dikritisi dan memang itulah yang terjadi. Mereka mempertanyakan siapa Yesus
sehingga berani melakukan satu tindakan yang hanya Tuhan bisa lakukan, yaitu mengampuni
dosa seseorang. Namun ketika ditantang, mereka diam saja karena memang tujuan mereka
bukanlah untuk berdiskusi, tapi mencari kesalahan, kesempatan untuk mengkritisi.
Dari ketiga komunitas di atas, di manakan diri kita pada saat ini? Jangan-jangan kita
hanyalah kerumunan yang suka aktivitas, berkumpul bersama, tapi sebetulnya tidak memiliki
komitmen untuk sungguh-sungguh mempelajari kebenaran. Atau, lebih parahnya kita
menganggap diri rohani, dan hanya berkumpul dengan orang-orang yang kita anggap rohani
untuk berdiskusi dan berdebat tentang kebenaran, tapi pada dasarnya tidak pernah mengenal
kebenaran itu secara pribadi dan mengasihi kebenaran. Mudah-mudahan bukan keduanya.
Kiranya anugerah Tuhan memampukan kita memiliki kerendahan hati untuk membangun
sebuah komunitas yang mengasihi kebenaran, terekspresi melalui kehidupan saling
mendorong, saling menopang, saling membantu, dan rela berkorban demi kepentingan
sesama kita yang membutuhkan pertolongan kita, sebagaimana Kristus telah melakukannya
di atas kayu salib. Dan ketika Kristus menyatakan anugerah-Nya kepada saudara seiman,
seperti kepada si lumpuh, kita bisa bersukacita dan mengamininya.