Di pagi yang sejuk dan dingin itu saya duduk di ruang makan Melati untuk menikmati sarapan pagi yang adalah nasi uduk. Ya, para pembaca PILLAR yang menghabiskan tahun barunya di Sukabumi pasti segera mengetahui bahwa saya sedang mengikuti NREYC 2008. Dengan tangan yang terus menyendokkan makanan ke mulut, mata yang cukup berat, dan terutama leher yang masih terasa tegang; nasi uduk tersebut ternyata bukannya terasa enak, tetapi malah terlalu manis karena saya begitu kangen dengan bumbu kacang dan mengambilnya terlalu banyak. Dan ketika lidah saya sedang menikmati nasi uduk tersebut, otak saya kembali teringat dan merefleksikan keharmonisan dan keunikan kopi hangat manis, yang pernah saya pikirkan sebelumnya ketika mengingat Mr. Bean.
Siapakah di antara teman-teman yang tidak pernah menonton Mr. Bean? Saya yakin hampir semua sudah pernah menonton film kocak yang satu ini. Saya teringat kepada Mr. Bean yang harus pergi terburu-buru pada suatu pagi karena sudah terlambat. Pagi itu dia masih berusaha menyempatkan diri untuk membuat secangkir kopi sebelum dia pergi. Saking gugupnya dia memecahkan cangkir di hadapannya itu sendiri yang akhirnya membuat dia bertindak lebih kocak lagi. Dia menyendokkan kopi bubuk, krimer, dan gula pasir langsung masuk ke dalam mulutnya sebagai cangkir. Sesudah itu dia meminum air hangat, mengocok mulut dan tubuhnya, mengubah air mukanya, dan menelan minuman itu dalam sekejap. Saya yakin teman-teman pasti bisa menduga mengapa air mukanya berubah dan apa yang kira-kira terjadi di dalam rongga mulutnya. Ya, kopi itu tidak bercampur dengan sempurna dan terasa pahit, karena bubuk kopilah yang menempel pada papila (tonjolan kecil pada lidah yang memiliki sel reseptor untuk mengecap).
Minuman ‘kopi manis hangat’ yang seharusnya beraroma biji kopi, aroma susu (kalau tambah susu), terasa manis, ditambah air panas (boleh juga ditambah es batu kalau mau), itu telah kehilangan sifat organiknya. Bubuk kopi yang seharusnya bercampur secara sempurna dengan gula pasir karena diaduk dengan air panas itu akhirnya mendominasi ‘minuman’ itu. Minuman ‘kopi manis hangat’ baru disebut minuman ‘kopi manis hangat’ jika aroma biji kopi, rasa yang manis, dan suhu yang hangat itu terasa dengan sempurna dan harmonis dengan proporsi yang tepat. Dengan proporsi yang tepat, maka aroma uap kopi, kegurihan susu atau krimer bagi yang suka, kemanisan larutan kopi, dan kehangatan air kopi itu dapat dibedakan, dapat dirasakan keunikannya masing-masing pada waktu yang sama, tetapi tidak dapat dipisah ataupun bercampur sehingga berubah sifat (aroma tetap aroma, gurih tetap gurih, rasa manis tetap rasa manis, dan kehangatan tetap kehangatan). Saya tidak mengatakan bahwa bubuk kopi, susu cair (bubuk juga boleh), gula pasir, dan air hangat tersebut tidak dapat bercampur dan berubah sifat atau wujud menjadi minuman ‘kopi manis hangat’ (justru kalau tidak bercampur dengan merata dan sempurna malah tidak enak), tetapi saya mengatakan bahwa aroma tetap aroma, rasa manis tetap rasa manis, dan kehangatan tetap kehangatan. Mengapa? Karena materi tetaplah materi yang kelihatan dan terbatas oleh ruang dan waktu, sedangkan aroma, rasa manis, dan kehangatan yang masing-masing tidak kelihatan itu dapat nyata secara harmonis pada waktu dan tempat yang sama.
Kita bersyukur kepada Tuhan, karena Dia adalah Allah yang hikmat-Nya tak terselami, rancangan-Nya tak pernah gagal, dan pekerjaan tangan-Nya sempurna; karena Allah adalah Allah, Allah bukan manusia, Allah berbeda secara kualitas dengan manusia, apalagi Mr. Bean! Kita bersyukur karena kitalah yang menjadi mahakarya Allah dan fokus dari alam semesta, yang dicipta dengan begitu sempurna, penuh kemuliaan, dan hormat. Meskipun kita semua telah menyeleweng, membuang dan menghina diri, serta lari dari Tuhan, Tuhan tetap mencari dan menjadikan kita umat pilihan-Nya, yang membuktikan bahwa rencana-Nya memang sesungguhnya tidak pernah gagal dari semula. Tuhan menempatkan kita di dalam satu komunitas terang dan persekutuan salib[1] yang indah serta penuh dengan kesucian bersama-sama saudara seiman kita. Tuhan ingin agar kita menjadi suci seperti Dia yang adalah Terang dan memiliki persekutuan kekal. Karena itu Tuhan menciptakan kita dengan sifat moral, sifat kekekalan, dan sifat persekutuan[2]. Persekutuan yang murni haruslah persekutuan dalam kesucian. Persekutuan yang tulus tidak bisa lepas dari sikap yang saling mengasihi. Persekutuan yang harmonis berarti merendahkan diri satu dengan yang lain. Tetapi siapakah yang melandasi persekutuan itu? Dapatkah kita mengerti keharmonisan dari sifat kesucian, cinta kasih, dan kerendahan hati tanpa ada landasan, titik pusat, dan teladan hidup yang menyentuh hati kita? Tidak mungkin, karena setiap orang akan mencari kepentingan dirinya sendiri, dan kalaupun mencari kepentingan orang lain, pasti akan kembali lagi kepada kepentingan sendiri. Pendeknya, kalaupun misalkan andaikata tidak untuk kepentingan diri sendiri, usaha pencapaiannya hanyalah fragmental dan tetap anthroposentris. Hanya Kristus dan penebusan-Nyalah yang menjadi landasan relasi, titik pusat pengertian keharmonisan, dan teladan hidup yang menggerakkan hati kita dalam persekutuan. Selanjutnya, mampukah kita menjalankan keharmonisan dari sifat kesucian, cinta kasih, dan kerendahan hati, serta mengerti Kristus itu sendiri? Tidak mungkin juga. Karena kuasa melawan dosa, kuasa pencerah pikiran, kuasa pengampunan dan cinta kasih, serta kuasa pelayanan, hanya ada pada Roh Kudus dan kuasa regenerasi-Nya.
Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus[.] – (Filipi 2:1-5)
Kita bersyukur sekali lagi karena Kristus menebus dosa-dosa kita dan Roh Kudus melunakkan hati kita. Coba bayangkan kalau ternyata yang membentuk buah pinggang kita adalah kekonyolan Mr. Bean, bukankah itu suatu disaster (seperti slogan dalam salah satu Mr. Bean the Movie: “The disaster has a passport”)? Saya membayangkan kalau Allah itu seperti Mr. Bean, maka Allah itu tidak berbeda dengan Baal yang mungkin ada urusannya dan terburu-buru karena mau bepergian, atau malah ketiduran ketika menciptakan kita karena kecapekan, jadi Allah terjatuh di dalam Deisme pragmatis yang asal-asalan serta tidak peduli dengan kita karena Dia terburu-buru. Betapa mengerikannya pernikahan yang tidak diberkati oleh kenikmatan cinta kasih Tuhan! Betapa menakutkannya keluarga yang tidak dilandasi oleh keharmonisan kehadiran Tuhan! Betapa menakutkannya persekutuan yang tidak lagi Eben-Haezer (1Sam. 7:12) tapi Ikabod (1Sam. 4:21) yang ditinggalkan oleh kemuliaan Tuhan! Jika David Wells menggunakan judul “God in the Wasteland” untuk bukunya karena manusia zaman sekarang sudah membuang Allah, maka sesungguhnya pada saat manusia menempatkan Allah di lahan terbengkalai, saat itu manusia membuang diri ke lahan terbengkalai.
Jika kita bersyukur Allah bukan Mr. Bean, realitas di hadapan kita sebagai persekutuan orang Kristen justru sangat ironis, yaitu kitalah yang cenderung dan suka menjadi Mr. Bean. Banyak yang terburu-buru demi melayani dirinya dan tidak ada waktu untuk memperhatikan dan menggembalakan sesamanya dan petobat baru. Banyak yang mengejar mimpinya sendiri dalam pencapaian kebudayaan atau topeng mandat budaya yang didorong oleh optimisme naif. Kebanyakan orang ingin menonjolkan diri menjadi kopi yang menjadi daya tarik orang meminum kopi manis hangat. Hampir tidak ada yang mau menjadi gula pasir karena dirinya tidak kelihatan, harus larut dan hancur, bahkan namanya pun tidak disebut-sebut, hanya sifat kemanisannya saja (lagipula, sifat manis itu kan bisa diganti oleh gula merah, pemanis buatan, tebu, sirup, dan lain-lain). Dan kalaupun ada yang mau menjadi gula pasir, dia malah terlalu bangga dan terus-menerus self-pity dengan pengorbanannya, perasaan tidak diperhatikan, dan seolah bermegah dalam Tuhan yang justru melampaui apa yang Tuhan mau. Akhirnya semua yang mau menjadi kopi tidak mau bersatu dengan gula dan secara tidak sadar menjadi akar pahit terhadap orang lain, terhadap persekutuannya, dan terhadap persekutuan lain, atau bahkan terhadap orang bukan Kristen. Kopi itu merasa dirinya begitu penting, mulia, dan harus dihormati, padahal pada saat itu dia justru ‘melukai’ papila lidah dari yang meminumnya. Siapakah di antara teman-teman yang suka makan (bukan minum ya) bubuk kopi tubruk yang pahitnya minta ampun? Antara sombong, aktualisasi diri, dan bermegah dalam Tuhan begitu tipis bedanya. Selanjutnya, gula pun dengan keegoisannya merasa dirinya paling banyak berkorban dan sudah tidak mau lagi bersekutu dengan kopi. Secara tidak sadar gula tersebut self-defeating karena dia tidak lagi mau larut di dalam kopi dan sudah tidak memberikan pengorbanan lagi. Gula terus merasa dia sudah berkorban dan bermegah dalam bualan kosong di hati dan pikirannya. Antara minder, rendah hati, dan taat submissive kepada Tuhan itu sangat tipis bedanya. “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8).
Bagaimana kita dapat membedakan sikap sombong dan terlihat sombong padahal rendah hati dan bermegah di dalam Tuhan, di dalam persekutuan Kristen? Bagaimana membedakan sikap minder dan terlihat minder padahal rendah hati dan taat submissive kepada Tuhan, di dalam persekutuan kita? Mungkin ayat di bawah ini dapat menjadi jawaban dan kita harus baik-baik menyaring kefasikan dari kebenaran yang ada di dalam diri kita masing-masing dan persekutuan Kristen kita secara keseluruhan. Tetap harus ada ketegasan, cinta kasih, yang keduanya dilandasi kuasa transformasi, yang harus kita bawa masing-masing di dalam persekutuan kita. Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar (Mzm. 1:5).
Oops, sepertinya ada yang ketinggalan deh. Iya, air hangat yang melarutkan kopi dan gula, yang paling tidak menonjol (saya pun hampir tidak menuliskannya), tapi sesungguhnya kalau kita mau mengamatinya, air hangat itu sangat kelihatan kok di dalam minuman kopi. Tapi kita tidak mungkin berkata air hangat gelap itu sebagai air hangat, karena dia sudah melebur dengan kopi dan dia disebut minuman kopi. Dirinya tidak lagi disebut-sebut, tetapi dia penting sekali karena sifatnya melarutkan, mempersatukan, menjadi pengantara yang mendamaikan, dan menciptakan keindahan yang unik sehingga aroma kopi tetap harum, kemanisan gula tetap menggigit, dan pencinta kopi menikmati kehangatannya di pagi hari. Setiap bagian di dalam persekutuan itu menjadi penting, tidak kehilangan keunikan dan fungsi masing-masing, dan bersatu secara harmonis untuk menjadi kenikmatan pembuat kopi. Sudahkah persekutuan kita dinikmati oleh Allah Tritunggal dalam persekutuan kekal-Nya yang menciptakan kita dalam sifat persekutuan, yang meregenerasi hidup kita untuk masuk dalam persekutuan salib-Nya sekali lagi, dan terus-menerus secara dinamis menyatakan hadirat-Nya dalam persekutuan dan ibadah kita hari lepas hari sebagai sarana means of grace-Nya? Kita berdoa agar di tengah-tengah keterbatasannya, PILLAR dapat menjadi sarana penyinkronan pemuda di dalam wadah Gereja Reformed Injili Indonesia. Soli Deo Gloria.
Lukas Yuan
Pemuda GRII Singapura
[1] Tong, S. Pengudusan Emosi. Momentum.
[2] Tong, S. Peta Teladan Allah. LRII.