Panggung dunia tidak pernah berpengharapan jika kisah penebusan yang dikerjakan Allah tidak pernah hadir di dalam dunia. Jikalau kisah kejatuhan manusia menjadi duka yang mendalam yang mengawali pemberontakan manusia, maka kisah penebusan menjadi kisah yang membawa penghiburan dan memimpin manusia kepada pendamaian dengan Allah. Namun, sekalipun penebusan oleh Kristus menjadi kisah yang membawa sukacita besar, bukan berarti kisah ini tidak mengandung kepedihan yang mendalam. Sebab di dalamnya Allah Tritunggal menanggung ganjaran atas kejahatan manusia terhadap diri-Nya. Allah Anak di dalam ketaatan-Nya harus rela “terpisah” dari Bapa yang Ia kasihi dan Yang paling mengasihi-Nya demi menebus mempelai-Nya yang melacur. Disandingkan dengan penderitaan mempelai-Nya, Gereja di dalam sejarah pun mengisahkan pembantaian para martir yang disertai serangan yang tak pernah habis. Baik dari dalam maupun dari luar, Gereja seperti domba yang mengembik pun mungkin tak sanggup lagi karena terengah-engah kehabisan nafas. Pada akhirnya, sejarah selalu membuktikan bahwa kuasa penebusan Kristus adalah satu-satunya jangkar yang kepada-Nya Gereja harus berpaut.
Jikalau ganjaran dari pendamaian tersebut begitu besar, sebenarnya sejauh apa signifikansi penebusan ini? Apa motif dasarnya, bagaimana caranya, dan apa tujuannya? Bagaimana kita harus mengerti kedalaman dan keagungan kisah ini? Masihkah kisah kuno ini relevan bagi kita yang tinggal di abad ke-21? Dan akankah segenap pikiran, afeksi, dan kehendak kita dapat menemukan keluasan, kedalaman, dan keutuhan dari kuasa penebusan yang tidak murahan ini di sepanjang sejarah? Kiranya hidup kita sekali lagi boleh diguncang oleh Tuhan dan bangun dari keseharian kita yang bodoh.
Penebusan dan Hidup yang Kekal: “Jikalau Sorga dan Neraka Tak Pernah Ada”
Kekristenan di dalam perjalanannya tidak pernah lepas dari pergumulan melawan arus zaman. Dihantam secara keras, maupun dibuai dengan lembut menjadi gambaran usaha dunia memengaruhi Gereja Tuhan. Banyak dari kita yang sering kali dipengaruhi secara tidak sadar, termasuk di dalam mengerti pekerjaan penebusan yang menjadi tema bulletin PILLAR Oktober ini. Penebusan yang dikerjakan Allah dengan cara mengorbankan Kristus di kayu salib sering kali dimengerti dengan salah. Masuknya orang Kristen ke dalam sorga sebagai tujuan utama dan akhir dari penebusan Kristus adalah sebuah pandangan yang tidak Kristen sama sekali. Pandangan ini hanya mengibaratkan Kristus sebagai seekor tunggangan kuat yang bisa dinaiki menuju sorga[1]. Jikalau kita mengingat-ingat kembali apa yang harus dialami Kristus, bukankah sungguh sangat keterlaluan jikalau Kristus diperlakukan dan dimengerti demikian? Tetapi kita yang Kristen memang sering mengerti secara salah dan keterlaluan dalam melihat Kristus. Kesalahan mengerti ini membuat kita salah memaknai jaminan keselamatan sehingga tidak jarang kita terjerumus ke dalam kebobrokan moral, “Yang penting saya sudah selamat dan pasti masuk sorga[2], yes!” Hidup kita berhenti pada pernyataan seperti demikian. Di zaman yang serba instan ini, segala sesuatu sebisa mungkin dibuat mudah dan ringkas. “Iman Kristen dalam kemasan sachet[3]” menambah parah pengertian keselamatan.
Kita “tinggal” mengaku saja Kristus sebagai Tuhan dengan mulut kita maka kita akan langsung “terbang” ke sorga. Agar lebih rohani, kita cukup “menambahkan sesendok teh” dukungan ayat-ayat Alkitab yang konteks[4] penulisannya telah dibuang. Jikalau melihat konteks sejarah, kalimat-kalimat perihal jaminan kepastian keselamatan yang dicatat di Alkitab selalu diberikan di tengah-tengah penganiayaan yang hebat. Konteks di mana kesulitan-kesulitan besar muncul untuk benar-benar menguji iman, bukan dalam kondisi nyaman-mudah seperti di zaman kita sekarang. Tak heran bila kehidupan Kristen kita, baik secara individual maupun komunal kehilangan pengaruhnya. Apa yang kita hidupi sekarang bukan apa yang Allah maksudkan sedari semula. Kita menghidupi penebusan ala postmo. Sebab maksud utama penebusan bukanlah perihal sorga yang antroposentris, melainkan mengembalikan manusia untuk hidup benar di hadapan Tuhan sebagai Tuhan, dan memperlakukan yang lain (baik manusia maupun alam) di bawah ketetapan Tuhan sebagaimana rancangan semula yang Ia nyatakan[5]. Pernyataan tentang rencana kekal-Nya telah Ia nyatakan melalui perantara-perantara-Nya , terutama melalui Anak-Nya sendiri, yaitu Yesus Kristus[6]. Oleh sebab itu, kita perlu melihat kembali makna penebusan Kristus yang dinyatakan oleh Alkitab, dan bagaimana orang-orang beriman terdahulu dipakai Allah untuk menggenapinya. Jikalau kita hanya mengejar Kristus demi menginginkan sorga dan cemas akan neraka, masihkah kita mendambakan Dia ketika sorga dan neraka tak pernah ada?
Melihat Wahyu Allah: Menilik Alkitab, Membaca Sejarah
Manusia di Taman Eden dinyatakan Allah sebagai gambar dan rupa-Nya, yang diciptakan untuk menaklukkan bumi dan beranak cucu[7]. Penaklukkan ini bertujuan untuk memenuhi dunia dengan kemuliaan Allah yang diwakilkan oleh gambar dan rupa-Nya. Melipatgandakan gambar dan rupa Allah dari sebuah taman yang kecil menuju ke seluruh dunia adalah panggilan asali manusia. Sifat-sifat ilahi yang dibawa manusia merupakan makna awal dari perintah tersebut. Namun Alkitab mengisahkan bagaimana manusia menolak ketetapan Allah dan diteruskan dengan kejahatan demi kejahatan[8] yang tanpa pertobatan. Tetapi di sini terjadi perputaran balik karena pekerjaan Allah melalui Kristus. Pada kematian dan kebangkitan Kristus untuk mendamaikan manusia, Matius 28:19-20 seperti menjadi kisah balik yang mengingatkan kita bagaimana TUHAN Allah berfirman kepada Adam dan Hawa untuk memenuhi dan menaklukkan bumi. Kisah ini menjadi kesempatan baru yang tidak akan pernah gagal lagi karena Kristus telah menang. Ketaatan-Nya sebagai Adam yang terakhir menjamin kepastian penggenapan keseluruhan cerita. Beranak cucu dan bertambah banyak akhirnya menemukan kembali maknanya oleh karena Kristus. Bukan lagi sekadar melipatgandakan manusia secara jasmani, melainkan melahirkan manusia baru melalui kebangkitan Kristus![9] Dan untuk menerima bagian dari pekerjaan Tuhan yang tidak dapat binasa, cemar, ataupun layu, yaitu menjadi perwakilan[10] Allah dalam mengusahakan kebaikan yang benar[11]. Kristuslah yang menggenapi peran ini secara sempurna dan memungkinkan manusia yang ditebus menjalankan kembali fungsi mereka di hadapan Allah. Karena penebusan inilah Gereja muncul di dunia dan memengaruhi sejarah dunia. Dunia dan sejarahnya adalah “taman” yang Allah perintahkan untuk kita usahakan.
Bermula dari karya penebusan Kristus, dengan mati dan bangkit-Nya Dia, Gereja Mula-mula berdiri. Gereja Mula-mula yang bertumbuh dibesarkan Tuhan dan dididik di dalam penganiayaan. Darah kaum martir justru menjadi benih dari pertumbuhan Gereja[12]. Bukan dalam waktu yang singkat Gereja Mula-mula berada di dalam situasi ini. Sejarah mencatat selama kurang lebih 300 tahun orang-orang Kristen diburu dan berada di bawah pembantaian sadis kekaisaran Romawi. Diburu Yahudi, dan dibantai Romawi, kondisi Gereja seperti tidak berpengharapan. Penganiayaan demi penganiayaan ternyata menjadi cara Tuhan membangun kisah penebusan. Hingga pada abad ke-4, Gereja memasuki “kelas” baru dengan pertobatan Kaisar Konstantin menjadi Kristen dan menyatakan kekristenan sebagai agama negara. Di bawah pemerintahannya terjadi masa yang begitu penting sebagai lanjutan dari karya penebusan Tuhan. Empat konsili[13] besar dari tahun 325 hingga 451 merumuskan dasar iman Kristen mengenai siapakah Kristus dan keilahian-Nya. Dasar doktrinal yang diperlukan untuk melawan pengajaran sesat yang menggoncang Gereja sudah didirikan, namun bukanlah Gereja Tuhan jikalau tidak dihantam dari berbagai sisi. Kaisar Konstantin yang dipakai menjadi wadah untuk menghadirkan konsili penting Gereja, sekaligus menjadi wadah bagi kerusakan moralitas kekristenan. Upayanya untuk menarik banyak orang masuk ke dalam kekristenan (dan usahanya meniadakan agama pagan) dengan menjadikan Kristen sebagai agama negara malah memunculkan orang-orang berlabel Kristen dengan gaya hidup pagan. Kebobrokan-kebobrokan moral dari tradisi[14] kepercayaan kafir masih terus dipelihara, sekalipun mereka sudah mengadopsi kepercayaan Kristen.
Moralitas yang rusak akibat kekafiran berlabel Kristen ini memunculkan seorang tokoh yang dikenal dengan panggilan Benediktus dari Nursia[15] pada abad ke-5. Ia dikenal sebagai Bapak Monastisisme di Barat karena mendirikan biara-biara di daerah Eropa sebagai respons kekecewaan terhadap rusaknya moralitas masyarakat. Ia melihat biara sebagai benteng terbaik dalam memelihara kesucian dan kemurnian iman Kristen dari busuknya kepalsuan agamawi. Maka berkumpullah bersama-sama dengan Benediktus, bukan saja orang-orang yang berketetapan hati menjaga kesucian, melainkan juga kelak menjadi sekelompok orang yang memegang tonggak sejarah. Biara pada masa itu menjadi pusat perkembangan theologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Konteks zaman menyebabkan biara menjadi tempat pendidikan dan pusat literatur terbaik, baik dari sisi moralitas yang dituntut secara ketat mengejar kesalehan, maupun dunia ilmu pengetahuan. Perpustakaan-perpustakaan didirikan di dalam setiap biara untuk menyimpan manuskrip-manuskrip maupun perkamen penting, yang pada masa itu adalah barang berharga yang langka. Para biarawan juga merupakan kalangan paling terdidik karena pasti bisa membaca dan menulis, sebab mereka harus bisa membaca dan menyalin Alkitab dalam bahasa Yunani dan Latin[16]. Kondisi monastik yang sangat eksklusif membawa para biarawan tenggelam dalam pembelajaran yang tidak berkesudahan, membuat biara menjadi pusat perkembangan budaya dan pemikiran yang sangat mewarnai dunia Eropa. Yang terpenting adalah semua pembelajaran mereka akan bidang-bidang pengetahuan didasarkan atas tesis-tesis Alkitabiah. Untuk diingat, pembelajaran yang terutama pada biara-biara tersebut tentunya adalah theologi, diselingi dengan ilmu sosial kemasyarakatan dan alam. Jadi bayangkan bahwa biara-biara Kristen tersebut adalah betul-betul pusat intelektual Kristen dunia Eropa yang mempelajari theologi, filsafat, dan ilmu alam.
Kita melihat satu per satu bagian dari kisah sejarah penebusan dirajut oleh Allah. Baik melalui hal-hal yang baik maupun hal-hal yang jahat[17], Allah mengarahkan dan memakainya satu per satu untuk menghasilkan rajutan yang indah. Siapa yang dapat menyangka bahwa keputusan tidak bijak Kaisar Konstantin yang memasukkan imoralitas budaya pagan menjadi alasan Benediktus dari Nursia mendirikan biara, cikal bakal dari universitas-universitas[18] pertama di dunia? Itulah kuasa penebusan! Kejahatan pun dapat Ia pakai untuk menghasilkan kebaikan dan mendatangkan penggenapan bagi rencana-Nya yang tak pernah gagal dan pimpinan-Nya yang tak pernah bersalah bagi Gereja. Dari sejarah singkat ini, kita dapat membaca bahwa biara dan terutama universitas adalah bagian yang tak terpisahkan dari penebusan Kristus. Penebusan Kristus yang memungkinkan Gereja menjalankan panggilan mereka, yaitu “mengusahakan” dunia dan sejarahnya sebagai “taman” yang Allah percayakan. Theologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan ditebus Kristus untuk menjadi instrumen-instrumen penebusan, yaitu alat-alat yang dipakai untuk membangun Kerajaan Allah. Kita akan menyaksikan kelak di dalam kisah konsumasi, bagaimana sebuah taman dikelola dan diusahakan menjadi sebuah kota, Yerusalem yang baru!
Panggilan Intelektual Kristen Zaman ini: Dari Theologi, Filsafat, dan Ilmu Pengetahuan
Dari sebuah biara kecil eksklusif menuju universitas terbuka yang mendidik seluruh pemuda terbaik di seluruh Eropa, yang kelak akan menghasilkan cendekiawan-cendekiawan terbaik seperti Erasmus, William Tyndale, Martin Luther, John Calvin, dan masih banyak lagi. Mereka adalah tokoh-tokoh Reformasi yang dipersiapkan kelak untuk melanjutkan kuasa penebusan Kristus di masa Reformasi Gereja, dan yang nanti akan kita peringati sebagai Hari Reformasi pada bulan Oktober. Mereka, orang-orang Kristen yang dididik di bawah pengaruh monastik Barat, di mana theologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan menjadi topik pembelajaran yang padu. Garis sejarah ini masih dapat ditelusuri signifikansinya hingga abad 21, karena kisah iman kita bukan takhayul isapan jempol yang tidak memiliki akar sejarah yang dalam. Allah yang menjamin dan memeliharanya, sebab Allah yang memulai juga adalah Allah yang akan menggenapi hingga kesudahannya.
Lalu bagaimana dengan kekristenan abad 21? Lepasnya hak kesulungan Gereja zaman ini dalam melihat keterkaitan antara theologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan di dalam kaitannya dengan kuasa penebusan Kristus menjadi sebuah kelas yang dimunculkan bagi kita. Hak sulung yang hampir satu milenium lalu diberikan kepada dan dimulai oleh Gereja, justru sekarang sedang dipinjamkan kepada dunia. Gereja terlelap dan kehilangan hak kesulungan di dalam dunia intelektual yang justru dulu dibangun di atas darah para kaum martir! Sudah jelas bahwa cikal bakal dunia pendidikan tinggi saat ini adalah hasil penebusan Kristus di dalam sejarah. Penebusan Kristus bukan sekadar kisah dongeng pengantar tidur di kebaktian-kebaktian gereja. Kisah penebusan Kristus berdampak nyata di dalam sejarah umat manusia! Kita punya garis benang iman yang jelas dan nyata dari Alkitab hingga dunia masa kini. Adalah bodoh bila kita menganggap Alkitab tidak ada kaitan dan relevansinya dengan institusi ilmu pengetahuan pada dunia abad 21, sebab Tuhanlah yang melahirkan mereka! Pada akhirnya kita menyaksikan pernyatan Alkitab bersandingan dengan sejarah sebagai saksi yang setia bahwa kuasa penebusan Kristus terlalu disalahmengerti jika hanya sekadar tunggangan menuju sorga. Penebusan Kristus terlalu dalam dan lebar dan luas, signifikansinya membentang luas dari awal penciptaan hingga nanti penutupan akhir zaman. Kiranya sekali lagi Tuhan membukakan pada Gereja-Nya, kuasa penebusan Kristus yang tiada tara, yang mengembalikan segala hal di dalam dunia kepada Allah! Amin.
Darah kaum martir yang belum kering
yang menyirami jalan salib
Rumah Tuhan yang telah senyap
p’litanya telah gelap gulita
Persembahkanlah dirimu, seg’nap tenaga mudamu
Kobarkan api zaman, rela serahkan seg’nap hidup
Berp’rang bagi K’rajaan Sorga. Maju! Maju!
Pekerjaan salib menggenapkan mahkota yang kekal.
Nikki Tirta
Pemuda FIRES
Referensi:
John Stott, Kristus yang Tiada Tara (Momentum, 2008).
John Murray, Penggenapan dan Penerapan Penebusan (Momentum, 2010).
Topik-topik terkait yang dapat dikembangkan lebih jauh menyambung artikel ini:
1. R. B. Kuiper, Artikel mengenai kaitan antara Gereja dan Kebenaran. Tulisan dapat diunduh secara bebas pada situs http://www.the-highway.com/church-truth_Kuiper.html (Diakses pada 24/09/2013).
2. Salah satu theolog yang cukup produktif dalam mengembangkan pemikiran Kristen perihal penerapan konsep penebusan di dalam dunia ilmu adalah Dr. Vern Sheridan Poythress. Beberapa hasil karya Beliau yang merambah dunia ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut: Redeeming Science, Redeeming Sociology, In the Beginning was the Word, Logic, dan beberapa buku lainnya. Hasil karya Beliau dapat diunduh secara bebas pada situs http://www.frame-poythress.org/.
3. Konsep pemikiran Cornelius Van Til berkenaan dengan Borrowed Capital, Receptively Constructive – Creatively Constructive dapat dibaca di dalam bukunya Pengantar Theologi Sistematis (Momentum).
Endnotes:
[1] Kekristenan memang selalu dihantam oleh semangat zaman, tidak terkecuali Gereja di zaman postmodern. Subjektivisme yang terus berusaha menarik perhatian umat Allah dari Kristus diwakili melalui slogan zaman ini yang terkenal dengan bunyi “I, Me, and Myself”. Racun ini terus berusaha menggeser arah fokus Injil Kristus dari topik Kerajaan Allah menjadi perihal keselamatan manusia yang antroposentris (berpusat pada manusia). Kalimat ini dikutip dari beberapa bagian khotbah di Persekutuan Mahasiswa Reformed Injili dan dibahasakan ulang.
[2] Tidak jarang cara pandang kita dalam melihat konsep-konsep Alkitab dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan di luar kekristenan. Salah satu filsafat yang cukup kuat dalam memengaruhi kekristenan adalah Platonisme yang menyatakan bahwa dunia saat ini (matter) hanyalah bayang-bayang dan tidak perlu terlalu digubris, sedangkan dunia ide (form) adalah suatu dunia yang ideal, dunia yang sempurna yang harus kita kejar. Cara pandang yang tidak Kristen ini sering dipakai dalam mengerti beberapa bagian Alkitab, seperti tulisan Rasul Paulus di surat Kolose 3:1-2, di mana Paulus menyatakan dengan tegas bahwa mengerti dengan gaya Platonis tersebut adalah salah. Bandingkan dengan surat 2 Tesalonika 3, terutama ayat 10-11 dan tafsiran Matthew Henry perihal bagian tersebut.
[3] Istilah karikatur ini muncul dari diskusi online harian Persekutuan Mahasiswa Reformed Injili pada situs www.GRII-FIRES.org. Karikatur ini mau menggambarkan semangat instan dengan slogan-slogan yang biasa terdapat pada pariwara produk-produk tertentu di media massa.
[4] Roma 10:10; terutama surat Roma 8. Bagian ini merupakan salah satu bagian surat Paulus yang paling mengharukan bila kita mengerti kondisi jemaat mula-mula di kota Roma. Jemaat kota Roma pada masa itu hidup di bawah pemerintahan beberapa kaisar yang bisa dikatakan gila. Mereka melakukan penganiayaan yang sangat kejam kepada orang-orang Kristen pada masa itu. Kaisar Nero (memerintah dari tahun 54-68 Masehi) misalnya, menggantung orang-orang Kristen pada sebatang tiang lalu membakar mereka hidup-hidup untuk menerangi taman di istana kaisar, mengumpan orang-orang Kristen kepada singa maupun para gladiator di Colosseum dan banyak lagi. Orang Kristen dibantai di bawah pemerintahan 10 kaisar selama kurang lebih 300 tahun karena iman kepada Yesus Kristus dari Nazaret. Untuk bertahan hidup pada masa itu, lebih mudah membuang iman Kristen daripada mencari sekerat roti bekas untuk dimakan. Sumber bacaan sejarah lebih lanjut dapat ditemukan melalui pencarian online. Salah satu sumber yang dapat diunduh secara bebas: http://www.whitehorsemedia.com/docs/FOXS_BOOK_OF_MARTYRS.pdf (diakses pada tanggal 23/09/2013).
[5] Kejadian 1:27-31.
[6] “And this is eternal life, that they know You the only true God, and Jesus Christ whom you have sent” – John 17:3, English Standard Version.
[7] Kejadian 1:27-31.
[8] Kejadian 4 dan 6.
[9] 1 Petrus 1:3-4.
[10] John Calvin membaca konsep “gambar dan rupa Allah” dalam dua bentuk, yaitu di dalam pengertian yang sempit (narrow sense) yaitu manusia sebelum jatuh dalam dosa. Manusia memiliki tiga fungsi di hadapan Allah: Pertama, sebagai raja untuk menguasai alam dan mengelolanya dengan adil-benar bagi Allah; Kedua, sebagai nabi di dalam membawa kebenaran Allah hadir di dunia; Ketiga, sebagai imam di dalam mempersembahan semua hasil pekerjaan kembali kepada Tuhan. Konsep yang lebih luas (broad sense) berbicara mengenai manusia yang sudah jatuh di dalam dosa dan mustahil untuk kembali menjalankan ketiga fungsi tersebut di hadapan Allah. Di dalam topangan tangan Tuhan, manusia masih memiliki fungsi rasional dan moral pada kondisi ini. Ketiga fungsi “gambar dan rupa Allah” ini digenapi sempurna pada diri Kristus, dan dipulihkan melalui penebusan oleh Kristus. Berikut ini kutipan penjelasan Abraham Kuyper:
Broad/wide sense – “This image of God cannot be lost since, if man can lose it, he would at the moment of losing it, cease to be a human being. The image of God in the wider sense . . . has reference to the human in man, to that whereby man, in distinction from all other creatures, is man and not an angel or an animal or a plan”.
Narrow sense – “The ethical image is more restricted. Man was created with true holiness, righteousness, and (ethical) knowledge (Ephesians 4:24; Colossians 3:10). Adam possessed original righteousness. This more narrow, ethical image was erased at the Fall, leaving man in a state of ‘total depravity’, i.e. Incapable of doing anything that pleases God (Romans 3:1-18; 8:7, 8). The image of God in the narrower sense… was lost, and in its place there came blindness, guilt, and sinfulness.
While both believers and non-believers continue to bear the image metaphysically (broad sense), only the former have the ethical image restored. This, of course, is accomplished through the redemptive work of Jesus Christ. Only redeemed man can do ‘good works’ (Ephesians 2:8-10); Those works which are properly motivated out of love for God (Matthew 22:37-39), have as their goal the glory of God (1 Corinthians 10:31), and have as their standard the Word of God (John 14:15, 21). Biblical good works are ‘Godworks’”.
[11] “For we are his workmanship, created in Christ Jesus for good works, which God prepared beforehand, that we should walk in them” – Ephesians 2:10, English Standard Version.
[12] “the blood of martyrs is the seed of the Church” – Tertullian, the 2nd-Century Church Father.
[13] John Stott, Kristus yang Tiada Tara (Momentum, 2008), hlm. 79-82.
[14] Salah satu saksi adalah perayaan Natal pada tanggal 25 Desember yang merupakan adopsi dari sebuah tradisi pagan bangsa Romawi. Sebelum kekristenan menjadi agama resmi kekaisaran Romawi pada abad ke 4, bangsa Romawi memiliki satu kebiasaan festival penyembahan dewa Saturnus yang biasa disebut dengan perayaan Saturnalia. Perayaan ini berlangsung dari tanggal 17 hingga 25 Desember. Di dalam periode tersebut, pengadilan Romawi ditutup dan setiap orang tidak boleh dihukum bila melakukan perusakan properti maupun melukai orang lain selama periode perayaan. Festival ini dimulai ketika pemerintahan kota di bawah kekaisaran Romawi memilih orang yang akan dijadikan persembahan kepada dewa Saturnus. Orang tersebut akan dimanjakan dengan makanan dan semua kesenangan selama seminggu penuh sebelum ia dikorbankan. Selama festival ini, orang-orang akan pergi dari rumah ke rumah untuk bernyanyi sambil telanjang (cikal bakal dari Caroling yang kita kenal saat ini), melakukan pelecehan seksual dan tindakan imoralitas lainnya. Hingga pada abad ke-4 ketika Kaisar Konstantin menjadi Kristen, budaya ini diadopsi oleh kaisar dengan tujuan menarik banyak orang masuk ke dalam kekristenan. Tetapi para pemimpin Kristen melihat tidak ada nilai Kristen sama sekali dari perayaan ini dan mengubah banyak hal (terutama imoralitas yang ada), dan mengubah tujuan perayaan dari penyembahan dewa Saturnus menjadi perayaan akan kelahiran Yesus Kristus. Karena banyak orang yang menganut agama kaisar (yaitu Kristen) tanpa mengerti esensi kekristenan, perayaan ini awalnya tetap dirayakan dengan mabuk-mabuk, pemuasan seksual, dan tetap bernyanyi dengan telanjang di jalan-jalan.
[15] John Stott, Kristus yang Tiada Tara (Momentum, 2008), hlm. 82-86.
[16] Kita tidak bisa membandingkan kegiatan membaca dan menulis pada zaman tersebut dangan masa sekarang. Pada masa tersebut, tulisan-tulisan penting ditulis menggunakan sehelai pena dari bulu angsa yang harus terus dicelupkan pada tinta sambil menulis. Tulisan pun tidak disiratkan pada selembar kertas seperti sekarang; perkamen (selembar membran yang biasanya diambil dari kulit kambing atau domba) dan papirus (lembaran yang diambil dari kulit kayu) menjadi media penulisan pada zaman itu. Barang-barang tersebut sangat langka dan mahal dikarenakan bahan dan proses pembuatannya yang tidak mudah.
[17] Kejadian 50:20; Roma 8:28.
[18] Beberapa universitas pertama didirikan di bawah pengaruh kekristenan di Eropa pada abad ke-12, salah satunya adalah University of Bologna (Bologna, Italia) tahun 1088, dan Universite de Paris (Paris,Perancis) pada tahun 1150an.
Hyde, J. K. (1991), “Universities and Cities in Medieval Italy”, in Bender, Thomas, The university and the city: from medieval origins to the present, Oxford: Oxford University Press, pp. 13–14, ISBN 978-0-19-506775-0, “The statement that all universities are descended either directly or by migration from these three prototypes [Oxford, Paris, and Bologna] depends, of course, on one’s definition of a university. And I must define a university very strictly here. A university is something more than a center of higher education and study. One must reserve the term university for—and I’m quoting Rashdall here—”a scholastic guild, whether of masters or students, engaged in higher education and study,” which was later defined, after the emergence of universities, as studium generale.”