,

Kuasa

Belajar sejarah itu seru! Bak menemukan sparring partner untuk mengontraskan cara pandang iman Kristen. Bahkan sejarah Indonesia klasik yang mungkin kurang disukai sebagian orang, bisa sangat menarik untuk disandingkan dengan pemikiran Kristen. Mengapa? Salah satunya karena cara pandang Kristen adalah cara pandang yang sungsang, yang menjungkirbalikkan nilai-nilai dunia ini. Sebutlah misalnya kisah Ken Arok. Bacalah versi yang terdapat di buku Nusantara karya Bernard H. M. Vlekke. Masih ingat kisah Ken Arok yang mewarisi kekuatan para dewa dalam berupaya mendapatkan Ken Dedes, istri majikannya, yang dikatakan juga punya kekuatan spiritual? Sandingkanlah kisahnya dengan Yusuf yang menolak rayuan maut istri Potifar, tuannya. Hasilnya? Saudara akan terkejut melihat perbedaannya! Yang satu kemaruk kuasa, yang lain menaklukkan diri di bawah kuasa.

Sepanjang sejarah Indonesia klasik terjadi perebutan kuasa. Memasuki era modern dan masuknya bangsa-bangsa Barat terjadi lagi perebutan kuasa. Dimulai dengan persaingan untuk mendapat kuasa ekonomi yang berujung pada perebutan kuasa politik. Bangkrutnya VOC melegitimasi pemerintah kolonial Belanda untuk menjadikan Nusantara sebagai Hindia Belanda. Kebijakan cultuurstelsel hingga Politik Etis menjadi cerminan kekuasaan. Hengkangnya Belanda karena Perang Dunia II, membuat penguasa yang lebih kejam, Jepang, datang. Tak terlalu lama, Jepang pergi dan terjadi perebutan kekuasaan mempertahankan kemerdekaan Indonesia selama Masa Revolusi 1945-1950. Setelah itu? Alih-alih memerintah, malah ramai urusan perebutan kuasa.

Maka, saat berjumpa kembali dengan Yohanes 1:12, saya terkesima. “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.” Betapa kontrasnya cara kekristenan menanggapi kekuasaan! Tidak cari kuasa, tidak berjuang mendapatkan kuasa, tetapi justru diberi kuasa. Kuasa untuk apa? Untuk menjadi anak-anak Allah. Seperti apa anak-anak Allah? Memercayai nama Allah, dan bukan kuasa. Anak-anak Allah itu mendapat kuasa untuk hidup seperti Yesus, Anak Allah yang Tunggal itu.

Ayat di atas harusnya membuat kita sejenak berhenti memikirkan posisi kita sebagai umat Tuhan, sebagai anak-anak Allah yang menerima kuasa-Nya, di tengah perjalanan sejarah bangsa ini. Gereja mula-mula meski kecil namun berkuasa mengubah arah perjalanan sejarah Kerajaan Romawi. Lalu apa yang membuat kita, jemaat-Nya hari ini kurang berdaya?

Vik. Maya Sianturi Huang

Wakil Koordinator Bidang Pendidikan Sekolah Kristen Calvin